Mau
Dibawa ke Mana Islam Kita?
Irfan L Sarhindi ; Pengasuh Salamul Falah; Lulusan University
College London; Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting
|
DETIKNEWS,
05 Januari
2018
Selain liburan, kembang
api, pesta pora, dan terompet momen tahun baru memang selalu menawarkan
agenda tahunan lain: fatwa tasyabbuh dan ancaman kekafiran bagi muslim yang
merayakan. Persis seperti terjadi setiap kali Natal. Tetapi, terlepas dari
potensi kesia-siaan dari pesta kembang api dan lain-lainnya itu, momen tahun
baru sebetulnya bisa kita gunakan untuk; (1) merefleksi dan mengevaluasi apa
yang kita lakukan setahun ke belakang, dan (2) membuat resolusi setahun ke
depan. Dalam rangka dua hal itu saya menulis kolom ini.
Tahun 2018 adalah tahun
politik (lagi). Babak penyisihannya terjadi tahun lalu di DKI Jakarta—sentra
Indonesia. Babak semifinal dihelat tahun ini di 17 provinsi, 39 kota, dan 115
kabupaten. Partai finalnya sendiri akan digelar tahun depan di seluruh
Indonesia: Pilpres 2019. Dengan mempertimbangkan sengitnya pertandingan
politik di DKI Jakarta, kita akan bisa menebak bahwa pertandingan massal dan
serentak ini tidak akan kurang hiruk-pikuk dan bisingnya. Apalagi jika kita
melihat fenomena di DKI Jakarta sebagai template, di mana politisasi agama
dan identitas demikian jelas terjadi.
Kita ingat bagaimana
proses panjang kontestasi DKI 1 itu mesti diwarnai oleh aksi demonstrasi
berjilid-jilid yang mengatasnamakan Islam, dipimpin oleh GNPF-MUI (yang
nantinya berubah nama jadi GNPF Ulama setelah Kiai Makruf Amin tidak lagi
memberi 'dukungan'), demi Ahok dibui dengan tuduhan penistaan agama. Saking
kerasnya benturan yang terjadi dan psywar yang dilesatkan setiap pihak,
sampai-sampai ada pengelola masjid yang menolak mensalatkan jenazah pendukung
Ahok. Atau, anak-anak kecil dalam pawai tahun baru Islam menyanyikan lagu
'bunuh Ahok' sambil menenteng obor.
Ada potensi penguatan
konservatisme dan radikalisasi Islam, menjalar ke mana-mana. Kecenderungan
menerjemahkan Islam secara terlalu literlek sehingga menjadi anti-vaksin,
misalnya, atau bahkan menganggap menghormat bendera merah putih sebagai tanda
kekufuran. Dalam pada itu, narasi 'Islam vs PKI' juga kembali mengemuka.
Hingga pada kondisi di mana nonton bareng film 'G30S' versi Orba kembali
dilakukan di mana-mana: PKI sebagai musuh bersama, unsur yang dianggap bisa
'mempersatukan' suara umat.
Dan, fenomena ini seperti
senantiasa dijaga nyala-apinya, momentumnya, biar sewaktu-waktu dapat digunakan
kembali untuk narasi-narasi lain. Misalkan, Aksi Bela Islam yang awalnya
seperti dirancang untuk semata 'mengadili' Ahok, juga digunakan untuk
'mengadili' pemerintah yang dianggap anti-Islam dan pro-asing, termasuk dalam
demo menolak Perppu Ormas. Bahkan ketika HTI sudah resmi dibubarkan, bendera
(yang diklaim sebagai) al-Liwa dan ar-Rayah bahkan tetap berkibar di pelbagai
aksi, biasanya bersandingan dengan bendera Palestina.
Semua hal tersebut tentu
tidak bisa dilepaskan dari persoalan rendahnya minat baca dan literasi media,
belum optimalnya pendidikan dan pendidikan agama, serta kekurangsigapan kaum
sarungan "mempesantrenkan Google". Di sisi lain, ada kecenderungan
orang menjadi sangat reaktif, sehingga gampang diprovokasi. Ini saja sudah
kompleks, belum lagi kecenderungan untuk anti-kritik sehingga mudah sekali
orang dipersekusi hanya karena dianggap "menghina dan melecehkan
ulama".
Ada pengkontestasian,
secara terstruktur, antara Islam versus non-Islam, pribumi versus
non-pribumi, seolah semua itu persoalan hitam-putih semata. Uniknya lagi,
secara keliru, Islam dianggap sama dengan pribumi, non-Islam (apalagi dari
ras Tionghoa, misalnya) dianggap non-pribumi. Dari sana, pribumi dianggap
pasti membela Tanah Air, non-Pribumi dianggap hanya akan mengeruk kekayaan
negara.
Sejak Pilgub DKI Jakarta
kemarin, SETARA Institute mencatat adanya peningkatan intoleransi beragama.
Greg Fealy mencatat dua efek dari pertarungan sengit di Pilgub DKI Jakarta:
(1) pelemahan hak politis kaum minoritas, dan (2) kecenderungan tumbuhnya
sentimen anti-Kristen dan anti-China.
Lalu, tanpa
mengesampingkan provinsi lain, apa kabar (pilgub) Jawa Barat tahun ini?
Dengan 16 kota/kabupaten yang juga menyelenggarakan pilkada? Kedua pertanyaan
tersebut didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, secara geografis Jawa
Barat adalah provinsi paling dekat dengan Jakarta, selain Banten. Dapat
diasumsikan bahwa imbas dari bipolarisasi identitas keagamaan dan konflik
horizontal antargolongan di Jakarta berpotensi merambat ke Jawa Barat.
Misalnya, empat hari
setelah Aksi 212 di Jakarta, sekelompok orang atas nama Pembela Ahlus Sunnah
membubarkan perayaan Natal di Bandung. Belum lagi fakta bahwa massa Aksi 212
dan yang sejenisnya itu berasal dari pelbagai kota/kabupaten di Jawa Barat
juga.
Kedua, Jawa Barat secara
ranking adalah provinsi paling intoleran terhadap kebebasan beragama. Menurut
SETARA Institute, pada 2015 tercatat ada 44 kasus pelanggaran hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dengan potensi sebesar itu, apa yang
akan terjadi ketika politik identitas dikultivasi, ketika agama dipolitisasi?
Apalagi, agak susah untuk mengklaim bahwa masyarakat Jawa Barat telah literat
dan melek politik. Juga agak susah untuk berasumsi bahwa masyarakat Jawa
Barat tidak reaktif terhadap isu-isu yang melibatkan sentimen agama, walau
secara stereotip orang Sunda dianggap (lebih) tenang dan lembut.
Misalkan, saya mendapat
kiriman pesan Whatsapp yang berisi ajakan untuk mendukung pasangan tertentu,
dari koalisi partai tertentu, yang diklaim sebagai tulisan ilmiah seorang
pengamat politik, yang beberapa poinnya berbunyi: "mengajak seluruh
elemen masyarakat muslim Jabar memenangkan pasangan ini dengan kerja
keras", "demi kemaslahatan umat yang lebih baik", dan bahwa
"insya Allah kemenangan di Jakarta akan kita ulangi lagi" sehingga
kita harus "ajak umat siuman dengan memenangkan pasangan ini".
Ada tiga narasi yang
secara implisit dibangun di sana: pertama, kemenangan di Jakarta adalah
kemenangan umat Islam. Kedua, memenangkan pasangan itu adalah jihad demi
kemaslahatan umat, sehingga umat harus melakukan apapun. Dan ketiga, yang
tidak setuju dengan ini adalah umat Islam yang belum sadar sehingga harus
disiumankan.
Ini baru awal tahun dan
masa kampanye belum resmi dimulai. Tetapi bagaimanapun, ini mengindikasikan
bagaimana Islam tetap masih akan jadi komoditas politik, terlepas dari
seberapa besarnya pun dampak buruk yang bisa terjadi akibat hal tersebut.
Sering saya melihat kembali gambaran besar dari kejadian-kejadian yang
terjadi ini, dan dengan sedih, gentar, juga cemas bertanya: mau dibawa ke mana,
sebetulnya, Islam kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar