Hoax
Membangun?
Abdul Salam Taba ; Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bosowa 45
Makassar dan School of Economic The University of Newcastle, Australia
|
DETIKNEWS,
08 Januari
2018
Pernyataan hoax membangun
yang dilontarkan Djoko Setiadi saat menjawab pertanyaan wartawan seusai
dilantik sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) beberapa waktu
menarik diulas. Karena selain menjadi trending topic di Twitter dan viral di
media sosial, ucapan mantan Kepala Badan Sandi Negara itu menimbulkan
kontroversi di masyarakat.
Meski sudah meminta maaf
dan mengklarifikasi pernyataannya, namun berbagai tanggapan dan kritikan
terus mengalir dari beberapa anggota DPR, pengamat media sosial, dan
masyarakat. Kritikan itu pada intinya menyatakan ucapan mantan kepala Lembaga
Sandi Negara itu aneh dan preseden buruk karena hoax bersifat fitnah, bohong,
pencemaran nama baik, menghancurkan tatanan masyarakat, dan melanggar
ketentuan hukum.
Kolom ini mencoba mengulas
beberapa pertanyaan terkait fenomena hoax; apa sebenarnya yang dimaksud hoax,
dan kapan istilah itu muncul? Mengapa hoax digandrungi masyarakat? Bagaimana
motif dan modus penyebaran hoax? Benarkah hoax melanggar ketentuan hukum?
Terlepas benar atau salah, ketentuan hukum apa saja yang dilanggar, dan
bagaimana cara mengatasi maraknya hoax.
Istilah hoax (dibaca:
hoks) bersumber dari bahasa Inggris yang berarti tipuan, menipu, berita
bohong/palsu, dan kabar burung. Jadi, secara umum hoax dapat diartikan
sebagai sebuah pemberitaan palsu untuk menipu atau mengakali
pembaca/pendengarnya dengan tujuan membuat opini publik, menggiring opini,
membentuk persepsi, serta berkelakar (having fun).
Sejatinya, hoax merupakan
ekses negatif kebebasan berbicara dan berpendapat di internet, khususnya di
media sosial dan blog. Secara historis, kata hoax muncul jauh sebelum
internet hadir yakni sejak abad ke-18, di mana menurut Psikolog Inggris,
Robert Nares (1753-1829) berasal dari kata hocus yang bermakna menipu
(https://en.wikipedia.org).
Namun, istilah hoax muncul
pertama kali dan lazim dipakai oleh pengguna/penjelajah internet (netter)
Amerika yang mengacu pada sebuah film yang berjudu The Hoax. Film drama
Amerika buatan 2006 dengan sutradara Lasse Hasilton --dibuat berdasarkan
biografi dan buku yang berjudul sama dari Clifford Irvind, di mana banyak hal
yang diuraikan Irving dalam bukunya diubah/dihilangkan-- itu dinilai sebagai
film yang mengandung banyak kebohongan. Sejak itu, istilah hoax digunakan netter
Amerika setiap kali muncul berita bohong.
Menurut ahli viral
marketing dan komunikasi Jonah Berger (2013), kecenderungan orang berbagi
konten berita positif atau negatif dipengaruhi oleh sifat manusia yang suka
berbagi cerita, informasi, gagasan, dan kegiatan yang membuat dia dihargai.
Selain itu, manusia senang berbagi cerita dan pengalaman yang bermanfaat dan
membangkitkan emosi, serta melakukan apa yang dilakukan orang lain.
Bagi kolumnis The Daily
Dot, Cabell Gathman (2014), di era media sosial orang gemar menyebar
kebohongan dan hanya membaca judul dan tidak lagi membaca isi berita yang
dibagikan. Sementara bagi Pamela Rutledge (2017), Direktur Pusat Riset
Psikologi di Fielding Gaduate University, hoax marak karena orang rentan dan
tak berdaya terhadap paparan informasi. Akibatnya, orang malas memverifikasi
dan mencari kebenaran berita berita yang datang bertubi-tubi
(www.pamelarutledge.com).
Konteks
Indonesia
Dalam konteks Indonesia,
keranjingan terhadap berita hoax yang juga disebut fake news dipengaruhi oleh
rendahnya tingkat pendidikan dan kesenangan masyarakat bergosip. Secara hand
in hand, kedua hal itu berakibat menurunkan minat baca dan memacu maraknya penyebaran
hoax di tengah masyarakat, baik di kalangan bawah hingga kalangan atas.
Rendahnya minat baca
masyarakat itu terlihat dari hasil riset The World's Most Literate Nation
pada April 2017 yang menunjukkan, dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang
membaca buku 1 buku per tahun, sehingga Indonesia ditempatkan di urutan
buncit. Tepatnya, di posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei atau setingkat
lebih tinggi dari Botswana, negara kecil di benua Afrika yang hanya
berpenduduk 2,1 juta jiwa. Tingkat literasi Indonesia yang berada di urutan
ke-60 ini diumukan oleh UNESCO di Hari Aksara Internasional pada 8 September
2017 lalu.
Di sisi lain, tingkat
kecerewetan orang Indonesia di media sosial menempati posisi teratas. Amerika
boleh mengklaim sebagai negara dengan jumlah pengguna Twitter terbanyak di
dunia, namun dalam hal cuitan Indonesia jawaranya. Buktinya, twit orang
Indonesia dalam setahun pada 2016 lalu berjumlah 4,1 miliar. Menurut CEO
Twitter, dengan jumlah itu Indonesia menjadi pengguna teraktif dan termasif
di dunia dalam hal berkicau via Twitter. Bahkan, jika cuitan via Twitter ini
digabung dengan rilisan status di Facebook dan Instagram, dapat dipastikan
Indonesia menjadi jawara sejagat.
Kegandrungan mengirim dan
berbagi informasi via media sosial membuat peredaran hoax semakin masif dan
menimbulkan dampak negatif yang luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena substansi hoax tidak lagi terbatas pada pemberitaan politik, tapi
sudah merambah masalah kesehatan, agama, hukum, ekonomi, teknologi, sains,
pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Secara umum, penyebaran
hoax bermotif personal dan sebagai ladang penghasilan (komersial). Motif
personal dipicu perasaan iri, dendam, tidak mau melihat orang berbahagia, dan
semacamnya. Sedangkan yang bermotif komersial dipengaruhi oleh fenomena dan
maraknya penyebaran hoax karena banyak diminati dan mendapat simpati besar
dari masyarakat. Fenomena ini dimanfaatkan dan dikapitalisasi oleh
produsen/penyebar hoax untuk mendapatkan banyak kunjungan (click) ke situsnya
yang terafiliasi dengan Google adSense, misalnya, sehingga puluhan juta
rupiah bisa mengalir setiap bulannya ke rekening pembuat hoax.
Sementara modus hoax
lazimnya dipratikkan dengan cara menyebar fitnah dan membuat berita yang
berbanding terbalik dengan realitas orang, produk, organisasi atau perusahaan
yang menjadi targetnya. Akibatnya, kredibilitas orang, produk, organisasi
atau perusahaan itu menjadi hancur. Selain itu, penyebaran hoax juga bermodus
menghancurkan tatanam kehidupan dan kerukunan dalam bermasyarakat dengan cara
menjelek-jelekkan suatu suku atau memanipulasi ajaran agama, misalnya.
Sanksi
Hukum
Penyebaran hoax yang
menghancurkan kredibilitas orang dan kerukunan masyarakat melanggar ketentuan
hukum dan dapat dikenai sanksi hukum bagi pelakunya. Ketentuan yang dilanggar
adalah Pasal 27 dan Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2008 --telah diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2016-- tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE), yang pada intinya melarang setiap orang menyebarkan berita bohong dan
informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Adapun sanksi bagi pelaku adalah pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 1 dan
2 UU ITE.
Selain itu, penyebar hoax
juga bisa dijerat dengan ketentuan pasal 14 dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 14 pada intinya mengatur tentang
larangan menyiarkan berita bohong dihukum dengan hukuman penjara maksimal 10
tahun. Sementara Pasal 15 menetapkan hukuman maksimal 2 tahun bagi orang yang
sengaja menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan keonaran di tengah
masyarakat.
Secara yuridis, ketentuan
UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 1 Tahun 1946 merupakan hukuman atau tindakan
yang bertujuan mencegah penyebaran hoax secara represif. Selain upaya
represif, pencegahan penyebaran hoax dapat juga dilakukan secara preventif
dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan para pemangku
kepentingan (stakeholder) terkait lainnya.
Pertama, menggalang
kekuatan untuk melawan dan melaporkan produsen dan penyebar hoax melalui
situs atau media sosial dengan melibatkan masyarakat (pembaca/pemirsa)
beserta pemilik situs dan media sosial itu sendiri. Kedua, mendukung gerakan
dan aplikasi anti-hoax (seperti Turn Back Hoax) serta menggelorakan kesadaran
masyarakat untuk tidak menyebarkan dan melawan hoax dalam bentuk apapun.
Ketiga, mengkampanyekan
semangat dan gerakan anti-hoax kepada masyarakat untuk tidak langsung percaya
dan senantiasa bijak dalam menyikapi setiap berita yang beredar di tengah
masyarakat, dengan cara meverifikasi kebenaran setiap berita yang diperoleh.
Keempat, mengajak dan mengikutsertakan media mainstream dan media sosial
meningkatkan kesadaran dan literasi media seluruh komponen masyarakat,
melalui peningkatan kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi
pencitraan media.
Kemampuan masyarakat, pemerintah
dan para pemangku kepentingan yang terkait untuk bekerja sama dan bahu
membahu dalam mencegah maraknya hoax baik secara represif maupun preventif,
akan berimplikasi ganda. Selain bisa mengatasi, setidaknya meminimalisasi
penyebaran hoax secara nasional, terutama menghadapi tahun politik yang sudah
di depan mata. Pun, dapat memitigasi fenomena fitnah dan upaya penghancuran
kredibilitas individu maupun tatanan masyarakat melalui produksi dan
peredaran hoax secara membabi buta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar