Pancasila
Pilar Toleransi Beragama
Augustinus Simanjuntak ; Dosen FE Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 02
Juni 2017
SEBAGAI umat Kristiani, saya benar-benar terkesan dengan
pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar Rembang, Jawa Tengah, KH
Maimoen Zubair dalam sebuah tayangan video YouTube. Intinya, kiai sepuh itu
berkata: Dari dulu Nahdlatul Ulama (NU) selalu mengingatkan empat pilar yang
disingkat dengan PBNU, yaitu P (Pancasila), B (Bhinneka Tunggal Ika), N
(NKRI), U (UUD 1945).
Pernyataan kocak tapi mendalam dalam konteks berbangsa dan
bernegara. Sebab, PBNU juga merupakan singkatan Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama. Kesan saya, beliau sebagai tokoh ulama yang disegani sangat perhatian
terhadap empat pilar dalam menjaga keutuhan bangsa.
Isi empat pilar tersebut merupakan asas universal yang
berlaku bagi semua agama di Indonesia, sedangkan nilai-nilai paling agung dan
suci dari setiap agama (akidah) lebih banyak bersemayam di hati umat dan
dibicarakan di tempat ibadah atau dalam komunitas keagamaan.
Akidah memang membutuhkan zona eksklusif guna memberi
inspirasi moral dan keteduhan hati bagi umat. Dalam forum sakral itu pula
umat bisa berdiskusi soal keimanan secara konstruktif antar sesama umat.
Eksklusivitas dan kehangatan dalam perbincangan akidah bertujuan untuk
menghindari kekeliruan tafsir dan penerapannya. Agama lain tidak perlu
dilibatkan di dalamnya.
Karena itu, negara perlu mencegah terjadinya pembahasan
nilai-nilai yang mulia tersebut di ranah bebas atau forum yang tidak pantas
sehingga membuat kelompok ateis atau golongan lain ikut membicarakannya
dengan cara yang tak patut dengan mindset yang berbeda-beda.
Membangun Nilai Universal
Artinya, sungguh tidak patut jika akidah yang agung dari
tiap agama menjadi objek pembahasan di ranah publik (umum) yang terdiri atas
beragam keyakinan atau kepercayaan. Ranah publik yang dimaksud adalah
institusi negara, hukum, politik, ekonomi, dan masyarakat yang majemuk.
Standar moral di zona publik itu harus kembali ke empat pilar yang digariskan
KH Maimoen Zubair.
Tak patut jika akidah agama ditarik masuk ke zona publik
yang di dalamnya terdapat beragam kepentingan, bahkan intrik-intrik
kehidupan. Lebih berisiko apabila nilai-nilai yang sangat sakral itu dipakai
sebagai alat atau tameng politik oleh oknum-oknum yang korup untuk merebut
atau melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, aparat hukum dan masyarakat yang
antikorupsi tidak berani menghadapi politisi korup yang memperalat keagungan
akidah agama.
Sayang jika agama yang begitu mulia dan agung tercemari
oleh orang-orang (terutama politisi buruk) yang menaruh akidah agama di
wilayah yang bukan pada tempatnya sehingga pemeluk agama lain atau ateis ikut
meresponsnya dengan sembarangan/bebas. Di negara Pancasila ini, oknum
politisi tidak sepatutnya menganggap semua masyarakat harus menerima
argumentasi kepentingannya yang sudah dibungkus keagungan akidah.
Problemnya, jika si oknum politisi gagal meraih ambisinya,
kemuliaan agama yang membungkus kedoknya jadi ikut tercemar. Politik yang
sehat adalah ketika politisi menjaga akidah agama di forum sakral (sebagai
sumber inspirasi moral) dan menjadikan Pancasila serta UUD 1945 sebagai
andalan dalam dialektika nilai di wilayah NKRI (wadah bertemunya semua
agama/golongan).
Sebagai negara demokrasi, seluruh warga yang berspirit
Bhinneka Tunggal Ika boleh berdialektika filosofis dan teoretis dalam
menyusun tatanan bernegara yang adil dan beradab. Republik ini akan rugi jika
oknum politisi bertameng akidah agama akhirnya terjerat kasus hukum (misalnya
korupsi) sehingga keindahan agama yang membungkus kepentingan egonya ikut
tercoreng.
Karena itu, negara perlu melindungi akidah setiap agama di
ranah publik. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang merupakan penjabaran
sila I Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) perlu ditambah dengan pasal
penempatan akidah setiap agama dalam forum-forum yang pantas (terhormat).
Akidah tiap agama tidak boleh dijadikan alat politik atau pelindung diri dari
pengusutan kasus.
Wilayah publik merupakan tempat kebersamaan kita sebagai
bangsa yang majemuk, tapi wajib menghormati nilai-nilai akidah setiap agama.
Titik temu agama-agama adalah terjemahan nilai-nilai universal dari empat
pilar yang dikemukakan KH Maimoen Zubair. Misalnya, semua agama di Indonesia
pasti setuju akan prinsip kejujuran, keadilan, kasih, kebaikan, hidup
berkualitas, dan perdamaian. Di sini setiap umat beragama boleh berlomba atau
berdiskusi dalam suasana damai menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Bahkan, nilai universal berstandar moral tinggi perlu dimunculkan
sebanyak-banyaknya lewat pemikiran dan perbuatan setiap warga tanpa memandang
latar belakang agama, suku, serta budaya. Nilai universal itulah yang menjadi
bahan filosofis bagi norma hukum nasional yang disepakati melalui proses
akademik dan legislasi. Indahnya nilai universal itu ibarat garam yang
meresap dan menyebar untuk merestorasi birokrasi serta kehidupan masyarakat
(umum) yang mungkin sedang bermasalah.
Nilai-nilai universal tersebut tidak perlu tampak dengan
simbol-simbol agama di ranah publik. Biarlah simbol-simbol keagamaan itu
menjadi sesuatu yang penting di wilayah akidah yang memang bersifat eksklusif
dan mulia. Garam peradaban memang tidak perlu terlihat. Yang penting semua
aspek kehidupan terhindar dari pembusukan karena kualitas garam (asas-asas
umum) yang terbaik dari ragam keyakinan. Jika ragam nilai universal terus
diperkuat, akidah tiap agama akan terus dimuliakan di ranah sakral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar