Minggu, 04 Juni 2017

Pancasila Pilar Toleransi Beragama

Pancasila Pilar Toleransi Beragama
Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen FE Universitas Kristen Petra Surabaya
                                                        JAWA POS, 02 Juni 2017



                                                           
SEBAGAI umat Kristiani, saya benar-benar terkesan dengan pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar Rembang, Jawa Tengah, KH Maimoen Zubair dalam sebuah tayangan video YouTube. Intinya, kiai sepuh itu berkata: Dari dulu Nahdlatul Ulama (NU) selalu mengingatkan empat pilar yang disingkat dengan PBNU, yaitu P (Pancasila), B (Bhinneka Tunggal Ika), N (NKRI), U (UUD 1945).

Pernyataan kocak tapi mendalam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sebab, PBNU juga merupakan singkatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kesan saya, beliau sebagai tokoh ulama yang disegani sangat perhatian terhadap empat pilar dalam menjaga keutuhan bangsa.

Isi empat pilar tersebut merupakan asas universal yang berlaku bagi semua agama di Indonesia, sedangkan nilai-nilai paling agung dan suci dari setiap agama (akidah) lebih banyak bersemayam di hati umat dan dibicarakan di tempat ibadah atau dalam komunitas keagamaan.

Akidah memang membutuhkan zona eksklusif guna memberi inspirasi moral dan keteduhan hati bagi umat. Dalam forum sakral itu pula umat bisa berdiskusi soal keimanan secara konstruktif antar sesama umat. Eksklusivitas dan kehangatan dalam perbincangan akidah bertujuan untuk menghindari kekeliruan tafsir dan penerapannya. Agama lain tidak perlu dilibatkan di dalamnya.

Karena itu, negara perlu mencegah terjadinya pembahasan nilai-nilai yang mulia tersebut di ranah bebas atau forum yang tidak pantas sehingga membuat kelompok ateis atau golongan lain ikut membicarakannya dengan cara yang tak patut dengan mindset yang berbeda-beda.

Membangun Nilai Universal

Artinya, sungguh tidak patut jika akidah yang agung dari tiap agama menjadi objek pembahasan di ranah publik (umum) yang terdiri atas beragam keyakinan atau kepercayaan. Ranah publik yang dimaksud adalah institusi negara, hukum, politik, ekonomi, dan masyarakat yang majemuk. Standar moral di zona publik itu harus kembali ke empat pilar yang digariskan KH Maimoen Zubair.

Tak patut jika akidah agama ditarik masuk ke zona publik yang di dalamnya terdapat beragam kepentingan, bahkan intrik-intrik kehidupan. Lebih berisiko apabila nilai-nilai yang sangat sakral itu dipakai sebagai alat atau tameng politik oleh oknum-oknum yang korup untuk merebut atau melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, aparat hukum dan masyarakat yang antikorupsi tidak berani menghadapi politisi korup yang memperalat keagungan akidah agama.

Sayang jika agama yang begitu mulia dan agung tercemari oleh orang-orang (terutama politisi buruk) yang menaruh akidah agama di wilayah yang bukan pada tempatnya sehingga pemeluk agama lain atau ateis ikut meresponsnya dengan sembarangan/bebas. Di negara Pancasila ini, oknum politisi tidak sepatutnya menganggap semua masyarakat harus menerima argumentasi kepentingannya yang sudah dibungkus keagungan akidah.

Problemnya, jika si oknum politisi gagal meraih ambisinya, kemuliaan agama yang membungkus kedoknya jadi ikut tercemar. Politik yang sehat adalah ketika politisi menjaga akidah agama di forum sakral (sebagai sumber inspirasi moral) dan menjadikan Pancasila serta UUD 1945 sebagai andalan dalam dialektika nilai di wilayah NKRI (wadah bertemunya semua agama/golongan).

Sebagai negara demokrasi, seluruh warga yang berspirit Bhinneka Tunggal Ika boleh berdialektika filosofis dan teoretis dalam menyusun tatanan bernegara yang adil dan beradab. Republik ini akan rugi jika oknum politisi bertameng akidah agama akhirnya terjerat kasus hukum (misalnya korupsi) sehingga keindahan agama yang membungkus kepentingan egonya ikut tercoreng.

Karena itu, negara perlu melindungi akidah setiap agama di ranah publik. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang merupakan penjabaran sila I Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) perlu ditambah dengan pasal penempatan akidah setiap agama dalam forum-forum yang pantas (terhormat). Akidah tiap agama tidak boleh dijadikan alat politik atau pelindung diri dari pengusutan kasus.

Wilayah publik merupakan tempat kebersamaan kita sebagai bangsa yang majemuk, tapi wajib menghormati nilai-nilai akidah setiap agama. Titik temu agama-agama adalah terjemahan nilai-nilai universal dari empat pilar yang dikemukakan KH Maimoen Zubair. Misalnya, semua agama di Indonesia pasti setuju akan prinsip kejujuran, keadilan, kasih, kebaikan, hidup berkualitas, dan perdamaian. Di sini setiap umat beragama boleh berlomba atau berdiskusi dalam suasana damai menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Bahkan, nilai universal berstandar moral tinggi perlu dimunculkan sebanyak-banyaknya lewat pemikiran dan perbuatan setiap warga tanpa memandang latar belakang agama, suku, serta budaya. Nilai universal itulah yang menjadi bahan filosofis bagi norma hukum nasional yang disepakati melalui proses akademik dan legislasi. Indahnya nilai universal itu ibarat garam yang meresap dan menyebar untuk merestorasi birokrasi serta kehidupan masyarakat (umum) yang mungkin sedang bermasalah.

Nilai-nilai universal tersebut tidak perlu tampak dengan simbol-simbol agama di ranah publik. Biarlah simbol-simbol keagamaan itu menjadi sesuatu yang penting di wilayah akidah yang memang bersifat eksklusif dan mulia. Garam peradaban memang tidak perlu terlihat. Yang penting semua aspek kehidupan terhindar dari pembusukan karena kualitas garam (asas-asas umum) yang terbaik dari ragam keyakinan. Jika ragam nilai universal terus diperkuat, akidah tiap agama akan terus dimuliakan di ranah sakral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar