Menghapus
Pekerja Anak
Iswadi ; Kepala Subdirektorat Analisis Statistik BPS
|
KOMPAS, 16 Juni 2017
Dua juta lebih anak-anak di Indonesia
bekerja mencari penghasilan, sebagian di antaranya tidak bersekolah dan
bekerja sebagai buruh karyawan di sektor formal (BPS, Sakernas Agustus,
2015).
Berdasarkan data PBB, sekitar 168 juta
anak-anak di dunia terperangkap sebagai pekerja anak dan banyak di antaranya
berstatus pekerja purnawaktu (full time).
Mereka tidak bersekolah dan tidak punya banyak waktu untuk bermain. Banyak
dari mereka yang tidak mendapatkan gizi dan pengasuhan yang baik.
Lebih dari setengah jumlah mereka bekerja
pada bidang kerja berbahaya, perbudakan, kegiatan melanggar hukum, seperti
perdagangan obat-obatan terlarang, prostitusi, dan terlibat dalam konflik
bersenjata.
Anak-anak idealnya tidak boleh bekerja
karena waktu mereka seharusnya digunakan untuk bergembira, belajar, bermain,
berada dalam suasana damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk
mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis,
intelektual, dan sosialnya. Menurut Konvensi ILO Nomor 138, batas minimum
usia anak yang boleh dipekerjakan adalah 15 tahun.
Perlu dicatat, ketentuan tersebut hanya
berlaku untuk jenis pekerjaan yang tergolong pekerjaan ringan. Namun, untuk
pekerjaan berat, ILO mengatur minimal usia pekerja adalah 18 tahun. Pada
1999, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO ini dengan UU No 20/1999
yang melegalkan penduduk usia 15 tahun untuk bekerja normal. UU No 13/2003
menetapkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak-anak. Namun, pada
Pasal 69 disebutkan pengecualian untuk anak-anak dengan usia 13-15 tahun yang
diperbolehkan untuk bekerja asalkan tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial anak.
Untuk dapat mempekerjakan anak dalam
pekerjaan ringan, pengusaha perlu mempunyai izin tertulis dan perjanjian
kerja antara pengusaha dan orangtua atau wali. Anak-anak usia 13-14 tahun
hanya boleh bekerja maksimum tiga jam per hari atau 15 jam per minggu.
Pekerjaan harus dilakukan pada siang hari tanpa mengganggu kegiatan sekolah,
keselamatan, dan kesehatan anak.
Selain itu, hubungan kerja harus jelas
serta upah dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengusaha juga
dilarang mempekerjakan anak-anak dalam pekerjaan yang terkait dengan
perbudakan dan sejenisnya, pelacuran, pornografi, perjudian, miras,
narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya yang berbahaya untuk
kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
Data
lapangan
Pada 2015, sebanyak 5,99 persen dari 36,8
juta orang penduduk usia 10–17 tahun di Indonesia tercatat sebagai pekerja
anak. Lebih memprihatinkan, sekitar 204.530 orang masih berumur 10-12 tahun
dan 356.490 orang masih berumur 13-14 tahun. Selain itu, sekitar 185.780 anak
usia bawah 15 tahun harus melakukan kegiatan mengurus rumah tangga. Pekerja
anak bawah 15 tahun lebih banyak berada di pedesaan dan paling banyak berada
di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.
Lebih dari 60 persen pekerja anak bawah 15
tahun masih dapat bersekolah. Namun, pada usia 10-12 tahun sebanyak 4,95
persen belum pernah sekolah dan 9,38 persen tidak sekolah lagi. Sementara
itu, pada kelompok umur 13-14 tahun, 3,52 persen pekerja anak belum pernah
sekolah dan 30,25 persen tidak sekolah lagi. Mereka sebagian besar bekerja
pada sektor pertanian dan jasa. Lebih dari 2,5 persen di antaranya berusaha
sendiri atau bukan buruh. Anak-anak itu dapat mengumpulkan penghasilan per
bulan sekitar Rp 474.000 hingga Rp 691.000 di pedesaan dan Rp 357.000 hingga
Rp 970.000 di perkotaan.
Bak pil pahit, berdasarkan data BPS, masih
ada pengusaha yang mempekerjakan 3,94 persen pekerja anak usia 10–12 tahun
dan 10,16 persen pekerja anak usia 13–14 tahun sebagai buruh karyawan pada
sektor formal. Selain itu, masih ada pengusaha yang mempekerjakan pekerja
anak lebih dari 15 jam per minggu bahkan 4,72 persen usia 10–12 tahun dan
11,20 persen pekerja anak usia 13–14 tahun bekerja lebih dari 40 jam per
minggu.
Penghapusan pekerja anak merupakan tanggung
jawab kita semua. Baik sebagai individu, kepala rumah tangga, pada komunitas
terkecil hingga pemerintah dengan pemangku jabatannya.
Sebagai individu kita memiliki sebuah
kekuatan besar, yaitu kekuatan konsumen. Boikot produk adalah salah satunya.
Perusahaan bisa tak berdaya jika tidak mampu menguasai jumlah konsumen yang
besar. Ingatperistiwa yang dialami IKEA, sebuah perusahaan besar dari Swedia
yang menjual produk-produk perlengkapan rumah tangga?
Pada tahun 1994, sebuah televisi
menayangkan film dokumenter yang menggambarkan penggunaan pekerja anak di
negara Pakistan, India, dan Nepal. Sebagian pekerja anak tersebut bekerja
pada pabrik karpet di mana IKEA merupakan salah satu distributornya. Saat itu
IKEA mendapat kecaman dari sejumlah organisasi internasional yang berdampak
pada penurunan dahsyat jumlah konsumen dan tentu saja keuntungan, tidak hanya
untuk karpet, tetapi juga untuk produk-produk lainnya.
Namun, IKEA cukup sigap saat itu, melalui
kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional mulai mengampanyekan
penghapusan pekerja anak dan menolak semua produk yang diproduksi dengan
melibatkan pekerja anak. Perusahaan tersebut berhasil menarik kembali
konsumennya dan kembali menjadi perusahaan penyedia perlengkapan rumah tangga
terkemuka hingga saat ini.
Kunci
mengatasi
Peningkatan pendapatan rumah tangga adalah
kunci yang sangat penting dalam mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia.
Faktor ekonomi merupakan pemacu utama yang memotivasi anak-anak untuk bekerja.
Anak-anak yang berada pada rumah tangga miskin dan korban bencana alam
merupakan penduduk yang paling rentan terjebak menjadi pekerja anak.
Ironisnya, dari 28 juta jiwa penduduk
miskin pada Maret 2016, sebanyak 40,22 persen (11,26 juta jiwa) merupakan
anak-anak. Karena itu, penanganan korban bencana alam yang cepat dan tepat
sangat berperan dalam mencegah bertambahnya pekerja anak.
Masih adanya anak-anak di bawah 13 tahun
yang bekerja menjadi buruh karyawan pada sektor formal menunjukkan masih ada pengusaha
atau perusahaan formal yang belum peduli penghapusan pekerja anak. Untuk
kasus ini, penegakan hukum (law enforcement) adalah jawabannya. Pemerintah
harus bertindak tegas dan memberikan sanksi berat pada perusahaan-perusahaan
bandel tersebut.
Di sisi lain, sosialisasi mengenai UU yang
mengatur pelarangan penggunaan pekerja anak harus dilakukan dengan lebih
gencar melalui media-media yang mudah diingat masyarakat. Masih adanya
penggunaan pekerja anak oleh perusahaan bisa saja terjadi hanya karena faktor
ketidaktahuan semata.
Semoga dengan ditetapkannya 12 Juni sebagai
World Day Against Child Labour oleh PBB, pemerintah semakin serius
menghapuskan pekerja anak di bumi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar