Kontekstualisasi
Laku Puasa Kekinian
Muhammad Itsbatun Najih ; Alumnus UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta;
Tinggal di Kudus
|
DETIKNEWS, 15 Juni 2017
Denyut Ramadan menembus imaji kebinekaan
sekaligus persatuan. Menghilirkan semangat kebangsaan untuk kemudian menyesap
dalam spiritualitas makna toleransi. Di Kudus, misalnya, tempat tinggal
penulis, dan saya yakin juga di banyak tempat lain, ada hal menarik terkait
fakta kebhinekaan yang menemukan relevansinya saat Ramadan tiba. Beberapa
gereja di Kudus membentangkan spanduk ucapan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.
Spanduk ucapan Selamat Idul Fitri juga bakal terpasang di gereja kala umat
muslim merayakan Lebaran.
Fenomena itu setidaknya bagi saya terasa
terpatri dalam sanubari sebagai kesejukan dalam hubungan antarumat beragama,
meski mungkin saja pemandangan seperti itu di kota-kota besar macam Jakarta
dengan masyarakat plural sudah teranggap lazim. Tapi, pun demikian, spanduk
adalah simbol yang menggambarkan ikatan kebhinekaan sebagai sesama anak
Indonesia yang kiranya berinti pesan agar jangan sampai renggang hanya
gara-gara sentimen identitas keagamaan. Dari sini pula, demarkasi
minoritas-mayoritas menjadi luruh.
Kegaduhan perihal identitas kesukuan dan
keagamaan belakangan ini hendaknya bisa diredam. Ramadan menjadi
penggemblengan jiwa dan raga umat muslim untuk meneguhkan kembali upayanya
sebagai tamsil ideal bagaimana agama (Islam) bisa selaras berjalan dengan
Indonesia yang beraneka ragam suku dan keyakinan. Mengendalikan amarah dan
sak-wasangka, dan memasung informasi menyesatkan merupakan bagian penting
kontekstualisasi laku puasa kekinian.
Celakanya, rupa-rupa sengkarut antaranak
bangsa menyulut dalam batas paling sensitif berupa agama dan etnis kesukuan.
Namun, kita masih bersyukur hingga saat ini --dan mendamba hingga kapan pun--
kebinekaan dan persatuan kita relatif terus terjaga dalam narasi NKRI. Dan,
Ramadan menjadi momen yang tepat untuk meluruhkan segala anasir-anasir
sumbang degradasi bangsa, untuk kembali saling berinstrospeksi.
Ramadan bak wadah kontemplasi untuk sejenak
mendefinisikan kembali jatidiri sebagai seorang muslim; tentang kontribusi
apa yang sudah disumbangkan demi merawat persatuan Indonesia. Kita pun
diingatkan tentang Proklamasi 17 Agustus 1945 yang "kebetulan"
jatuh saat bulan suci seperti sekarang.
Meski didominasi kalangan muslim, tapi
pelopor kemerdekaan bangsa ini, dan soal rumusan Pancasila, juga disokong
oleh kalangan lain. Pun, membubung tinggi solidaritas mereka yang sudah
dianggap sebagai anak Nusantara ketika dukungan kemerdekaan datang dari etnis
Arab maupun Tionghoa. Mereka, para pendiri Republik ini, mengejawantahkan
bahwa perbedaan agama serta asal-muasal justru menjadi kekuatan besar dalam
merajut kemerdekaan dan persatuan.
Ramadan tahun 1945 merupakan memori
kolektif ikhtiar merangkai segenap kebinekaan yang lantas menubuh dalam satu
kesatuan tanah dan air bernama Indonesia yang majemuk. Spiritnya terasa
hingga kini. Di kota besar macam Jakarta yang dihuni oleh pluralitas
masyarakat, Ramadan mampu memberikan warna lain tentang hubungan persaudaraan
lintas agama.
Banyak instansi pemerintah maupun swasta
rutin mengagendakan buka puasa bersama. Kita tahu, buka puasa bersama
nyatanya tidak melulu disesaki oleh kalangan muslim. Tapi, ikut disemarakkan
pula oleh kalangan nonmuslim. Selebrasi buka puasa macam demikian itu
merupakan potret ideal membangun persatuan dalam bingkai kebinekaan.
Ramadan juga kerap dikaitkan (atau
diributkan?) dengan urusan domain ritus muslim itu sendiri. Kita memaklumi
seakan ada dua kelompok yang terkesan "kurang kompak". Satu
kelompok menghendaki penetapan Ramadan dengan cukup menggunakan hisab dan bertarawih
delapan rekaat. Sementara kelompok lain, penetapannya harus menggunakan hisab
dan rukyah, serta bertarawih dua puluh rekaat.
Namun, "perdebatan" abadi itu
kian hari tampaknya semakin ditinggalkan. Semestinya, merajut kerukunan
antarsesama pemeluk agama (Islam) tidak kalah penting. Ada banyak ormas
keagamaan (Islam) yang meskipun berbeda pandangan politik dan ritus ibadah,
seyogyanya masing-masing tetap mengedepankan keterbukaan diri sehingga mampu
meminimalisasi syak-wasangka, untuk kemudian meneguhkan kembali Islam yang
berwajah damai.
Apalagi, kini muslim Indonesia sedang
menghadapi tantangan berupa aksi-aksi radikalisme beragama yang semakin masif
menunjukkan eksistensinya. Namun, kala Ramadan seperti sekarang, ada
pemandangan menarik yang selalu menjadi semacam ritus, yakni pasanan; sebutan
untuk kegiatan pengajian/kajian agama dari literatur keislaman klasik yang
tidak hanya didominasi kalangan pelajar Islam/santri. Melainkan, juga
didominasi masyarakat umum.
Kemenarikan itu terletak pada rata-rata kitab/materi
yang dikaji lebih berurusan soal etika dan laku; perihal bagaimana menjadi
manusia berbudi. Tema sama juga kita saksikan di pelbagai tayangan Ramadan di
televisi. Bila dicermati, tema yang diangkat lebih banyak berbicara mengenai
urusan perilaku/akhlak ketimbang babakan fikih; bagaimana menjadi manusia
yang dapat memanusiakan diri dan liyan.
Walhasil, kiranya memang seperti itulah
wajah ideal agama dihadirkan. Tema-tema dalam Al Quran nyatanya juga lebih
banyak berkutat soal akhlak dan etika dibanding berbicara ritus ibadah. Oleh
karena itu, kita berharap, kajian agama dan gemblengan jiwa selama Ramadan
dari kegiatan seperti pasanan dan acara dakwah di layar kaca bakal mampu
melahirkan pribadi-pribadi muslim yang tidak lagi gampang menguar kata kafir,
bidah, syirik kepada saudara seagamanya.
Sekaligus bertumbuh rasa penghormatan
kepada pemeluk agama lain sebagai bagian dari merawat kebinekaan dalam
bingkai persatuan Indonesia. Nabi Muhammad SAW beserta kaum muslim sudah
mencontohkannya kala bersama komunitas lintas agama membangun Madinah sebagai
rumah bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar