Kredibilitas
Kebijakan Pajak
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti INDEF
|
KORAN
SINDO, 15 Juni 2017
MENGHERANKAN, hanya dalam hitungan hari,
aturan keterbukaan informasi rekening yang termuat dalam Peraturan Menteri
Keuangan No 70/2017 berubah. Pemerintah mengubah saldo minimum yang bisa
diintip petugas pajak dari Rp200 juta menjadi Rp1 miliar.
Masyarakat dibuat bingung akan plinplan-nya
kebijakan pemerintah di bidang perpajakan. Pelaku usaha wajar cemas, bukan
karena niat menghindari pajak atau tidak ikhlas rekeningnya diintip.
Kepanikan justru muncul karena ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah.
Dalam PMK No 70/2017 maupun Perpu No
1/2017, berulang kali disebut bahwa landasan membuat aturan keterbukaan
informasi rekening untuk mengikuti Automatic Exchange of Information (AEOI)
alias perjanjian penukaran informasi antarnegara untuk keperluan perpajakan.
Sayangnya, dalam perjanjian tersebut, batas
minimal saldo yang diintip bukan Rp200 juta, melainkan USD250.000 atau setara
Rp3,3 miliar. Formula penghitungan batasan minimal saldo Rp200 juta pun
hingga kini masih misterius.
Bukan kali ini pemerintah terkesan plinplan
terhadap kebijakan perpajakan. Pada 2016, pemerintah mengeluarkan PMK No
39/2016 yang berisi keterbukaan data transaksi kartu kredit. Pemerintah ingin
mendapat data nasabah bank untuk dicocokkan dengan data laporan pajak.
Tidak lama berselang, sikap plinplan pemerintah mulai muncul. Per 31 Mei 2017,
aturan PMK tersebut akhirnya dinyatakan tidak berlaku. Alasannya, pihak
perbankan mengeluh bisnis kartu kredit yang sudah sepi akibat kelesuan ekonomi
semakin menurun karena aturan keterbukaan data.
Kegamangan terhadap kebijakan keterbukaan
informasi juga berkaitan dengan sanksi bagi pegawai pajak yang
menyalahgunakan data terkesan terlalu lunak.
Dalam PMK No 70/ 2017 tentang Petunjuk
Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, di
Pasal 30 ayat 3 dan 4 disebutkan bahwa sanksi pidana merujuk pada UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Artinya, hukuman pidana bagi petugas
pajak yang nakal hanya satu tahun.
Sementara dalam UU Amnesti Pajak, petugas
pajak yang melanggar kerahasiaan data wajib pajak bisa dipidana hingga lima
tahun. Wajar timbul pertanyaan, mengapa semakin lama sanksinya semakin lemah?
Cacat
Prosedur dan Koordinasi
Dilihat dari proses penerbitan, PMK No
70/2017 jelas mengandung cacat prosedur dan cacat koordinasi. Disebut cacat
prosedur karena mendahului keputusan DPR dalam menolak atau menyetujui Perpu
No 1/ 2017 sebagai payung hukum keterbukaan informasi.
Pemerintah terkesan arogan dan yakin bahwa
parlemen akan memuluskan aturan keterbukaan informasi. Kepercayaan diri yang
tinggi memang muncul dilandasi cepatnya proses pengesahan UU Amnesti Pajak
tahun lalu, hampir seluruh anggota Dewan menyetujui UU ini. Pemerintah memang
tidak ambil pusing soal DPR. Tetapi, kalau ternyata arah angin politik
berbalik, bukan tidak mungkin seluruh aturan turunan batal demi hukum,
padahal bank dan jasa keuangan sudah siap-siap mengantisipasi aturan ini.
Di sisi lain disebut cacat koordinasi
karena pemerintah abai terhadap aspirasi kelompok masyarakat yang terkena
dampaknya. Saat PMK No 70 diluncurkan, banyak pengusaha kecil yang merasa
kebijakan ini tidak adil dan terkesan menyasar mereka. Artinya, tujuan utama
munculnya perpu keterbukaan data untuk menarik dana repatriasi WNI di luar
negeri menjadi bias.
Pemerintah justru terkesan ingin menarik
potensi pajak domestik, terutama UMKM dan wajib pajak kecil. Pemerintah
lagi-lagi mengulang kesalahan dengan ”berburu di sarang semut”. Sebelumnya
saat target amnesti pajak diprediksi meleset jauh, pemerintah langsung
mengalihkan sasaran amnesti pajak dari pelaku usaha kakap ke UMKM. Bahkan,
aksi simbolik seperti mendatangi pasar tradisional untuk mengajak pedagang
pasar ikut amnesti pajak jelas lelucon lucu.
Pajak
Adalah Politik
Pemerintah tampaknya tidak peka terhadap
kondisi sosio-politik saat ini. Repot kalau kebijakan pajak hanya dianggap
sebagai kebijakan fiskal semata dan hitung-hitungan teknis. Padahal, salah
membuat kebijakan pajak, jutaan rakyat di Indonesia pasti akan protes dan
gaduh.
Contohnya, sasaran saldo minimum Rp200 juta
dianggap menyasar kelas menengah. Dampaknya bukan tidak mungkin muncul
gangguan likuiditas di perbankan, entah dengan cara menarik uang tunai dari
rekening bank atau muncul fenomena ”titip tabungan” di rekening teman atau
sanak famili. Perilaku tersebut wajar, mengingat kebijakan pajak kurang
kredibel dan berubah-ubah.
Berkaitan dengan likuiditas, imbas akhirnya
adalah kondisi DPK (dana pihak ketiga) atau simpanan bank semakin tertekan.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, pertumbuhan DPK terus mengalami
penurunan dari awalnya tumbuh 19,32% (yoy) pada 2013 menjadi 9,6% (yoy) pada
akhir 2016. Sementara likuiditas yang dicerminkan LDR semakin ketat di angka
89%. Gangguan pada likuiditas akan berdampak pada penyaluran kredit yang
semakin turun. Imbasnya, sektor riil semakin tercekik.
Pemerintah harus lebih peka melihat kondisi
sensitivitas kebijakan ekonomi terhadap suasana kebatinan masyarakat
Indonesia. Maklum, sebentar lagi Pemilu 2019, sedikit saja keributan karena
salah asuh kebijakan ekonomi, termasuk perpajakan, jumlah konstituen partai
berkuasa akan merosot tajam.
Hal ini menjadi pelajaran penting bagi
pemerintah, jangan bermain-main dengan aturan pajak. Kredibilitas tim ekonomi
bisa menjadi taruhannya. Semangat keterbukaan informasi perpajakan jelas
harus terus didukung, tetapi dengan prosedur dan koordinasi yang tepat, bukan
terburu-buru dan gaduh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar