Negara
(yang Tidak) Pancasilais
Agus Noor ; Direktur Kreatif Indonesia Kita
|
KOMPAS, 17 Juni 2017
Seperti obat, Pancasila diingat hanya saat dibutuhkan.
Ketika situasi sosial politik dihinggapi banyak penyakit yang mengganggu
kehidupan berbangsa dan bernegara, pada saat itulah kita seperti tersadarkan
kembali betapa pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang
bisa menjaga keharmonisan dan toleransi.
Dibentuknya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi
Pancasila (UKP-PIP) adalah sebuah upaya untuk (kembali) mengimplementasikan
apa yang kerap disebut sebagai "nilai-nilai Pancasila" ke dalam
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah yang akan ditempuh
adalah dengan mengoordinasikan, mengendalikan, dan membenahi, juga membantu
merumuskan bahan ajar, sistem pengajaran, dan metodologi pembelajaran
Pancasila ke dalam dunia pendidikan.
Tak hanya itu, Yudi Latif yang menjadi Ketua UKP-PIP
menyampaikan ide-ide yang lumayan segar untuk lebih melibatkan
komunitas-komunitas di masyarakat guna menumbuhkan dan menyosialisasikan
nilai-nilai Pancasila melalui kegiatan-kegiatan yang lebih kreatif, agar
proses ideologisasi Pancasila tidak membosankan dan benar- benar mampu
merekatkan ikatan kebangsaan (Kompas, 8/6/2017). Baiklah, kita bisa berharap,
semua proses itu tidak menjadi sesuatu yang klise dan bikin mengantuk,
sebagaimana pola penataran Pedoman Penghanyatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
zaman bauhela.
Sebagaimana ditegaskan oleh Soekarno, Pancasila adalah
philosophische gronslag, yaitu fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang menjadi dasar di mana negara
Indonesia yang merdeka didirikan. Dengan demikian, sebagai ideologi dan dasar
negara, nilai-nilai yang terkandung di kelima sila dalam Pancasila jadi
nilai-nilai normatif sekaligus acuan visi kehidupan berbangsa-bernegara.
Artinya, Pancasila tak hanya menjadi slogan dan kepentingan politis sesaat,
di mana Pancasila kemudian hanya dipolitisasi untuk menyangga kepentingan
rezim politik.
Pertanyaan dasar
Saya percaya, semua bisa berkata: saya Pancasilais. Namun,
bila memang Pancasila benar-benar telah menjadi ideologi dan dasar negara,
apakah implementasi nilai-nilai Pancasila itu memang telah benar-benar
mewujud dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara? Pertanyaan dasarnya
adalah: apakah selama ini, dari rezim ke rezim, Pancasila memang telah benar-
benar dilaksanakan oleh negara?
Pertanyaan itu menjadi penting mengingat selama ini
orientasi pembinaan dan pembelajaran ideologi Pancasila seakan- akan hanya
mengarah dan menyasar pada perilaku masyarakat. Padahal, bila memang kita
sungguh-sungguh ingin mewujudkan negara yang Pancasilais, maka yang utama dan
terutama mesti dicermati dan dikoreksi adalah penyelenggaraan negara yang
selama ini seakan "jauh panggang dari api" Pancasila.
Mengharapkan rakyat mengamalkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sementara negara sendiri kerap abai
terhadap nilai-nilai Pancasila, adalah mimpi di siang bolong. Sebab, justru
yang mestinya paling "bertanggung jawab" mengamalkan Pancasila
adalah negara.
Negara, dalam hal ini para aparatur penyelenggara negara
dan kebijakan serta seluruh peraturan perundangan yang dibuatnya, mestilah
tidak boleh mencederai nilai-nilai dalam Pancasila. Inilah yang mestinya
lebih kita perhatikan apabila kita ingin benar-benar mengimplementasikan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, kita mesti berani
mengoreksi kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang selama ini justru
terasa tidak Pancasilais.
Implementasi Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila mestinya menjadi nilai
yang mendasari seluruh kebijakan yang dibuat negara. Semangat untuk mencapai
"keadilan sosial bagi seluruh rakyat" mestilah jadi dasar yang
melandasi semua peraturan perundangan. Namun, di situlah persoalannya. Dari
rezim ke rezim, apakah "keadilan sosial bagi seluruh rakyat" itu
telah tercapai? Bila memang negara selama ini benar-benar mengamalkan
Pancasila, maka pastilah rakyat bisa benar-benar merasakan keadilan sosial
itu.
Bila selama ini ada ungkapan "hukum tajam ke bawah
tumpul ke atas", berarti memang ada problem besar yang dihadapi oleh
negara dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila itu. Karena hukum tidak
pernah benar-benar menjadi keadilan sosial yang bisa dirasakan oleh seluruh
rakyat. Dalam banyak kasus hukum yang menyangkut rakyat kecil, kita juga
masih sering melihat bagaimana negara sering kali memperlakukan rakyat kecil justru
dengan tidak "adil dan beradab".
Kita bisa pula mencermati peraturan atau perundangan yang
kini ada, seperti soal sumber daya alam, pelayanan kesehatan, penghormatan
pada nilai-nilai adat, dan juga yang lain. Apakah peraturan dan perundangan
itu sungguh-sungguh telah memperlakukan rakyat dengan adil dan beradab atau
malah terpinggirkan dan semakin jauh dari rasa keadilan sosial.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila juga
menjadi orientasi yang mempersatukan seluruh komponen bangsa tanpa memandang
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Artinya, setiap warga memiliki
kesetaraan dalam hukum, yang tidak dipisahkan atau dibedakan berdasarkan
latar identitas keyakinan, politik atau jendernya.
Apakah dalam hukum perkawinan yang diakui negara ini
semangat keindonesiaan itu memang sudah tecermin? Atau UU itu lebih
berorientasi untuk kepentingan kelompok tertentu? Belum lagi peraturan soal
pembangunan rumah ibadah, surat keputusan bersama tiga menteri yang
menyangkut kelompok minoritas itu.
Kita tak boleh lupa, bahwa masih ada kebijakan yang
terkait keyakinan beragama yang berujung pada penutupan rumah ibadah, dan
hukum tidak dijadikan solusi yang berkeadilan sosial untuk menyelesaikan
persoalan itu. Jelas, ini sangat tidak Pancasilais. Karena itu, menjadi
sebuah ironi membicarakan bagaimana rakyat mesti membangun toleransi
berdasarkan semangat Pancasila apabila masih ada peraturan atau perundangan
yang justru tidak mencerminkan toleransi oleh negara.
Belum lagi perilaku apatur negara dan para pemimpin
politik yang kerap tidak mencerminkan nilai kepemimpinan yang Pancasilais,
yakni kepemimpinan menyelenggarakan negara dengan cara "hikmat"
yang disemangati permusyawaratan yang adil. Juga perilaku politik yang justru
mencederai "periketuhanan" dan bagaimana peraturan yang ada tidak
pernah benar-benar ditegakkan untuk melindungi semangat periketuhanan itu
dari kepentingan-kepentingan politis yang yang justru mengganggu
"persatuan Indonesia".
Karena itu, yang mesti diupayakan dalam hal pemahaman dan
pelaksanaan ideologi Pancasila adalah berani mengkritisi dan mengoreksi
penyelenggaraan negara yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Selama
ini problem utama penegakan Pancasila bukanlah terletak pada kehidupan
rakyat, tetapi lebih pada negara ini diselenggarakan.
Tantangan terbesar Pancasila justru ada pada negara
sendiri. Negaralah yang justru kerap kali memperalat Pancasila untuk
kepentingan hegemoninya. Namun, nyaris tidak pernah sungguh-sungguh
mengamalkan Pancasila agar tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Jadi, bila sampai hari ini kesenjangan sosial masih begitu
tinggi, kepastian hukum belum juga dirasakan seluruh rakyat, dan masih ada
peraturan atau perundangan yang lebih mencerminkan kepentingan golongan atau
kepentingan kekuasaan, jangan-jangan selama ini negara kita memang tidak
pernah benar-benar melaksanakan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara. Benarkah selama ini negara kita memang negara yang Pancasilais? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar