Puasa
Bicara untuk Kebangsaan Kita
A Halim Iskandar ; Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 19 Juni 2017
Akhir-akhir ini begitu banyak statemen negatif, ujaran
kebencian mengalir di negeri ini dan begitu masif nilai-nilai kesantunan
diabaikan. Padahal bangsa ini membutuhkan opini konstruktif, bukan opini
konfrontatif. Ramadan mengajarkan nilai positif. Tidak sekadar nilai menahan
lapar, tetapi juga menahan ego, perkataan provokatif, dan nihilisme ibadah.
Alquran memberikan pelajaran menarik bagaimana upaya menahan ego dalam
situasi seseorang sebenarnya bisa berekspresi. Dalam hal pengendalian diri,
ajaran Islam banyak menyejarahkan dalam praktik ritual keseharian.
Lihatlah bagaimana fikih Syafiiah melarang orang
berkomentar ketika khotbah Jumat berlangsung, bahkan ketika khatib
menyampaikan hal-hal yang tidak disukai; fikih aswaja membatalkan salat
seseorang yang berbicara dalam salatnya; serta fikih adab yang mengajarkan
larangan berbicara ketika wudu. Quran menggambarkan bagaimana Maryam yang
Zahid pun masih perlu dan diperintah Allah melakukan puasa bicara, jenis
puasa yang semakin jarang dipraktikkan di negeri ini atas dalih kebebasan
berpendapat. Komentar tak cerdas sekalipun begitu mudah terucap, jadi viral
di media-media sosial, kemudian memperburuk prasangka sesama.
”Inninadhartulirrahmanishaum
anfalanukallimalyauminsiyya, sesungguhnya aku telah bernazar puasa bicara
untuk Tuhan Yang Maha Pemurah (Maryam: 26).” Ayat tersebut mengaitkan puasa
dengan kerahmanan Allah. Artinya ketika kita mengenal makrifat rahman Allah
sudah pasti takkan sembarangan berkomentar tanpa melihat efek negatifnya
terlebih dulu.
Imam Ghazali sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2001)
menegaskan bahwa aplikasi sifat rahman Allah bagi seorang muslim akan
menumbuhkan nasihat yang lemah lembut, memandang orang bersalah dengan kasih
sayang. Nah, puasa kita seharusnya berorien-tasi pada hal ini, orientasi
rahman-rahim Allah. Puasa bicara pada dasarnya berada dalam konteks
rahmatrahmaniah. Dengan menjaga lidah untuk tidak berkomentar negatif, pada
dasarnya seseorang menjaga agar rahmatrahmaniah itu tetap mengalir kepada
semua makhluk Allah.
Puasa bicara mencipta kekondusifan, menjamin rahmatan lil
alamin tetap terjaga. Singkatnya puasa dalam konteks rahmat-rahmaniah inilah
fondasi kebangsaan kita sehingga kebersamaan dalam keragaman terpelihara.
Mungkin sebuah ujaran pada mulanya tidaklah kontroversial, tetapi
persebarannya di media sosial akan menjadikannya sesuatu yang tidak
dimengerti masyarakat umum. Tak ada yang salah pada kuliah doktor tasawuf
yang membahas tasawuf falsafi di kelas pascasarjana, tetapi akan menjadi
kehebohan manakala terunggah di media sosial dan menjadi bahan penghangat
fitnah.
Hal itu terjadi baik karena adanya perbedaan pemahaman
antarpembaca/penerima ujaran ataupun disebabkan oleh penyajian ujaran yang
dilakukan pihak tertentu dengan maksud tertentu pula. Di sinilah diperlukan
kedewasaan banyak pihak dalam memilih dan memilah informasi yang beredar
cepat di media, belajar memahami bukan belajar menghakimi. Mari kita jadikan
momentum Ramadan ini sebagai momentum puasa bicara nasional atas
perkara-perkara tiada guna demi terciptanya kondisi konstruktif, dan keutuhan
NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar