Genetis
(Budaya) Korupsi
IB Putera Manuaba ; Profesor pada Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas Airlangga,
Surabaya
|
JAWA
POS, 14
Juni 2017
TAK tanggung-tanggung, ada enam tersangka tindak
korupsi yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Surabaya
pada 6 Juni 2017. Satu ketua komisi DPRD, tiga staf PNS, dan dua kepala dinas
(Kadis). Kembalinya tertangkap lagi tersangka tindak korupsi itu menunjukkan
bahwa tindak korupsi masih marak terjadi di lembagalembaga negara kita.
Tindak korupsi ini tentu saja merupakan ironi di tengah digelorakannya
semangat reformasi mental oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kita tentu
perlu memikirkan apa solusi jitu untuk mengantisipasi dan mengatasinya. Untuk
itu, (mungkin) kita perlu menelusuri genetis korupsi itu sendiri.
Selama ini, penanganan tindak korupsi di
negara kita memang lebih banyak dilakukan pasca kejadian tindak korupsi.
Didirikannya lembaga KPK merupakan satu bentuk konkret keseriusan negara
untuk memberantas korupsi di negara kita pasca-tindak korupsi terjadi.
Lembaga ini tentu saja sangat dibutuhkan oleh negara sepanjang tindak korupsi
masih ada. Dengan hadirnya KPK –sejak berdirinya hingga sekarang– kita
saksikan banyak tindak korupsi yang sudah tertangani, tentu masih banyak juga
yang (mungkin) belum tertangani, serta diprediksi juga akan (mungkin) terus
tumbuh.
Tindakan korupsi yang berkait dengan mental
korup ini harus segera diatasi, jangan ada pembiaran ( pengampunan), agar
tidak terkristal menjadi budaya ( culture). Berger, sosiolog kontemporer,
menyebut jangan sampai mengalami pembiasaan ( habitualization). Jika
pembiasaan itu terus dilakukan berulangulang, akan menjadi pola dan
tertipifikasi menjadi budaya atau akan terlembagakan (terobjectivation). Jika
itu sampai terjadi, penanganannya tentu akan makin sulit.
Selain penanganan pasca-tindak korupsi
terjadi, tentu sangat perlu melakukan pra tindakan korupsi dengan melakukan
penelusuran genetis (meminjam istilah Bourdeau) mengapa tindakan korupsi itu
terjadi. Untuk menjawab ini, memang seharusnya ada penelitian yang mendukung
sehingga diketahui genetis (budaya) korupsi ini. Jawaban genetis budaya
korupsi ini dapat dijadikan pijakan untuk membuat strategi antisipasi tindak
korupsi.
Namun, sebelumnya, genetis budaya korupsi
itu sebenarnya dapat dilihat dalam empat latar. Pertama, genetis kesalahan
orang dalam memersepsikan eksistensi uang (materi). Uang (materi) diposisikan
sebagai tujuan utama sebelum mendahulukan kerja (karya) yang seharusnya
justru menjadi tujuan utama. Dalam persepsi, uang (materi) harus diposisikan
sebagai instrumen sekaligus dampak penghargaan atas kerja (karya). Jika orang
bekerja (berkarya) dengan optimal dan bermanfaat besar bagi masyarakat,
pastilah akan dihargai dengan sesuatu yang berharga yang berupa uang
(materi). Atau, dengan kata lain, tak menganut aliran materialisme.
Kedua, genetis kesalahan orang dalam
memaknai negara. Herbert Mead –sosiologi kontemporer– dalam teorinya,
interaksi simbolik, menyebut bahwa tindakan orang sangat ditentukan oleh
bagaimana orang memaknai sesuatu. Jika sesuatu itu adalah negara, bagaimana
seseorang memaknai negara. Negara seharusnya dimaknai sebagai rumah bersama
kita (warga bangsa), yang harus dibela, dipertahankan, dikembangkan, dan
dimajukan terus-menerus dengan kemampuan dan potensi kita masing-masing.
Bukan dimaknai sebagai ’’sapi perah’’ yang menyebabkan orang selalu ingin
mengambil dan merampas kekayaan dari negara alias korupsi.
Ketiga, genetis kesalahan orang dalam
mengidentifikasi halal-haram. Orang sering mewacanakan secara fasih soal
halal-haram, namun banyak orang yang tidak bisa membedakan mana uang (materi)
yang halal dan haram. Ini sama dengan tidak dapat membedakan antara baik dan
buruk (etika). Apa akibat jika makan uang halal dan haram, digunakan untuk
menghidupi keluarga, orang yang korup tidak memikirkan sejauh itu. Jadi,
orang mesti berpikir seribu kali dan memastikan tentang sumber uang (materi)
itu. Yang namanya uang (materi) dalam benak koruptor akan selalu menjadi
halal sehingga atas persepsi ini tindak korupsi terjadi.
Keempat, genetis kesalahan orang dalam
bergaya hidup mewah (hedonisme). Orang boleh memiliki keinginan, tetapi tidak
terbelenggu keinginan, karena keinginan itu tak terbatas ( unlimited),
sehingga biasanya orang akan selalu merasa kurang. Dalam hidup, orang mesti
hidup atas dasar kebutuhan sehingga selalu bisa hidup sederhana dan
bersahaja. Yang memang memiliki uang (materi) mungkin tak masalah, tetapi
jangan sampai mengikuti keinginan dengan menggunakan uang negara, yang
diperoleh dengan berbagai kecerdasan, kecerdikan, dan tipu daya.
Kelima, genetis kesalahan orang beriman
kepada uang (materi). Dalam kondisi ini, orang menganggap uang adalah
segala-galanya. Orang sering tak menyadari bahwa dalam kondisi ini orang itu
kemudian terbelenggu oleh uang (materi) sehingga yang dipikirkan bukan lagi
keutamaan-keutamaan orang untuk apa dan bagaimana hidup di dunia, tetapi
semuanya demi uang (materi). Arifin C. Noer, dramawan Indonesia, pernah
menggambarkan orang yang berada dalam kondisi ini ibarat sumur tanpa dasar.
Apabila orang sudah terbelenggu dengan uang (materi), semua akan dilabraknya,
entah hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika semua genetis korupsi itu tersadari,
niscaya orang tidak akan melakukan tindak korupsi. Pada titik ini, diandaikan
orang telah memiliki kesadaran pada pentingnya hidup, bekerja, dan berkarya
nirkorupsi. Kapan kira-kira bangsa kita terbebas dari tindak korupsi?
Jawabannya, jika kesadaran antikorupsi sudah membudaya di negara kita. Karena
itu, setelah mengetahui genetis korupsi itu, (mungkin) program besar untuk
mengantisipasi tindak korupsi adalah memutus rantai dan gurita korupsi sejak
anak usia dini dengan pendidikan antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar