Jangan
Bunuh KPK
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM; Profesor Tamu di Melbourne Law School dan
Faculty of Arts University of Melbourne, Australia
|
KOMPAS, 18 Juli 2017
Jika ada dua orang hukum bertemu, maka akan lahir tiga
pendapat. Itu salah satu postulat yang kami pelajari saat kuliah Pengantar
Ilmu Hukum. Maka, jangan heran kalau ada profesor hukum yang berbeda
pandangan soal legalitas hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berbeda pendapat itu hal yang lumrah dan harus dihormati.
Yang jadi soal kalau beda pendapat itu sebenarnya karena alasan ”beda
pendapatan”.
Banyak aspek hak angket DPR yang bisa diulas, kali ini
saya akan membahas salah satunya saja: ”Makhluk apakah KPK itu sebenarnya”.
Ada profesor yang mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk ranah
kekuasaan eksekutif, dan karena itu bisa diangket DPR. Ada lagi yang
berpandangan, KPK adalah lembaga negara independen sehingga tidak bisa
menjadi subyek angket DPR. Persamaan keduanya adalah angket hanya dapat
dilakukan pada eksekutif (pemerintah), maka menjadi penting untuk memperjelas
posisi kelembagaan KPK. Saya akan melihat kelembagaan KPK berdasar pendapat
ahli, peraturan perundangan, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pendapat pakar
Dalam buku Jangan Bunuh KPK
(http://dennyindrayana.staff.ugm.ac.id/ publication/book), saya sudah
mengulas masalah kelembagaan KPK. Salah satu kunci untuk melihat ”jenis
kelamin” KPK adalah teori pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Kelompok pendukung angket masih terpenjara dengan konsep Montesquieu yang
membagi kekuasaan hanya pada tiga cabang: eksekutif, legislatif, yudikatif.
Padahal, teori itu sudah usang dan tak mampu lagi menjawab problematika
ketatanegaraan modern.
Dalam artikelnya, ”The New Separation of Powers”, Bruce
Ackerman menyimpulkan bahwa ketatanegaraan Amerika Serikat minimal mempunyai
lima cabang kekuasaan, termasuk komisi negara independen (independent
agencies) (Harvard Law Review, Volume 113:3, tahun 2000).
Abad ke-21 memang menghadirkan banyak komisi negara
independen, dengan berbagai alasan. Di Afrika Selatan, Komnas HAM menjadi
organ konstitusi sebagai jawaban dari politik diskriminatif apartheid. Di
Indonesia, amandemen UUD 1945 menghadirkan Komisi Pemilihan Umum untuk
memastikan penyelenggaraan pemilu profesional dan nonpartisan.
Komisi independen demikian punya beberapa ciri. Pertama,
independensinya ditegaskan dalam dasar hukum pembentukannya. Kedua, karena
independen, ia tak dapat diklasifikasikan sebagai salah satu dari tiga cabang
kekuasaan Montesquieu. Ketiga, pimpinannya tak tunggal, tetapi kolegial, dan
proses pemilihan ataupun pemberhentiannya melibatkan tak hanya satu cabang
kekuasaan. Keempat, keberadaannya tak sementara atau ad hoc, beberapa bahkan
menjadi organ konstitusi (constitutional organ). Kelima, kewenangannya
mungkin beririsan dengan salah satu cabang kekuasaan, tetapi bukan berarti
dia berada di ranah cabang kekuasaan itu.
Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi, komisi negara berada di luar
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, punya campur
sari kewenangan ketiganya. Dalam bahasa yang hampir serupa, Funk dan Seamon
(2001) mengatakan, komisi independen memiliki kekuasaan ”quasi legislative”,
”executive power”, dan ”quasi-judicial”. Argumen komisi independen adalah
kuasi legislatif karena ia mempunyai kewenangan membuat peraturan sendiri
(self-regulatory) body. Bahkan, menurut ensiklopedi Wikipedia, kekuatan
aturan komisi negara independen di Amerika Serikat setara dengan
undang-undang federal.
Yang lebih ditekankan dalam literatur Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara adalah komisi negara independen bukanlah
eksekutif. Hal demikian karena masif dan luasnya ranah kekuasaan eksekutif.
Asimow dalam bukunya, Administrative Law (2002), sengaja memisahkan komisi
negara ke dalam dua kelompok: eksekutif (executive agencies) dan independen
(independent agencies). Milakovich dan Gordon dalam Public Administration in
America (2001) menggunakan istilah dependent regulatory agencies (DRAs) untuk
yang masuk eksekutif, sebagai lawan dari independent regulatory boards and
commissions (IRCs) untuk yang independen. Perbedaan utama lembaga eksekutif
adalah kelembagaannya yang berada di bawah presiden, tidak demikian halnya
dengan komisi independen.
Menurut undang-undang
Berdasar konsep tersebut, KPK jelas komisi negara
independen. Independensi KPK diatur jelas dalam Pasal 3 dan penjelasannya di
UU KPK. KPK adalah independent agency, bukan executive agency yang berada di
bawah presiden. Meski menurut Pasal 6 UU KPK salah satu tugasnya ”melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”, KPK
tetap tak dapat dimasukkan sebagai ranah eksekutif sekalipun. KPK bukan
lembaga sementara (ad hoc) sebagaimana selama ini dikampanyekan kelompok
penentangnya. Berbeda halnya dengan beberapa lembaga pemerintah
nonkementerian yang eksistensinya memang ad hoc, tergantung arah kebijakan
presiden yang sedang menjabat.
Hak angket menurut UUD 1945 dan Pasal 79 Ayat (3) UU MD3
dilaksanakan untuk menyelidiki ”pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan pemerintah”. Karena KPK bukan eksekutif (pemerintah), maka
pendukung angket berkilah bahwa yang diselidiki adalah pelaksanaan UU. Mereka
sengaja menafikan penjelasan pasal tersebut yang mengatakan, ”Pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang
dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima
TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian”.
Penjelasan Pasal 79 Ayat (3) itu harus dijadikan acuan
resmi, yang dengan tegas membatasi pelaksanaan UU yang dimaksud UU MD3 adalah
pelaksanaan di ranah lembaga-lembaga eksekutif sehingga pelaksanaan di luar
eksekutif tak termasuk obyek hak angket. Karena KPK yang merupakan komisi
independen (di luar eksekutif), maka pelaksanaan UU-nya tidak boleh menjadi
obyek hak angket.
Putusan MK
Di antara sumber hukum tata negara berupa pendapat ahli,
UU, dan putusan MK, seharusnya yang terakhir merupakan dasar hukum yang lebih
mengikat. Pertama, karena putusan MK merupakan putusan final dan mengikat dan
menjadi jawaban resmi atas makna UU yang diuji konstitusionalitasnya. Kedua,
derajat putusan MK minimal setara dengan UU karena dia memaknai—bahkan dalam
beberapa putusan mengubah dan membatasi—arti suatu UU. Oleh karena itu, soal
kelembagaan KPK, kitaseharusnya merujuk pada putusan MK.
Paling tidak telah ada 18 putusan MK terkait kelembagaan
dan kewenangan KPK. Soal KPK adalah komisi negara independen, yang tak
berdasar tiga cabang kekuasaan klasik ala Montesquieu, ada dalam Putusan
Nomor 012-016-019/ PUU-IV/2006. Pada pertimbangan di halaman 268, MK
menyatakan, ”Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga
cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, antara lain ditandai oleh
diadopsinya pelembagaan komisi-komisi negara yang di beberapa negara bahkan
bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan
fungsi-fungsi kekuasaan negara”.
Selanjutnya soal kelembagaan KPK, minimal ada tiga putusan
MK yang seharusnya dijadikan rujukan. Pertimbangan Putusan No
012-016-019/PUU-IV/2006 halaman 269, MK mengatakan, ”KPK dapat dianggap
penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk
lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945”. Pertimbangan Putusan No 5/PUU/IX/
2011 halaman 75–76, MK menegaskan, ”KPK adalah lembaga negara independen yang
diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang
terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan…”.
Selanjutnya, pertimbangan Putusan No 49/PUU-XI/2013
halaman 30, MK kembali menegaskan, ”Pembentukan lembaga yang terkait dengan fungsi
kekuasaan kehakiman termasuk KPK mempunyai landasan konstitusional pada Pasal
24 Ayat (3) UUD1945”.
Pada tiga putusan tersebut, MK secara konsisten
menegaskan, KPK adalah komisi negara independen yang terkait dengan fungsi
yudikatif berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945. MK sama sekali tak
menyatakan KPK berkait dengan fungsi pemerintah, ataupun masuk ranah
eksekutif, sebagaimana didalihkan beberapa pendukung angket KPK.
Dengan berbagai pandangan ahli, norma UU, dan putusan MK
itu, seharusnya menjadi terang-benderang bahwa angket KPK merupakan tindakan
inkonstitusional yang tidak sah secara hukum tata negara. Angket KPK tidak
lain dan tidak bukan adalah modus baru dari upaya melemahkan—atau bahkan
membubarkan—KPK. Tindakan demikian, yang menghalang-halangi tugas
pemberantasan korupsi adalah obstruction of justice yang dapat dipidana
berdasarkan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Akhirnya, mari kita tegaskan:
”Jangan Bunuh KPK”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar