Mencermati
Perampingan Fed
J Soedradjad Djiwandono ; Guru Besar Emeritus UI;
Profesor Ekonomi
Internasional S Rajaratnam School of International Studies,
Nanyang Technological
University
|
KOMPAS, 14 Juni 2017
Selama ini sudah banyak pembahasan
dilakukan mengenai dampak peningkatan suku bunga primer Bank Sentral Amerika
Serikat dan penghentian kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) untuk membeli
sekuritas, atau dikenal sebagai quantitative easing (QE).
Tulisan ini membahas rencana Fed untuk
menjual kembali sekuritas yang menumpuk di neracanya setelah pembelian
sekuritas besar-besaran guna menanggulangi resesi berkepanjangan akibat
krisis keuangan tahun 2008/2009.
Makna
perampingan neraca Fed
Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari
upaya penanganan krisis keuangan yang bermula dari hancurnya pinjaman hipotek
perumahan bawah standar (subprime mortgage loans) yang berkembang menjadi
krisis keuangan global (global financial crisis/GFC) setelah dibiarkannya
bank raksasa Lehman Brothers membangkrutkan diri pada September 2008, Fed
melaksanakan kebijakan moneter yang keluar dari kelaziman, karena itu
dinamakan unconventional monetary
policy.
Kebijakan ini menyangkut penentuan suku
bunga pinjaman antarbank untuk overnight--fed funds rate atau prime
rate-sangat rendah, dan membeli sekuritas yang berasal dari hak tagih
pinjaman hipotek (mortgage-based securities/MBSs) selain surat utang
pemerintah. Kebijakan kedua dikenal sebagai quantitative easing (QE).
Pembelian surat utang pemerintah dan sekuritas secara besar-besaran ini
mengakibatkan penumpukan aset dalam neraca Fed. Sebaliknya, terjadi aliran
likuiditas besar-besaran ke dalam perekonomian AS dan negara-negara lain yang
menerima luberan likuiditas tersebut.
Dalam globalisasi finansial, dana akan
selalu mengalir melalui pasar uang dan modal ke mana saja yang menjanjikan
imbalan menguntungkan. Jumlah pembelian sekuritas ini sangat besar. Menurut
suatu laporan pembelian sekuritas oleh Fed dari 2008 sampai 2015 mencapai
3.700 miliar dollar AS. Financial Times mencatat, neraca Fed membengkak dari
750 miliar dollar AS tahun 2007 menjadi 4.200 miliar dollar AS pada Maret
2017.
Langkah Fed ini menambah likuiditas, pada
prinsipnya serupa dengan menambah uang beredar di dalam perekonomian. Ini
dilakukan untuk memberikan dorongan kepada perbankan agar meningkatkan
kredit, dengan harapan perekonomian yang lesu karena krisis, tumbuh kembali.
Stimulus fiskal juga dilakukan lewat
program troubled asset relief program (TARP), di mana pemerintah melakukan
langkah penyelamatan dengan membeli aset finansial bermasalah dengan
menggunakan dana anggaran. Namun, jumlahnya terbatas dan hanya terlaksana di
awal masa resesi. Setelah itu selalu dihalangi Partai Republik yang tak
mendukung peningkatan utang pemerintah dan stimulus fiskal terhenti. Program
QE dapat dikatakan menggantikan stimulus fiskal yang absen.
Kebijakan itu jadi bahan perdebatan. Dalam
penilaian saya kebijakan moneter dapat membantu, tetapi tak akan dapat
menggantikan kebijakan fiskal. Kebanyakan analis mengakui kebijakan moneter
nonkonvensional ini berhasil mengembalikan kestabilan finansial dan
menghindarkan ekonomi AS dari jurang depresi. Akan tetapi, perekonomian AS
dan dunia mengalami resesi berkepanjangan dengan pemulihan yang tersendat,
dikenal sebagai Resesi Besar (the Great
Recession).
Saya hanya ingin membahas implikasi dari
apa yang akan dilakukan Fed dengan langkah sebaliknya dari QE, saya
istilahkan sebagai perampingan dari neraca Fed karena yang akan terjadi
memang menurunnya aset finansial yang selama ini menumpuk di neraca bank
sentral AS ini.
Sebagaimana diketahui, Fed telah bertekad
meninggalkan kebijakan moneter nonkonvensional. Dari Desember 2015 hingga
Maret 2017, Fed telah tiga kali meningkatkan prime rate, setiap kali
seperempat persen. Fed merencanakan meningkatkan suku bunga tersebut tiga
kali selama tahun 2017. Dari berbagai indikasi yang dapat diikuti dalam
pemberitaan media, kenaikan yang kedua sangat mungkin akan dilakukan dalam
pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bulan ini, tepatnya pada 14-15
Juni ini.
Fed tampak masih merisaukan tingkat inflasi
yang belum mencapai target dan kurang mantapnya penciptaan lapangan kerja
bulan lalu maupun kenaikan tingkat upah. Akan tetapi, dari tingkat
pengangguran yang sudah lebih rendah (4,3 persen) dari tingkat yang dianggap
sebagai full employment (4,5 persen), demikian pula penciptaan lapangan kerja
bulanan ataupun pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), kebanyakan analis
memperkirakan bahwa peningkatan prime rate berikutnya adalah dalam bulan Juni
ini.
Selain itu, Fed juga merencanakan
melaksanakan program menurunkan jumlah asetnya yang sangat membengkak ke
suatu tingkat yang dianggap normal. Tingkat yang dianggap normal belum jelas,
tetapi umumnya berpendapat tak sampai serendah tingkat sebelum krisis
keuangan 2008. Seandainya yang akan dilakukan hanya menyangkut MBS saja, itu
sudah berarti penarikan likuiditas 1.800 miliar dollar AS. Kalaupun dijereng
bertahun-tahun tetap suatu jumlah sangat besar buat negara-negara berkembang
yang hingga kini menjadi tempat parkir dana-dana itu.
Para analis finansial memperkirakan pada
waktu FOMC memutuskan untuk meningkatkan prime rate pada pertengahan Juni,
Fed juga akan mengumumkan rencana perampingan neracanya; bagaimana cara yang
akan ditempuh, berapa jumlah pengurangan setiap waktu, sampai tingkat
seberapa perampingan dilakukan, kapan akan dimulai, dan sebagainya.
Mengapa
perlu diamati
Dalam era keterkaitan satu perekonomian
dengan yang lain melalui hubungan perdagangan dan pembiayaannya, investasi dan
transaksi keuangan lain, apa yang dilakukan suatu negara, apalagi AS sebagai
ekonomi terbesar di dunia jelas tak mungkin diabaikan, apalagi dampaknya
dapat menimbulkan komplikasi merugikan. Peningkatan likuiditas karena
pelaksanaan QE oleh Fed sebagaimana diketahui telah sangat memengaruhi
besarnya aliran kapital dan dana dari AS dan negara-negara maju lain, seperti
Uni Eropa (UE) dan Jepang yang melaksanakan QE selama ini. Demikian pula suku
bunga yang sangat rendah di sejumlah negara EU dan Jepang yang bahkan
negatif, telah menyebabkan murahnya biaya pinjaman.
Kedua hal ini telah meningkatkan aliran
dana masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang luar biasa
besar dalam sepuluh tahun terakhir. Aliran dana ini juga mendukung pembiayaan
kegiatan ekonomi, termasuk investasi yang mendorong perekonomian
negara-negara penerima dana selama ini.
Perkembangan yang sebaliknya, waktu AS
kembali kepada kebijakan moneter yang konvensional-termasuk penjualan kembali
aset finansial yang selama ini dipegang Fed-tentu akan menimbulkan dampak
yang sebaliknya dari semula, yakni aliran dana keluar dari negara-negara
berkembang termasuk Indonesia yang semula menerima dana-dana tersebut.
Selama ini Fed sudah menerima kembali dana
yang sebelumnya dikeluarkan, yaitu dari sekuritas yang jatuh tempo. Hanya Fed
mengeluarkan kembali likuiditas itu dengan membeli sekuritas baru. Namun,
dalam perampingan neraca nanti, Fed akan menentukan batas (cap) berapa besar
sekuritas yang dibiarkan jatuh tempo, menurunkan jumlah aset, dan menerima
kembali dananya. Semakin besar jumlah aset yang dibiarkan jatuh tempo semakin
besar pula penurunan jumlah aset dalam neraca Fed sampai suatu jumlah yang
dianggap normal.
Dari 4,2 triliun dollar AS aset yang
dipegang Fed, sekitar 1,8 triliun dollar AS adalah MBSs. Jumlah ini demikian
besar sehingga dinilai Fed menjadi terlalu dominan dalam pasar sekuritas
jenis ini karena itu perlu dirampingkan. Pengurangan secara terencana sampai
ke jumlah yang dianggap normal merupakan sasaran program perampingan neraca
Fed ini. Yang akan memengaruhi pasar sekuritas dan aliran dana adalah berapa
besar yang jatuh tempo setiap waktunya dan bagaimana Fed akan menentukan mana
yang dibiarkan jatuh tempo yang berarti aliran kembali dana ke Fed dan
menurunnya likuiditas atau uang beredar. Arus balik likuiditas atau dana ini
menyangkut yang sebelumnya berada di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia.
Menghindari
"taper tantrum"
Masih segar dalam ingatan kita apa yang
disebut taper tantrum. Pada 2013, saat pimpinan Fed, Ben Bernanke, membuat
pengumuman bahwa program pembelian sekuritas setiap bulan sebesar 85 miliar
dollar AS akan dihentikan karena ada tanda-tanda membaiknya kondisi ekonomi
AS, negara-negara berkembang Asia kalang kabut karena ancaman aliran kembali
dana yang semula ada dalam perekonomian mereka. Dana-dana itu sebelumnya
melalui program QE masuk dan dimanfaatkan di negara berkembang, termasuk
Indonesia. Kejutan ini terjadi bahkan sebelum Fed benar-benar melaksanakan
rencana itu dan baru mengumumkan rencananya. Itulah taper tantrum
Pada waktu Fed mulai melakukan peningkatan
prime rate pada Desember 2015 kembali lagi terjadi gejolak di sektor keuangan
negara-negara berkembang. Benar waktu dilakukan kenaikan suku bunga terakhir,
Maret lalu, kejutan serupa taper tantrum 2013 atau lifting off 2015 tak
terjadi. Saya melihat Indonesia diuntungkan dengan tak serentaknya langkah
bank sentral negara maju. Pada waktu Fed meningkatkan prime rate, Bank
Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Jepang (BoJ) masih melaksanakan program
lamanya, kebijakan moneter sangat longgar dengan suku bunga prime rate yang
masih negatif dan program pembelian sekuritas tetap dijalankan (baca tulisan
saya di Jakarta Post, "Saved by The Bell", 3/4/2017)
Akan tetapi, akhir-akhir ini kita melihat,
di tengah ketakpastian karena pemerintahan baru AS dengan Presiden Trump yang
suka bikin kejutan itu, perekonomian EU mulai menggeliat, demikian pula
Jepang. Karena itu, perampingan neraca Fed mungkin saja akan berjalan dengan
EU dan Jepang yang tentu juga akan kembali pada kebijakan moneter
konvensional. Karena itu, mewaspadai rencana perampingan neraca Fed dan
mungkin juga EU dan Jepang itu tidak bisa ditawar-tawar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar