Pembiaran
Krisis Marawi Lemahnya Diplomasi RI
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2017
SUDAH tiga pekan konflik di Kota Marawi,
Filipina bagian selatan, di kawasan Kepulauan Min danao, menelan korban jiwa
ratusan orang dan 2.000-an orang telantar mengungsi ke tempat aman. Konflik
bersenjata dan sangat berdarah di Kota Marawi dipicu upaya kelompok Maute dan
Abu Sayyaf mengambil kesempatan melakukan serangan mengatasnamakan
pembentukan negara Islam di daerah Mindanao. Konflik antara pemerintah
Filipina dan kaum separatis Mindanao ini dimulai sejak 23 Mei 2017,
menghadirkan undang-undang darurat yang diberlakukan Presiden Rodrigo Duterte
yang secara aturan konstitusi Filipina berlaku se lama 60 hari.
Ada beberapa hal yang perlu disimak dari
bentrokan berdarah di Marawi ini. Pertama, kaum separatis ini tidak bisa
disebut sebagai teroris karena pada da sarnya kelompok Maute dan Abu Sayyaf
adalah ‘bandit bertopeng kepercayaan’ yang bersembunyi di balik gerakan besar
Bangsamoro yang menuntut kemerdekaan terpisah dari Filipina maupun
mengatasnamakan pembentukan khilafah sebagai tren politik Timur Tengah.
Kelompok Maute dan Abu Sayyaf dalam dua tahun terakhir ini dikenal sebagai
bandit- bandit yang menyandera bangsa asing Eropa dan Asia Tenggara, meminta
tebusan uang dalam jumlah besar bagi kebebasan jiwa sandera mereka. Kelompok
ini juga dikenal sebagai kelompok kejam yang memenggal kepala sandera bila
tuntutan mereka tidak dipenuhi sehingga aksi mereka condong sebagai
‘kejahatan’ ketimbang ‘teroris’.
Kedua, mengingat beban po pulisme Presiden
Duterte bagi rakyat Filipina, konflik Mindanao harus bisa dipahami secara
utuh dan menyeluruh me nyangkut pertumbuhan sosial-ekonomi di kepulauan
tersebut. Pendekatan populisme sekarang bisa menjadi ancaman serius bagi
keutuhan Filipina bila Duterte tidak bisa menjaga stabilitas dan keamanan
untuk memastikan Komisi Transisi Bangsamoro (BTC) bekerja sesuai dengan
kesepakatan yang sudah dicapai.
Ketiga, narasi yang berkembang dalam jargon
‘kita dan mereka’ menjadikan keseluruh an kawasan Mindanao menjadi lebih
buruk, ketika poros ekstremisme atas nama jihad menabur teror memicu kendali
aksi teroris diambil alih oleh Isnilon Hapilon setelah Santoso tewas di
tangan pihak keamanan Indonesia pada Juli tahun lalu ketika beroperasi di
kawasan Poso, Sulawesi Tengah. Ada kekhawatiran, aksi teror di Marawi
merupakan pengalihan isu lebih luas dalam upaya mengecoh situasi keamanan di
wilayah Asia Tenggara. Keempat, sudah mulai bermunculan laporan adanya
orang-orang berkebangsaan Arab, Uighur dari Provinsi Xinjiang di Tiongkok,
dan bahkan etnik Kaukasia berdatangan ke Mindanao, termasuk orangorang
keturunan Indonesia yang militan berdatangan dari Suriah.
Ini yang menjelaskan kenapa para menteri
pertahanan Asia Tenggara dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand akan mengadakan pertemuan khusus membahas situasi keamanan
mengantisipasi terjadinya tumpahan aliran kelompok militan ke luar dari
Mindanao ketika terdesak oleh pasukan Filipina di Marawi.
Mekanisme
modalitas
Ada upaya mempercepat patroli bersama
antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang sudah lebih dari setahun
dibahas dan belum mencapai kesepakatan modalitas bagaimana mengatasi gangguan
ke amanan di sekitar perairan Laut Sulu. Aksi pemberontakan Marawi telah
mempercepat upaya ini, ketika ketiga menteri pertahanan sepakat melakukan
kerja sama pertahanan pada 19 Juni mendatang. Dalam konteks ini, masih belum
jelas mekanisme kerja sama pertahanan segitiga, apakah hanya bersiaga di
sekitar perairan Selat Sulu mencegah terjadinya tumpahan pelarian para
pemberontak yang terdesak di Marawi atau tercapainya modalitas kerja sama
militer bersama mendukung Filipina menumpas gerakan kelompok Maute dan Abu
Sayyaf.
Dari Manila dilaporkan, pasukan khusus AS
sudah ikut membantu angkatan bersenjata Filipina dalam kampanye militer di
sekitar kawasan Kota Marawi. Kita khawatir pembiaran Indonesia ketika Ke
menterian Luar Negeri tidak mengusulkan ASEAN mengada kan pertemuan khusus
mendukung Filipina akan berakibat luas tidak hanya pada masalah militer yang
sekarang dimatangkan para menteri pertahanan tiga negara. Tidak bergeraknya
Kemenlu Indonesia bisa menjadi pertanda Indonesia tidak peduli dengan
persoalan di Mindanao sekaligus membenarkan telah hilang nya sentralitas
ASEAN. Selama Kemenlu RI tidak memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo
(Jokowi), per soalan separatisme akibat bergeraknya komponen militer ekstrem
atas nama perang jihad akan leluasa berkembang mengikis kesatuan
bangsa-bangsa Asia Tenggara yang selama 50 tahun terakhir percaya pada
perdamaian dan stabilitas kawasan akibat terjalinnya gotong royong di ber
bagai bidang kehidupan, termasuk keamanan dan pertahanan.
Indonesia tidak bisa membiar kan
perkembangan di Marawi dan mengabaikan terbentuknya kondisi material di
kawasan yang berdekatan dan berbatasan langsung. Bagaimanapun juga, konflik
di Mindanao tidak hanya interaksi dualisme antara separatisme dan negara Filipina,
atau konflik sektarian yang melibatkan agama kepercayaan berbeda di
lingkungan masyarakat. Pembiaran ini akan menjadi preseden sangat buruk dalam
memelihara stabilitas dan keamanan yang menjadi prasyarat mutlak pembangunan
negara-negara Asia Tenggara.
Berkembang
liar
Ada kedekatan hubungan antara Presiden
Duterte dan Presiden Jokowi, yang sama-sama memiliki pengalaman mengelola dan
menata hubungan antarmasyarakat pada tingkat pemerintahan lokal, menjadi
walikota di Davao, Mindanao, dan Wali Kota Solo di Jawa Te ngah. Gerakan
populis global telah mendorong kedua pemimpin ini menjadi faktor penting
dalam perubahan demokrasi lokal, menggeser aristokrasi politik di Indonesia
dan Filipina. Jokowi dan Duterte bica ra da lam bahasa politik yang sama, langsung
pada persoalan, mencari peluang mendorong program kesinambungan pembangunan
bagi kesejahteraan bangsanya. Bagi Indonesia dan ASEAN, kawasan konflik
seperti Marawi terlalu penting secara strategis untuk dibiarkan berkembang
liar tanpa kendali.
Presiden Jokowi perlu menggagas pertemuan
khusus para kepala negara ASEAN, ketika mekani me diplomasi tidak mampu
memproyeksikan strategi dasar organisasi di lingkungan Asia Tenggara ini
terbentuk ka rena kesadaran perlunya mempertahankan stabilitas politik dan keamanan
kawasan. Kita tidak bisa membiarkan salah satu sudut di Asia Tenggara menjadi
‘negara terpecah’ (broken state), seperti yang terjadi di Afghanistan, Irak,
maupun Suriah, ketika solusi diplomasi menghadapi kebuntuan dan konfrontasi
militer menghadirkan kesengsaraan berkepanjangan.
Formasi perdamaian yang dicapai di kawasan
Mindanao pada Maret 2014 dengan ditandatanganinya Perjanjian Komprehensif
Bangsamoro (CAB) perlu dikembalikan pada jalurnya sebagai proses
berkesinambungan nuansa politik ekonomi, ketika ketidaksetaraan dan
ketidakadilan dibiarkan berkembang mengacaukan dimensi lain dalam tata kelola
kebangsaan Filipina. Indonesia dan ASEAN pada khususnya harus paham konflik
Marawi tidak bisa dibiarkan berkembang menjadi konflik berbasis ideologi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar