Apakah
Kau Tahu bahwa Mereka Semua Manusia?
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
|
KOMPAS, 18 Juni 2017
Saya kini berada di Jakarta, kota yang sibuknya tidak kepalang.
Saking ramai dan padat, percuma naik taksi. Selalu terlambat. Maka terpaksa
naik ojek online. Meskipun saya tahu bahwa sesampai di tujuan, saya terpaksa
menyisir rambut.. Begitulah nasib orang bule seperti saya: kalau mau dianggap
"budayawan" yang serius, boleh nyentrik dikit, bahkan bolehlah
berbau keringat seperti sapi, tetapi gaya rambut harus rapih-paling sedikit
begitu kata istri saya.
Sepeda motor dan mobil, di jalan-jalan kota, adalah dua
dunia yang total bertolak belakang. Apabila di dalam mobil, apalagi taksi,
kita seorang diri, terlindungi dari raungan sepeda motor dan bau jelata oleh
jendela kaca.
Kita seolah telah menjadi manusia unggul. Bayangkan: ada AC,
baju kita masih bersih, keringatan dikit. Maka, apabila ada sopir, kita masih
bisa bekerja, mengalkulasi keuntungan perusahaan, berenung, membicarakan
Perang Badr, mengenang nasibnya para Pandawa ketika dibuang di hutan
Wanamarta atau bahkan sembari memberikan perintah kepada sopir, memikirkan
penderitaan rakyat kecil dan nasib Pancasila di era Reformasi.
Pendeknya,
mobil yang baik adalah "ruang borju" berjalan, salah satu tempat di
mana kita-kaum elite-berlagak beradab dan berkebudayaan sambil sibuk
menciptakan jarak sosial. Maka kita berklakson, memaksa sepeda motor mundur,
ataupun kita tidur, tanpa mau menyadari betapa kita mengganggu mereka yang
memang kita sebut "mereka" itu, wong cilik itu. Tetapi, bukankah
kebutaan itu sikap khas dari kaum yang menganggap diri tercerahkan itu?
Melihat situasi itu, naik sepeda motor atau ojek dari Jakarta
Pusat menuju Bogor menjelang subuh adalah pengalaman yang semestinya wajib
ditempuh oleh setiap orang borju berpikiran bebas: lebih mencerahkan daripada
membaca editorial Kompas. Diiringi keringat, debu, bau bensin, kadang
disambut kata burung seperti "j.k", yang paling menarik ialah
ketika sampai di perempatan-perempatan, di tempat yang disebut bottleneck di
dalam bahasa Inggris: di situ, laksana air yang berkucuran keluar dari leher
botol, kendaraan tidak bisa mengucur sekaligus. Harus satu per satu. Ada
penyaringan alamiah: sikut-menyikut, sodok-menyodok, serempret-menyempret,
dorong-mendorong, raung-meraung, maki-memaki. Pokoknya rimba modern, di mana
para pengendara ojek berupaya menjadi macannya, tetapi tidak bisa, karena
pada akhirnya terpaksa menjadi tikus-kalah bersaing dengan mobil kaum borju
yang tidak tahu diri tadi.
Seperti rekan-rekan penumpang ojek lainnya, saya duduk
tegak di kursi boncengan, menghirup miliaran partikel debu polusi yang
mematikan, menikmati pemandangan atas ratusan kepala berhelm anonim. Tetapi,
apakah karena saya bule kurang ajar atau karena kepala saya kelewat besar
terjepit oleh helm yang kesempitan itu, saya tiba-tiba berpikir: ada apa
gerangan di benak orang-orang yang rela diracuni itu? Maka saya bertanya
polos kepada pengojek saya, "Bagaimana pendapat Anda tentang keadaan
politik Jakarta," jawabannya brutal. "Bagi saya, mereka yang
meributkan apakah Ahok mesti dihukum adalah juragan yang tidak pernah naik
ojek," katanya. Wah! Dia lalu menegaskan lagi, "Pokoknya, kami,
para tukang ojek, berada semua di belakangnya." Kaget benar saya
mendengar pernyataan yang selugas itu! Selain itu, "pikir-pikir",
tidak sebodoh itu juga: memang tak kurang jumlah borju yang tak segan-segan
memakai simbol pakaian dan kata-kata untuk suatu pernyataan
"kebenaran" yang tidak jelas kebenarannya atau jelas
ketidakbenarannya.
Saya lalu terdiam, membiarkannya kembali pengemudi
sikut-menyikut untuk membuka jalan bagi saya agar sampai ke tujuan kami..
Namun, dari perempatan satu ke perempatan berikut, sambil mengegas dan
mengerem, semakin sering kami yang berboncengan berbicara. Dia memberi tahu
namanya, Yudi, bertempat tinggal di Sawangan, Depok, dan bahkan
memberitahukan nama kedua anaknya, Rudi dan Aminah. Jika dari tadinya anonim,
ketika sampai di tujuan, dia sudah menjadi manusia.
Yudi kini telah menghilang, ditelan kerumunan, kembali
menjadi kepala berhelm anonim di antara ribuan kepala berhelm lainnya.
Tetapi, apakah kau tahu, di Balai Kota wahai pejabat lama dan baru di sana,
bahwa mereka semua adalah manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar