Perihal
Analog Digital Switch Off di Indonesia
dalam
Konteks RUU Penyiaran 2017
Ishadi SK ; Komisioner Trans Media; Pengajar dan Pengamat
Televisi
|
DETIKNEWS, 18 Juni 2017
Bung Abdul Salam
Taba telah me-review tulisan saya
(Detikcom, 6/6/2017) dengan bagus. Namun, karena banyak kesalahan persepsi
dalam menafsirkan tulisan saya tersebut, maka untuk menghindari misleading khususnya dari kalangan DPR
maupun para praktisi yang bergelut di dunia penyiaran radio dan televisi
serta para pengamat, ingin saya menjelaskan sebagai berikut.
Data dari Asian Broadcasting Union (ABU), European Broadcastiong Union (EBU)
serta International Communication Union
(ITU) dari tiga sistem yang diusulkan dalam rangka ASO yang terdiri dari
Single Mux Operator, Multi Mux Operator, dan Hybrid Mux Operator ketiga
lembaga tersebut merekomendasikan sistem multi mux operator dan hybrid mux
operator.
Sejauh ini hanya
Jerman dan Malaysia yang menggunakan Single Mux Operator. Mengapa hal ini
terjadi? karena Analog Digital Swith Off (ASO) memerlukan kajian dan pemetaan
frekuensi yang rumit dengan mempertimbangkan tiga faktor yaitu, pertama:
kemampuan dan kapasitas ekonomi harus lebih efisien ketika telah memasuki era
digital.
Kedua,
memperhitungkan secara teknis agar di antara pengguna frekuensi tidak saling
bertubrukan, atau mengganggu satu sama lainnya. Ketiga, proses ASO memerlukan
investasi untuk infrastruktur dan biaya operasional yang sangat tinggi
(termasuk penyediaan set up box bagi pesawat televisi yang masih menggunakan
sistem analog).
Kenapa hanya
Jerman dan Malaysia yang telah menggunakan Single Mux Operator? Dalam kasus
Jerman, sekarang ini sebanyak 85% pengguna televisi free to air (TV FTA)
telah beralih menggunakan televisi kabel yang berbayar. Sehingga, sistem
Single Mux Operator lebih cocok digunakan untuk melayani 15% dari pengguna
televisi yang umumnya merupakan stasiun televisi komunitas dan pendidikan.
Pada kasus
Malaysia, sejak partai UMNO berkuasa negara tetangga itu telah secara ketat
melakukan kontrol terhadap stasiun televisi penyiaran yang ada. Sejak awal
mereka hanya mengizinkan tiga stasiun televisi penyiaran: RTM 1 dan RTM 2,
yang merupakan stasiun televisi pemerintah, dan TV3 stasiun televisi swasta
yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh partai UMNO.
Awal Juni 2017
lalu, Malaysia telah me-launching sistem televisi digital menggunakan Single
Mux Operator dan memberikan alokasi frekuensi digital untuk RTM 1, RTM 2, dan
Empat TV Swasta TV3, TV7, TV8, dan TV 9 (yang sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh partai UMNO).
Konsep
pengontrolan penyiaran televisi di Malaysia serupa dengan pengontrolan
televisi Indonesia di era Orde Baru. Saudara Abdul Salam Taba mengusulkan
agar Undang-undang Penyiaran yang akan datang menetapkan sistem Single Mux
Operator yang sama dengan Malaysia.
Di bagian lain
Bung Abdul Salam menulis: "secara praktis penyelenggara multiflexing
jamak memicu pemborosan dan duplikasi capital expenditure (capex) dan
operational expenditure (opex) dalam pembangunan dan pengembangan
infrastruktur. Pemborosan itu dikarenakan setiap televisi yang menjadi
operator mux harus berinvestasi membangun jaringan dan infrastruktur."
Berdasarkan kajian
ATVSI justru sebaliknya, semua stasiun penyiaran telah membangun
infrastruktur di seluruh Indonesia. Ada sekitar 500 alokasi pemancar televisi
yang telah dibangun di seluruh wilayah di Indonesia, sehingga tidak perlu
lagi dibangun stasiun pemancar baru ketika ASO diberlakukan. Pembangun oleh
pemerintah dalam sistem multi mux selain membutuhkan waktu yang lebih lama,
tentu memerlukan dana APBN yang sangat tinggi.
Dalam konteks
ini, Bung Abdul Salam menulis: "dalam proses ASO, kekhawatiran bahwa
seluruh infrastruktur yang telah dibangun oleh penyelenggara TV free to air
yang tersebar di 50 lebih wilayah layanan dan melayani paling sedikit 500
infrastruktur kabupaten dan kota di seluruh Nusantara, menjadi mubazir, tidak
beralasan. Sebab, semua infrastruktur tersebut dapat digunakan kembali dan
investasi para penyelenggara TV FTA dapat diganti oleh pemerintah atau
operator multifleksing tunggal yang terpilih, misalnya, setelah ditaksir dan
dikalkulasi ulang."
Menurut hemat
saya, pemindahan aset perusahaan tentu tidaklah sederhana. Diperlukan kajian
yang lama karena segala aset perusahaan, khususnya aset material value-nya
dari tahun ke tahun meningkat. Para praktisi perusahaan tentu paham bahwa
aset material tersebut sudah dibukukan menjadi aset kekayaan perusahaan yang
value-nya meningkat dari tahun ke tahun dan sebagian dari aset tersebut telah
dijadikan jaminan untuk perolehan kredit dari bank maupun lembaga finansial
lainnya.
Sementara itu,
tujuh dari sepuluh anggota ATVSI telah public listing sejak lama. Para
pengamat ekonomi tentunya paham pemindahan/penjualan aset material perusahaan
material yang sudah public listing harus lewat izin pemegang saham perusahaan
yang sebagian kecil bisa aja adalah perusahaan asing.
Para pemegang
saham itu pasti mempermasalahkan secara legal jika single mux operator
diberlakukan, karena akan menyebabkan asset material mereka diambil alih.
Sebagai sebuah perusahaan yang sudah public listing dijamin kepastian
usahanya lewat undang-undang perusahaan maupun undang-undang monopoli
perusahaan.
Kesimpulannya,
sistem multi mux operator maupun hybrid mux operator adalah cara terbaik
dilihat dari pertimbangan geografis, maupun politis sebagai stasiun penyiaran
pemersatu bangsa. Menggunakan sistem multi mux operator maupun hybrid mux
operator jauh lebih baik dibanding single mux operator, dilihat dari segi
kecepatan proses perpindahan ASO, maupun biaya investasi yang harus
disiapkan.
Lebih penting
lagi setelah melakukan uji coba TV Digital (2012) dan studi banding ke
berbagai negara, dapat dipastikan sistem multi mux, maupun hybrid masih
menyediakan alokasi digital dividen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
alokasi broadband deviden, yang pada gilirannya dapat meningkat kapasitas
internet di Indonesia.
Di kanal bandwith
22 sampai dengan 62 yang selama ini digunakan oleh TV Analog, kanal 49-62 UHF
telah disediakan range frekuensi 700 MHz – 800 MHz untuk digital deviden.
Boston Consulting Group dalam studinya (2013) menyatakan, setelah ASO
Indonesia mesti menyisakan 700 MHz untuk keperluan broadband yang dapat
meningkatkan GDP Indonesia sebesar US$ 36,3 Triliiun dan 283.000 lapangan
kerja selama periode 2014 – 2040 dapat terpenuhi .
Lebih dari itu, sistem multi mux maupun
hybrid akan lebih mampu menjamin demokrasi serta kebebasan mengemukakan
pendapat, seperti dijamin oleh UUD 1945 pasal 29. Memaksakan sistem single
mux operator sama dengan memutar balik jarum jam sejarah kembali ke era
kontrol dan uncertainty bisnis yang
pasti akan mengancam kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Khususnya dari
segi kebebasan menyampaikan pendapat dan demokrasi yang telah dicanangkan
pada Mei 1998, hampir 20 tahun yang lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar