Memaknai
Perjalanan Tagore ke Jawa
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika, ITB;
Atase Pendidikan dan
Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS, 17 Juni 2017
"Pada malam sebelum
keberangkatan ke Jawa, saya berdoa agar pikiran saya dibebaskan dari semua
rasa bangga dan bersahaja dengan pelajaran abadi dari kebenaran".
Rabindranath Tagore
Setelah mengunjungi Singapura dan Malaya hampir sebulan,
penerima Nobel Sastra, Rabindranath Tagore, melakukan perjalanan ke Sumatera,
Jawa, dan Bali, 17 Agustus hingga 30 September 1927.
Dalam kunjungan itu, Tagore berencana berziarah ke gagasan
India di luar batasan geografi maupun politik. Pujangga sekaligus pelopor
pendidikan nasional India ini menjumpai kelanjutan gagasan India dan juga
beberapa tokoh kebangsaan Indonesia. Perlu dicatat, dalam tulisan ini,
umumnya kata India diartikan sebagai gagasan, bukan negara ataupun bangsa,
kecuali dinyatakan lain secara khusus.
Perjumpaan gagasan
"Sejarah India ialah sejarah gagasan, yang seperti
buah masak merekah memencarkan biji benihnya beterbangan terserak ke berbagai
tempat jauh, bertumbuh subur mencapai kemegahannya," ujar Tagore. Karena
itu, katanya, jejak kelanjutan gagasan India yang sebenarnya akan ditemukan
di luar subdaratan India.
Setelah menyeberangi daratan dan lautan, benih gagasan
India bertumbuh bukan sebagai salinan, tetapi jadi kelanjutan gagasan baru
yang mewujud berbeda serta megah. Hal ini diamati dan diungkapkan Tagore saat
di Bali. Dalam satu suratnya, dia menulis bahwa Hindu dalam bentuk murninya
tak ditemukan di Bali, tetapi dirasakan dalam wujud yang lain. Kemudian,
walau memang sudah diketahui bahwa kisah Mahabharata memiliki banyak versi
dan ditulis dalam waktu berabad- abad, Tagore mencatat Mahabharata yang
ditemukannya bertumbuh di Jawa dan Bali berbeda dan belum pernah ia jumpai
sebelumnya di subdaratan India. Demikian juga keagungan Borobudur dan
Prambanan yang berada di luar daratan India.
Walau Tagore berhasil menemukan gagasan "kelanjutan
India" di Jawa dan Bali, tetapi yang ditemui suatu
"kelanjutan" yang berbeda dan tak selengkap dengan gambaran di
pikirannya sebelumnya. Tagore memang merasakan gagasan India yang telah
dengan indah berpadu, tumbuh berkembang, dan menyatu dengan kebudayaan Jawa dan
Bali. Namun, dalam harapannya, peradaban Indonesia juga melibatkan dan
menafsirkan dunia "lain", termasuk budaya Barat modern.
Dari situ, pandangannya seperti mengingatkan kesenadaan
dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Walau keduanya nasionalis, menjunjung
budayanya, dan teguh memimpikan kemerdekaan bangsanya, tetapi keduanya bukan
chauvinist, apalagi alergi bergaul dengan Barat. Keduanya membedakan Barat-
penjajah dengan Barat yang mengembangkan pengetahuan modern. Keduanya
menentang Barat penjajah, tetapi tak pernah ragu bersahabat dengan Barat
pengembang budaya pengetahuan ilmiah.
Saat tiba di Bali, Tagore terkesima mengamati masyarakat
Bali dengan keunikan rupa serta warna pakaiannya. Gambar-gambar di lukisan
pada dinding Goa Ajanta seperti hidup kembali di depan mata, ungkapnya lewat
surat tertanggal 30 Agustus 1927.
Pada satu sisi ia kagum dengan pelestarian budaya Bali
yang seperti berhasil melambat dalam mesin waktu, tetapi pada sisi lain ia
sesungguhnya berharap budaya masa depan juga bertumbuh berpadu. Tagore
berpendapat bahwa budaya perlu dikembangkan ke depan, bukan diawetkan mandek
di masa lalu. "Masa Lalu memang hebat, tetapi Masa Lalu harus dilewati
dan tugasnya memang untuk tertinggal di belakang Masa Kini, tidak boleh Masa
Lalu berhenti di depan Masa Kini dan menghalangi jalan untuk mewujudkan
dirinya." Ungkapan ini dikutip di artikel "Rabindranath Tagore in
Indonesia" (Das Gupta, 2002).
Perjumpaan manusia Asia
Perjumpaan Tagore dan Ki Hadjar di Yogyakarta amat
penting. Keduanya, yang sama-sama nation builder atau pembangun bangsa,
meyakini strategi kemerdekaan bangsa melalui pendidikan. Karena itu, keduanya
sama- sama membangun institusi pendidikan, yakni Visva Bharati (di
Santiniketan) dan Taman Siswa (di Yogyakarta).
Kedua institusi pendidikan ini sama-sama mendasari pada
kemanusiaan dan kemerdekaan. Tagore menyisipkan keterkaitannya dengan dunia
dalam moto institusinya: "Di mana dunia bertemu dalam satu sarang".
India wajib membagikan budaya terbaiknya bagi dunia, katanya, tetapi India
juga berhak menyerap budaya terbaik dari yang lain.
Setelah pertemuan dua pendidik tersebut, kerja sama
pendidikan dan kebudayaan antara Visva Bharati dan Taman Siswa berlanjut
beberapa kali dengan pertukaran pengajar, walau tidak seintensif yang
didambakan Tagore dan Ki Hadjar. Yang perlu dicatat pula, seorang murid Taman
Siswa cabang Jakarta, Kartika Affandi (putri pelukis Affandi), melanjutkan
belajar seni ke institusi Tagore tersebut.
Kecuali ke Taman Siswa, saat di Yogyakarta, Tagore juga mengunjungi
institusi pendidikan perempuan Muhammadiyah dan bertemu pengampunya, Nyai
Ahmad Dahlan.
Namun, perlu disayangkan, isi pembicaraan saat perjumpaan
Tagore dengan para pelaku sejarah Indonesia masih belum cukup tergali. Ke
depan, amat perlu ditelusuri melalui berbagai catatan, rekaman, atau
surat-surat anggota delegasi Tagore saat itu. Misalnya, skolar Belanda,
Arnold Bake, dan skolar, India Suniti Kumar Chatterji. Lalu, juga perlu
ditelaah catatan maupun ingatan guru dan murid Taman Siswa dan keturunannya.
Perjumpaan dua pelopor pendidikan pemerdekaan 90 tahun
lalu tersebut berharga bagi pemahaman sejarah pendidikan nasional sekaligus
sejarah kebangsaan Indonesia dan India. Pendalaman dan kajian filosofi
pendidikan dari keduanya perlu ditelusuri hari ini. Keduanya telah memelopori
"pendidikan Asia" yang diangankan saat itu dan menawarkan
alternatif terhadap pendidikan yang mutlak Barat.
Tagore dan Ki Hadjar sama- sama memiliki visi ke masa
depan. Ini, misalnya, ditunjukkan oleh keduanya yang tak ragu menerapkan
terobosan pendidikan modern yang dibangun Maria Montessori. Karena itu,
penting dan layak diteliti keterkaitan gagasan pendidikan, kemanusiaan,
sampai keyakinan antara tiga tokoh pendidik besar-Ki Hadjar, Tagore, dan
Montessori-ini.
Dalam kunjungan di beberapa kota, Tagore bertemu dengan
sejumlah tokoh kebangsaan dan bangsawan. Yang layak dicatat, mendekati saat
akhir perjalanan peradaban ini, di saat pengawasan agak lengah, Tagore
berjumpa dengan pegiat politik muda dan penuh semangat di Bandung, yakni
Soekarno pada 27 September 1927. Ini sekitar setahun sebelum peristiwa Sumpah
Pemuda. Dari situ, Tagore menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan di subbenua
India, seperti oleh Mahatma Gandhi dan Motilal Nehru (ayah PM Jawaharlal
Nehru), ternyata diikuti dan disimak baik oleh para pejuang kemerdekaan
Indonesia. Tagore dan delegasinya sangat terkesan dengan Soekarno sebagai
pemimpin muda yang menawan.
Secara nyata, perjalanan Tagore ini sebuah bentuk
diplomasi ajakan pembangunan kembali persahabatan budaya Indonesia-India yang
pernah sangat erat di awal sejarah. Kecuali itu, cara pandang kesetaraan
budaya tanpa superioritas yang diteladankan Tagore layak direnungkan dalam
perumusan diplomasi budaya di abad ke-21 ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar