Pesan
Damai Puasa
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina,
Jakarta
|
KOMPAS, 19 Juni 2017
Beberapa hari menjelang Ramadhan, 22 Mei, bom bunuh diri
meledak di Manchester Arena, Inggris. Salman Abedi (22), si pelaku, terbukti
terkait dengan NIIS.
Tiga hari kemudian, Kamis (25/5), bom bunuh diri meledak
di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Lima orang tewas: dua pelaku bom bunuh diri
dan tiga aparat polisi. Beberapa warga sipil terluka. Dua bom bunuh diri itu
adalah sebentuk teror dari para ekstremis radikal yang mengatasnamakan agama
dalam aksinya. Miris sekaligus ironis, tibanya Ramadhan disambut dengan aksi
yang kontra dengan pesan dan nilai-nilai religius Ramadan.
Ramadhan membawa pesan damai dan kebaikan, bukan kekerasan
dan keburukan. Muslim pada bulan itu diwajibkan berpuasa, menahan diri.
Maksudnya, menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar hingga
terbenam matahari. Juga menahan segala anggota tubuh, seperti indera, dari
melakukan hal-hal buruk atau jahat. Juga menahan hawa nafsu atau hasrat
destruktif yang selalu mendorong pada hal-hal, keinginan-keinginan,
niat-niat, dan rencana-rencana buruk atau jahat terhadap orang lain.
Puasa bertujuan menahan seseorang dari perilaku buruk,
termasuk tindakan kekerasan, intimidasi, dan teror terhadap orang lain dengan
alasan apa pun. Sebaliknya, puasa mendorong seseorang untuk meningkatkan
kebaikan atau amal saleh serta berupaya membentuk diri sebagai pribadi
berkualitas, yang punya rasa kasih sayang terhadap sesama, toleran, cinta
damai, anti-kekerasan, dan seterusnya. Apa yang dilakukan para teroris dengan
melakukan pengeboman dan membunuh manusia jelas berlawanan dengan tujuan
puasa yang mulia.
Kekerasan, terorisme, atau tindakan-tindakan sejenis
antara lain lahir dari sikap intoleran, tidak menghargai dan menghormati
perbedaan. Para pelaku menyebut tindakan mereka dimotivasi oleh ajaran agama,
padahal tidak. Fenomena terorisme yang terjadi di banyak negara di dunia,
kata Murad W Hofmann dalam Islam the Alternative (1999), sama sekali tak ada
hubungannya dengan Islam atau agama lain mana pun. Setidaknya, ada pula
kekerasan yang dilakukan orang-orang non-Muslim, yaitu orang-orang yang terkait
dengan agama Kristen, yang juga telah mencapai titik keputusasaan: para
pendukung "teologi pembebasan" di Amerika Selatan, gerilya kota
Irlandia Utara, para anggota Red Army Faction di Jerman, Action Directe di
Perancis, dan Brigate Rosse di Italia.
Ajaran agama sesungguhnya mendorong pada sikap toleran.
Dalam Islam, misalnya, Al Quran berulang-ulang menyatakan, perbedaan di
antara umat manusia-baik warna kulit, kekayaan, ras, maupun bahasa-adalah
wajar. Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi sebagai rahmat.
Ini bisa disimak dalam ayat: "Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan" (Al-Maidah: 48). Ayat lainnya:
"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi
seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi
orang-orang yang beriman?" (Yunus: 99).
Kegagalan ideologi sekuler
Para teroris, juga para pelaku kekerasan atas nama agama,
ingin memaksakan kehendak dan keyakinannya atas orang lain. Ini jelas
tindakan yang kontra dengan pesan Al Quran tadi.
Agama, sepanjang sejarahnya selama ribuan tahun, seperti
disebutkan Karen Armstrong dalam bukunya, Fields of Blood: Religions and the
History of Violence (2014), memang erat hubungannya dengan kekerasan dan
perang. Namun, hubungan itu sesungguhnya lebih banyak bukan dimotivasi oleh
ajaran agama, melainkan oleh motif politik dan ekonomi. Para nabi dan rasul
pendakwah agama, atau para pemimpin yang dianggap menjadi pencetus suatu
agama, selalu membawa pesan damai dan anti-kekerasan, bahkan sangat mengecam
kekerasan dan perang yang sangat menghancurkan dan merusak.
John L Esposito dalam The Future of Islam (2010) menyebut
bahwa penyebab utama terorisme global adalah kekecewaan politik dan ekonomi,
tetapi sering disamarkan oleh bahasa dan simbolisme keagamaan. Agama menjadi
cara efektif untuk melegitimasi dan memobilisasi dukungan. Sebagaimana
terlihat di Irlandia Utara, Sri Lanka, India, Israel, Palestina, Irak
pasca-Saddam, Kashmir, Chechnya, atau dalam strategi global Osama bin Laden
dan Al Qaeda, kekecewaan dan tujuan utamanya sering bersifat nasionalis:
untuk mengakhiri pendudukan wilayah atau untuk memaksa kekuatan militer
"asing" keluar dari tempat yang oleh gerakan ini dianggap tanah
mereka.
Maraknya gerakan terorisme, menurut Juergensmeyer (1993),
berakar pada ketidakpercayaan terhadap ideologi nasionalis sekuler karena
kegagalan ideologi sekuler dan pengaruh globalisasi. Dalam lingkungan seperti
itu, agama dapat menjadi alternatif bagi munculnya ideologi tentang
keteraturan (ideology of order). Selain itu, agama juga memiliki citra
pertempuran kosmik (cosmic war) yang merupakan salah satu cara dalam melihat
krisis-krisis sosial. Keppel (2006) menyebut munculnya kelompok jihadis
disebabkan kekecewaan terhadap Barat. Kelompok ini menganggap bahwa
sekularisme dan modernisme Barat telah menghancurkan nilai-nilai dan
masyarakat Islam, dan karena itu harus diperangi, termasuk dengan kekerasan.
Tidak ada motif yang murni agama di situ karena agama
jelas tidak menginginkan segala bentuk tindak kekerasan dan terorisme. Agama
hanya ditarik-tarik untuk dijadikan sebagai pembungkus untuk menutupi motif
sesungguhnya. Atau dijadikan sebagai stempel untuk mengecap suatu tindakan
biadab (membunuh banyak orang) sebagai aksi religius yang kelak akan dibalas
surga di akhirat.
Apa yang terjadi di Manchester, juga di Kampung Melayu,
serta di tempat-tempat lain di berbagai belahan dunia dengan peristiwa
sejenis, seperti di Timur Tengah yang hingga kini terus bergolak, merupakan
bentuk pelecehan dan penodaan paling terang benderang terhadap nilai-nilai
luhur agama yang seharusnya dijunjung tinggi. Adalah tugas utama semua orang
beragama untuk menebarkan pesan damai, toleransi, dan sikap welas asih di
mana pun berada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar