Restorasi
Desa
Bambang Ismawan ; Pendiri dan Ketua Dewan
Pembina Yayasan Bina Swadaya
|
KOMPAS, 15 Juni 2017
Desa
dan sektor pertanian (informal) sudah sejak lama rentan terhadap
fenomena marjinalisasi. Tidak terkecuali adalah desa yang kaya sumber daya
alam.
Dalam banyak kasus, ketika korporasi besar
perkebunan, pertambangan, atau industri lainnya masuk desa untuk
mengeksploitasi sumber daya alam, nyaris selalu terjadi konflik dengan
sejumlah petani yang terancam kehilangan mata pencarian dan lahan garapannya
atau terimbas dampak negatif lingkungan.
Berbagai dampak negatif lingkungan dari
eksploitasi sumber daya alam oleh industri, sebagai marjinalisasi ekologis
perdesaan, mengakibatkan disorganisasi ekosistem, hilangnya basis sumber daya
warga lokal, dan timbulnya risiko sosial ekonomi dan kesehatan bagi warga
desa.
Ekspansi masif perkebunan besar sawit,
misalnya, cenderung mendorong meluasnya deforestasi dan mereduksi
keanekaragaman hayati. Meluasnya deforestrasi ini meningkatkan ancaman banjir
dan longsor pada musim hujan serta kekeringan di musi kemarau.
Demikian pula dalam kasus penguasaan mata
air dan eksploitasi sumber air oleh industri air minum dalam kemasan (AMDK),
kepentingan petani dikorbankan dengan hilangnya akses sumber air untuk pertanian dan kehidupan
sehari-hari warga desa. Akibatnya, lahan tidak produktif karena kelangkaan
air untuk irigasi, akses air bersih semakin sulit, penghasilan riil petani anjlok,
dan kemiskinan perdesaan kian meluas.
Padahal, tanpa berebut lahan dan air dengan
korporasi besar pun, para petani kecil sudah harus berjibaku untuk sekadar
bertahan hidup akibat sempitnya lahan pertanian, bahkan menghadapi gempuran
dari berbagai sisi, mulai dari rentenir, tengkulak , pengijon, tingginya
biaya input pertanian, potensi bencana ekologis, dan lain sebagainya. Maka,
ketika neraca usaha taninya terus-terusan negatif alias bangkrut, petani tak
punya pilihan lain, kecuali menjual lahannya
Berdasar Sensus Pertanian BPS, selama 10
tahun antara 2003 dan 2013, sekitar 500.000 petani gurem
"menghilang" setiap tahun yang terindikasi menjual lahan
pertaniannya. Rerata penguasaan lahan
petani yang meningkat dari 0,35 hektar menjadi 0,8 hektar dalam kurun waktu
yang sama bukanlah sinyal yang menggembirakan karena merupakan akibat dari
menghilangnya sejumlah besar petani gurem tersebut.
Buruknya kualitas infrastruktur sosial,
infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur sanitasi lingkungan perdesaan selama
berpuluh-puluh tahun mendorong lebih jauh proses marjinalisasi desa. Alhasil,
tidaklah mengherankan jika kawasan perdesaan dikenal sebagai sarang
kemiskinan nasional dan pemasok kaum pendatang dan tenaga kasar ke kota-kota.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) September 2016, sebanyak 62 persen
penduduk miskin bermukim di daerah perdesaan.
Rekonstruksi
infrastruktur sosial
Desa sejatinya adalah akar dari "pohon
besar" yang bernama Republik Indonesia. Bahkan, Mahatma Gandhi
memosisikan desa sebagai jantung negara. Marjinalisasi desa jelas
bertentangan dengan amanat UUD 1945. Oleh karena itu, desa harus
diberdayakan, direvitalisasi, dan direstorasi.
Pengakuan bahwa desa merupakan self
governing community seperti ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa dan implementasi UU tersebut dengan penggelontoran dana
desa sejak 2015 dapat dipandang sebagai titik balik dari fenomena
marjinalisasi ke demarjinalisasi desa, kendati baru pada tahap awal.
Restorasi desa yang berbasis prinsip
rekognisi dan subsidiaritas dapat dilakukan melalui strategi berikut, yaitu
(a) pembangunan infrastruktur
perdesaan secara masif baik infrastruktur dasar ataupun infrastruktur
sosial perdesaan secara berimbang, (b) reformasi agraria yang memungkinkan
sebagian besar petani dapat memiliki lahan secara layak, dan (c)
mengembangkan kegiatan ekonomi atau
industri non-usaha tani perdesaan
(rural non-farm industry), khususnya
bagi warga desa yang tidak tertampung
oleh sektor pertanian dan reformasi agraria.
Restorasi desa bukan hanya menyangkut sarana dan prasarana dasar perekonomian semata seperti halnya
jalan desa, embung desa, jaringan irigasi, pasar desa, dan lain sebagainya.
Pembangunan sarana dan prasarana
perekonomian sangat penting, karena menyangkut akselerasi pertumbuhan ekonomi desa dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Namun, tak kalah pentingnya adalah
pembangunan infrastruktur sosial yang menjadi katalisator atau lingkungan
bersemainya modal sosial yang berupa jejaring atau relasi sosial, kohesi
sosial, rasa saling percaya dan saling pengertian antarwarga desa, dan
norma-norma sosial yang memfasilitasi kerja sama atau kegotongroyongan
antarwarga desa tersebut. Infrastruktur sosial ini dapat berupa aktivitas,
kelembagaan warga desa, dan fasilitas yang mendukung tumbuhkembangnya modal
sosial tersebut.
Infrastruktur sosial dapat berdimensi fisik
maupun nonfisik. Ruang-ruang publik,
balai desa, balai serba guna, sarana kesehatan, sarana pendidikan,
sanggar-sanggar seni budaya merupakan
fasilitas fisik berlangsungnya interaksi antarwarga desa yang dapat memupuk
modal sosial. Demikian pula event-event budaya dan olahraga tingkat lokal
dapat mempererat kohesi sosial.
Sementara lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga
sosial-ekonomi yang berakar pada warga
desa akan mempermudah pencapaian tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
warga desa secara kolektif.
Modal sosial berperan penting dalam
mengembangkan kegiatan ekonomi
pertanian dan nonpertanian perdesaan. Pasar produk-produk pertanian
yang cenderung tidak sempurna (imperfect), dapat diatasi dengan jejaring
sosial yang kuat. Modal sosial juga membantu para petani
dalam mendapatkan alternatif akses terhadap sumber finansial untuk usaha
taninya.
Dana
desa
Realisasi restorasi desa bertumpu pada
pemanfaatan dana desa. Selain untuk membangun infrastruktur dasar, sebagian
dari dana desa secara bertahap dapat dialokasikan untuk membangun ruang-ruang publik, seperti alun-alun desa,
play ground, tempat rekreasi tingkat lokal desa, dan pusat budaya desa.
Sebagian lainnya (relatif kecil) untuk
menstimulasi kegiatan serta festival budaya tradisional dan olahraga tingkat
lokal.
Dalam porsi yang sedikit lebih besar untuk
mengembangkan pendidikan anak usia dini (PAUD)/taman kanak-kanak (TK),
pusat kegiatan pendidikan
masyarakat desa, posyandu, pos obat
desa, dan pusat kesehatan desa. Tentu saja masih ada porsi tertentu
dialokasikan untuk pengembangan usaha badan usaha milik desa (BUMDesa) dan
pemberdayaan masyarakat, termasuk pengembangan kelembagaan koperasi berbasis
warga desa.
Pemerintah pusat melalui kementerian
terkait perlu mengembangkan standar sarana dan prasarana desa yang lebih
baik, khususnya sarana pendidikan dan kesehatan di tingkat desa.
Selanjutnya, secara proporsional,
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten meningkatkan program-program
fasilitasi untuk restorasi desa sesuai dengan kewenangan yang digariskan
dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar