Pesan
Pendidikan di Balik Viral Afi
Nurul Lathiffah ; Pemerhati Pendidikan;
Penulis Buku Psikologi dan Agama
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2017
MEMBACA perkembangan kasus Afi, baik di
media massa maupun dunia maya memberikan banyak lompatan emosi yang
mengejutkan. Awalnya, putri bangsa bernama lengkap Asa Firda Inayah (Afi)
atau yang lebih populer dengan nama Afi Nihayah Faradisa menjadi viral di
media sosial, dan bahkan dunia nyata karena tulisan-tulisannya yang
mengagumkan.
Dalam statusnya di laman Facebook, Afi
kerap menulis pesan-pesan mengenai keberagaman, keharmonisan, dan kasih
sayang.
Harus jujur, ada rasa bangga sekaligus haru
bahwa dalam usia kronologis yang belum menginjak dewasa, Afi dapat
mengemukakan pandangan yang inspiratif dan mencerahkan. Secara konten,
tulisan Afi memang menakjubkan. Tentunya, hal itu bukan muncul serta-merta
sebab ia berkisah tentang kebiasaan membaca yang mampu memberikan ragam
perspektif tentang kebijaksanaan.
Sampai di sini, kita perlu merasa bangga
sebab tak banyak remaja yang mampu 'berpuasa' dari hiruk pikuk kesenangan,
dan bahkan mampu mengendalikan dirinya dalam aktivitas yang sarat akan budaya
intelektual.
Terlebih jika kita selami, latar budaya
keluarga Afi bukanlah dari keluarga yang high class. Dari berbagai warta,
kita tahu bahwa ayah Afi bekerja sebagai pedagang cilok, sedangkan ibundanya
menderita sakit. Di atas kondisi yang mengharuskan ketegaran tumbuh, Afi
berusaha melakukan penyesuaian diri adaptif dengan rajin membaca. Tak hanya
itu, ia juga mencoba menuliskan pemikirannya yang merupakan hasil dialog
antara teks-teks yang ia baca dan pikiran-pikiran idealnya sebagai remaja.
Hasilnya? Tulisannya banyak menuai pujian.
Akan tetapi, mutakhir kita dientakkan oleh kabar yang menduga bahwa
tulisan-tulisan Afi merupakan plagiat.
Dalam memandang kasus ini, kita perlu
menerapkan asas praduga tak bersalah, terlebih jika kita jujur mengakui bahwa
usia Afi masih sangat belia. Lagi pula, kita tidak tahu apakah tuduhan
plagiat tersebut merupakan ekspresi kebencian dari pihak lain atau bukan. Maka,
yang perlu kita pahami sekarang bukan pada benar atau salahnya Afi, akan
tetapi mari melihat bahwa fenomena Afi pada dasarnya memberikan pelajaran dan
pesan penting bagi dunia pendidikan Indonesia.
Sosok Afi, melalui tulisan-tulisannya yang
viral memberikan pesan inspirasi bahwa hobi membaca dapat menyelamatkan anak
bangsa dari sikap-sikap negatif. Hobi membaca juga dapat mengasah kecerdasan
berbahasa dan kepiawaian merangkai kata.
Hal ini menarik karena hobi membaca dapat
mengantarkan remaja untuk sampai pada alam kedewasaan dengan lebih cepat. Membaca
karya-karya inspiratif dari orang-orang hebat membuat diri mampu menyerap
banyak ilmu dari beragam perspektif yang berbeda.
Hobi merupakan hal yang penting dan bukan
perkara remeh.
Dengan hobi, anak tumbuh menjadi remaja dan
mendewasa dengan aktivitas positif yang penuh makna.
Hobi dapat mengarahkan seseorang tumbuh
menjadi pribadi yang lebih baik.
Hobi yang positif mengarahkan seorang anak
untuk tidak melewatkan waktunya dengan aktivitas negatif.
Sampai di sini, kita begitu rindu akan
adanya sebuah gerakan kolektif, yakni anak-anak mencintai dan memiliki hobi
membaca buku sebagaimana Afi.
Ya, sesungguhnya kini kita sedang dibuat
kagum oleh adanya fakta bahwa masih ada remaja yang memiliki hobi membaca dan
sudah mulai mengepakkan sayap-sayap kalimatnya menjadi tarian yang indah dan
'menyihir' banyak orang untuk bergerak bersama dengan harmonis dan damai.
Kebiasaan membaca buku pada dasarnya dapat
mengantarkan seseorang menjadi seorang penulis yang inspiratif.
Terlebih, jika terbiasa membaca sejak
kecil, berbagai tulisan yang dibaca sebetulnya tidak pernah hilang dari
ingatan.
Jika toh kita merasa lupa, itu hanya
sekadar perasaan semata.
Apa yang kita baca sesungguhnya menjadi
deposito pemahaman yang suatu saat dapat membuahkan pemikiran cemerlang.
Maka, bukan hal yang tidak mungkin jika
Afi--di usianya yang masih sangat belia--mampu merangkai kata yang menakjubkan.
Kebiasaan membaca berbagai karya membuatnya
memiliki tabungan kosakata dan rangkaian pemikiran yang memberikan pesan
bernuansa bijak.
Melihat generasi muda gemar membaca,
semestinya para pendidik dan orang tua tak membiarkannya tumbuh tanpa perhatian.
Justru jika ada generasi muda yang
menunjukkan hobi dan minat positif, guru dan orang tua sebaiknya 'hadir'
untuk memberikan apresiasi, dukungan, dan motivasi.
Pendidik perlu merawat kebiasaan membaca
dan menunjukkan jalan menulis yang dapat membawa pada pencapaian-pencapaian
intelektual.
Siswa perlu mendapatkan keterampilan
menulis dan mengemukakan pendapatnya secara terbuka, santun, dan elegan.
Guru pun seharusnya memberikan arahan dan
menyajikan medan menulis bagi siswa.
Ada banyak kompetisi menulis, ladang
menulis bagi siswa, dan medan-medan kepenulisan lainnya yang legal, bernuansa
kompetitif, dan pada muaranya memberikan pendidikan bagi siswa mengenai cara
menulis yang tak hanya indah dan inspiratif, tetapi juga etis.
Guru perlu mengajarkan pada siswa bagaimana
cara menulis yang benar, menyalin sebuah kutipan, dan menyajikannya dalam
sebuah tulisan yang nyaman dibaca.
Agar guru dapat melakukannya dengan baik,
kita memang membutuhkan guru yang terampil menulis.
Saat ini, para siswa yang merupakan
generasi harapan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang membaca 'instan.'
Bukan lagi buku yang mereka baca, melainkan
status laman Facebook dan atau media sosial lainnya. Padahal, pada umumnya
status di Facebook tidak ditulis para expert, tetapi siapa saja yang eksis di
dunia maya.
Alhasil, yang berada di alam bawah sadar
generasi kita ialah kata-kata dan rangkaian kalimat yang sering berisi ujaran
kebencian, kemarahan, da kosakata berenergi negatif.
Di sisi lain, remaja belum memiliki filter
yang cukup selektif dalam memilih status yang tepat untuk dijadikan acuan
dalam bersikap.
Hasilnya? Media sosial sering kali menjadi
ranah menyampaikan ujaran kebencian, caci maki, dan kata-kata buruk lainnya.
Gemar
membaca
Dunia pendidikan memang perlu berbenah dan
terus belajar untuk menjadi lebih baik. Guru perlu merawat tradisi membaca
beragam teks inspiratif dengan berbagai metode yang menarik bagi siswa. Alangkah
lebih menakjubkan jika guru mampu membingkai hobi membaca dan menulis pada
diri para siswa melalui kegiatan belajar dan mengajar.
Bagaimanapun juga keterampilan menulis
bukanlah abrakadabra.
Pikiran dan mental kita memerlukan waktu
dan latihan untuk dapat melahirkan tulisan yang baik, inspiratif, dan
menyejukkan. Kita harus membuka mata, bahwa banyak peluang menulis bagi siswa
yang dapat dijadikan sarana melatih keterampilan menulis. Ada banyak
kompetisi yang diadakan berbagai pihak, dan jelas hal ini mengandung reward
untuk putra-putri negeri. Di sinilah pendidikan kita harus hadir.
Pendidikan Indonesia perlu untuk
menciptakan penulis-penulis muda yang lahir dari rahim 'gemar membaca.' Untuk
menciptakan penulis muda, guru perlu mengasah keterampilan menulis.
Sejak masa kanak-kanak hingga remaja,
seorang anak memerlukan pengalaman sebagai pijakan diri untuk melakukan
lompatan.
Anak yang berprestasi umumnya tak pernah
tumbuh dari ruang hampa.
Jika orang tua merawat hobi anak dan
memberikan wahana berlaga, anak-anak akan memberikan performansi terbaiknya.
Banyak tokoh ternama yang berhasil merintis karier dan karya menakjubkan
melalui hobi di masa kecil.
Energi hobi dan minat kita terhadap sesuatu
akan cenderung menjadi prestasi jika dirawat dengan baik.
Pendidikan kita perlu mengawal hobi positif
para siswa.
Ini merupakan poin penting sebab dengan
hobi, seorang siswa akan menekuni aktivitasnya.
Alhasil, ia pun akan memiliki aktivitas
yang menjurus pada hobi sehingga tidak terjerumus ke dalam aktivitas negatif,
apalagi terperosok ke dalam hobi yang menyesatkan.
Sayangnya, banyak dari kita yang belum
merasa sadar dan menilai bahwa hobi bukanlah hal yang penting. Bahkan,
anak-anak yang memiliki hobi di luar belajar materi pelajaran banyak menuai
kritikan pedas.
Melalui Viral Afi, kita banyak belajar
bahwa segenap elemen bangsa perlu memberikan perhatian dan apresiasi terhadap
hobi yang positif sekaligus mengarahkannya dengan bijaksana. Selanjutnya,
ketika anak dan remaja tak sengaja melakukan kesalahan, kita sebagai orang
yang lebih dewasa tak perlu buru-buru menghakiminya.
Sering kali, kesalahan yang mereka lakukan
tulus dan lahir dari rahim ketidaktahuan. Tidak bijaksana, jika kita mudah
menghakimi dan menyalahkan. Jangan sampai kritikan kita membuat sayapnya
patah dan enggan mengudara.
Mari, bijaksana mengawal anak-anak dan
remaja untuk tumbuh di atas hobi yang positif sehingga mereka dapat
memberikan karya yang menakjubkan untuk bangsa. Kita perlu menjaga hobi dan
minat anak-anak negeri dengan cara menjaga lisan dari ujaran negatif yang
menyakitkan hati. Ada banyak diksi dan pilihan kata yang bisa kita pilih
untuk membuat putra-putri bangsa agar cakap belajar dari kesalahan, bukannya
terhenti langkah karena melakukan kekhilafan. Dunia pendidikan kita wajib
senantiasa berbenah untuk menjemput masa depan gemilang. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar