Perppu,
Langkah Tegas Pembubaran HTI
Hussein Gani ; Direktur Analisis
Lembaga Kajian Indonesia Satu (Lemkis)
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2017
KEPUTUSAN pemerintah membubarkan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) bukanlah terjadi dalam semalam. Sudah pasti semua
dilakukan berdasarkan langkah terukur dan dilandasi aturan main. Terlebih UU
No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengatur tahap-tahap pembubaran
sebuah ormas. Namun, dalam keadaan tertentu proses pembubaran ormas bukan
menjadi satusatunya jalan. Dari sisi hukum, pemerintah dimungkinkan
menggunakan jalan hukum yang lain, yakni dengan menerbitkan peraturan
pemerintah pengganti undangundang (perppu). Secara sederhana, mana mungkin
ormas tidak bertindak aneh-aneh bakal dibubarkan.
Adagium yang berlaku dalam kehidupan kita,
jika ingin hidup, ikuti aturan yang ada. Begitu juga dengan HTI yang
terindikasi jelas berupaya mengganti dasar negara. Jika ada ormas yang
berindikasi kuat ingin mengoyak-ngoyak NKRI, mengubah dasar negara, tentulah
tak boleh dianggap sepele. Prioritas utama ialah menjaga keutuhan negara, apa
pun caranya. Kalau dirasakan lewat jalur biasa menimbulkan persoalan serius
karena taruhannya keutuhan bangsa, perlu dilakukan jalur luar biasa untuk
mengatasinya. Dalam perspektif inilah, pemerintah memiliki kewenangan
menerbitkan perppu sebagai pintu tepat untuk pembubaran ormas itu. Kedudukan
perppu disebutkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, "Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang."
Selain di UUD 1945, penetapan perppu
tercantum dalam Pasal 1 angka 4 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang berbunyi, "Peraturan pemerintah pengganti
undang-undang ialah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."
Ada
kewenangan
Dari kedua pasal ini kita mafhum bahwa
syarat presiden mengeluarkan perppu ialah hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Rencana itu memang memunculkan pendapat yang mempertanyakan di mana letak
kegentingan yang bersifat memaksa ini. Dalam konteks itu, harap dipahami
bahwa subjektivitas presiden dalam menafsirkan 'hal ihwal kegentingan yang
memaksa' ialah hal yang menjadi dasar diterbitkannya perppu. Subjektivitas
presiden ini pun ada dasarnya, yaitu Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan
kepada presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara.
Langkah berikutnya tentu akan dinilai DPR,
apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi.
Persetujuan DPR sebagai pihak yang memiliki kekuasaan legislatif secara
objektif akan menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Kembali ke
ikhwal keberadaan HTI, sebetulnya di mana letak kegentingan yang memaksa dalam
menyegerakan pembubaran HTI melalui penerbitan perppu? Yang paling mendasar,
kegiatan yang dilakukan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan,
asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI 1945, sebagaimana
diatur dalam UU No 17/2013. Bukti kuatnya, ternyata HTI sudah mempersiapkan
rancangan UUD Negara Khilafah.
Bisa dibayangkan ketika ada ormas yang
sudah sedemikian jauh melangkah, ketika ada sebuah organisasi yang berkembang
masif di daerah-daerah, kemudian menyusun perekrutan, berorientasi melakukan
perebutan kekuasaan negara, dan mempersiapkan rancangan UUD negara. Apakah
ini bukan sebuah ancaman serius? Rencana penerbitan perppu untuk UU No
17/2013 dibuat dengan semangat menjaga kepentingan dan kedaulatan NKRI.
Pemerintah menerbitkan perppu untuk mempercepat proses pembubaran ormas yang
nyata-nyata bertentangan dengan tujuan negara berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Ketika rencana pembubaran diungkapkan, muncul kabar yang menyebutkan
pemerintah berlaku zalim.
Itu bukan suatu yang aneh. Bahkan, dengan
jelas mereka menyebutkan pemerintah sedang menzalimi Islam. Mereka jelas akan
melakukan propaganda apa pun untuk bertahan. Yang pasti, keputusan pembubaran
HTI melalui perppu ialah sikap sigap mengambil upaya hukum yang tegas. Alasannya,
secara universal dalam kerangka kepentingan nasional selalu berlaku adagium
bahwa aturan hukum darurat untuk kondisi yang darurat. Prinsip clear and
present danger dapat diterapkan sehingga dalam konteks HTI, negara dapat
segera membubarkannya demi menjaga keutuhan bangsa dan NKRI.
Peran
lain
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi
Gunawan dengan tegas menyebutkan, pada prinsipnya negara menghormati hak-hak
warga negara dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, negara kita berdasarkan
hukum dan konstitusi tidak memiliki toleransi terhadap gerakan atau ormas
yang anti-Pancasila sebagai dasar negara RI. (RMOL, Kamis, 10/5). Penegasan
itu sudah selayaknya dikatakan Kepala BIN karena sebagai unsur terdepan dalam
sistem keamanan negara sebagaimana tertuang dalam UU No 17/2011 tentang
Intelijen Negara. BIN sudah pasti memiliki banyak informasi terkait HTI.
BIN sudah lama mengamati eksistensi dan
sepak terjang HTI. Hal itu menjadi persoalan krusial yang tak boleh dianggap
sepele karena dapat mengganggu keutuhan NKRI. Tentu saja BIN tidak serta
merta menyebutkan sebuah organisasi sebagai ancaman serius kalau tak
dilandasi fakta dan bukti nyata. Intelijen punya mekanisme khusus dalam
akurasi pengumpulan datanya. Ketika kesimpulan dibuat, HTI jelas bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Sejak masuk ke Indonesia pada 1980-an, HTI
merintis dakwah di kampus-kampus. Namun, organisasi ini tak berperan positif
dalam pembangunan mencapai tujuan nasional. Sikap mereka anti pemilu dan
menafikan eksistensi pesta demokrasi ini.
Tidak mengherankan kalau mereka sudah
menyerukan golput sejak 2004. Yang makin menunjukkan mereka tidak sejalan
dengan NKRI ialah menggelorakan kampanye bangkitnya gerakan khilafah. Ketika
HTI menggelar Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno, 12
Agustus 2007, tema yang diusung Saatnya Khilafah Memimpin Dunia. Padahal
secara faktual, keberadaan Hizbut Tahrir di banyak negara sudah seperti
parasit yang harus dimusnahkan. Alasan negara-negara itu serupa dengan
Indonesia, yaitu menyelamatkan bangsa dan negara dari hal-hal yang tak
kondusif. Indonesia memang tergolong telat dalam melarang HTI. Arab Saudi dan
Pakistan sudah lebih dulu melakukannya. Di Yordania sudah menjadi organisasi
terlarang.
Pakistan yang tergolong 'longgar' juga melakukan
langkah serupa pada 2009. Atau Libia ketika dipimpin Moammar Khadafi,
menganggap HT sebagai organisasi yang menggelisahkan. Demikian juga dengan
Malaysia, sejak 17 September 2015 melalui Komite Fatwa Negara Bagian
Selangor, HT dinyatakan sebagai kelompok menyimpang dan mengatakan siapa pun
yang mengikuti gerakan pro-khilafah akan menghadapi hukum.
Tegas
Saatnya kita buka mata melihat keberadaan
HTI. Mari berpijak pada kepentingan nasional dengan memprioritaskan NKRI, dan
kepentingan masa depan Indonesia. Jangan biarkan duri HTI berkembang dan
menjelma menjadi kanker di negara tercinta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar