Universitas
yang Pancasilais
Mangadar Situmorang ; Rektor Universitas Katolik Parahyangan
|
KOMPAS, 14 Juni 2017
Universitas yang tidak membuka ruang bagi
perbedaan bukanlah universitas. Dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi
yang menghargai perbedaan atas pendapat, identitas, dan nilai patut disebut
sebagai perguruan tinggi yang Pancasilais.
Akan tetapi, mencermati kecenderungan di
perguruan tinggi (PT)-khususnya PT negeri-dewasa ini, Sulistyowati Irianto
justru khawatir akan "Matinya Universitas" (Kompas, 23/5) karena
kehilangan jati dirinya sebagai universitas perjuangan dan gagal merawat
kebinekaan.
Pernyataan dan kekhawatiran di atas
bersifat indikatif atas dua hal. Pertama, rendahnya komitmen PT terhadap jati
dirinya sebagai institusi pendidikan tinggi yang mewariskan dan memproduksi
ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni yang bertujuan untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Kedua, rendahnya kesadaran institusional atas
konteks sosial-kemasyarakatan dan kebangsaan.
PT kita cenderung latah dan ikut-ikutan.
Misalnya, beberapa waktu lalu muncul tiga klasifikasi tentang PT, yakni teaching university, research university,
dan entrepreneur university. Hampir
semua universitas berlomba-lomba menyatakan diri (akan) menjadi research university atau entrepreneur university, lalu menilai teaching university telah ketinggalan
zaman atau tidak laku.
Contoh lainnya, universitas kelas dunia
telah pula menjadi jargon yang diklaim ingin diraih dan mimpi menjadi sekelas
dengan Oxford, Stanford, Cambridge, MIT, Harvard, atau NUS, Peking,
Melbourne, dan Tokyo. Sementara itu, data Kemenristek dan Dikti (2015)
menunjukkan, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia
baru 33,7 persen (2015), dan dari semua dosen (228.443) hanya 13 persen
berpendidikan doktor, termasuk di dalamnya sekitar 5.000 guru besar.
Adakah konteks kesejarahan dan
kemasyarakatan menjadi pendorong pengembangan PT? Sedikit lebih ideologis,
bisakah Pancasila menjadi akselerator peningkatan kualitas dan sekaligus
menjadi pembeda PT di Indonesia?
Perbedaan
fondasi sosiologis keilmuan
Kita sering terperangkap pada dualisme
benar atau salah. Sesungguhnya hal itu merupakan simplifikasi berlebihan dalam
berpikir dan bersikap.
Terlalu sering kita berhenti hanya pada dua
pilihan yang dikotomistis: apakah sesuatu benar atau salah, bagus atau buruk.
Kita melupakan ukuran-ukuran lain yang bersifat komparatif seperti
"lebih baik/benar" atau "sangat baik/benar".
Kalaupun ada benar atau salah, hal itu
mestinya bisa dilihat sebagai dua titik ekstrem dari sebuah keberlanjutan.
Keduanya tidak terpisah sebab di antaranya terdapat horizon berupa
titik-titik penilaian yang mungkin bersifat absolut, ultima, superlatif, dan
komparatif. Sementara kedua ujung tersebut dapat berubah (berkembang atau
menyusut) dan di antara kedua ujung ada sejumlah titik perhentian dan
penilaian, kita dingatkan untuk berpikir pluralistik, komparatif, dan lebih
terbuka.
Berpikir dualistik dan dikotomistik
cenderung menegasikan yang lain dan akan mengerdilkan kehidupan. Sebaliknya,
berpikir pluralistik mengajak kita melihat dan menerima kebenaran-kebenaran
dan kebaikan-kebaikan yang tersebar di sepanjang horizon kehidupan. Tidak ada
tendensi untuk meniadakan atau mengingkari kebenaran dan kebaikan yang lain.
Justru yang terjadi adalah mengakui
sekaligus menghormati eksistensi kebenaran dan kebaikan yang secara
komparatif tersebar. Inilah esensi perjuangan intelektual yang ada di
universitas dan mestinya juga hadir dalam relasi-relasi sosial kita.
Pengakuan terhadap pluralitas komparatif
tentang kebenaran dan kebaikan tidak harus menggiring kita pada relativisme.
Sebaliknya, sikap pluralistik-komparatif hendak menegaskan akan pentingnya
"penundaan" untuk menilai.
Dalam filsafat ilmu ini disebut "commitment withinrelativism"
atau "contextual relativism".
Artinya, masih ada keraguan atau ketidakpastian (uncertainty) atas kebenaran dan kebaikan yang bersifat mutlak
dari sesuatu hal (Francis-Vincent
Anthony, 2015). Untuk itu, orang perlu bersabar.
Commitment
within relativism merupakan penegasan terhadap dua hal.
Pertama, adanya kesadaran berupa genuine doubt, keraguan sejati, atas
pengetahuan dan pemahaman diri sendiri. Kedua, adanya pengakuan terhadap
kemungkinan legitimate alternatives yang bersifat komparatif (F-VA, 2015).
Inilah yang memaknai dunia akademik sebagai perjuangan mencari yang lebih
baik: jalan bagi pengembangan ilmu, pengetahuan, dan seni; budaya akademik
yang sejati; dan relasi sosial yang produktif.
Salah satu sumber bahaya yang mengancam
ikhtiar semacam itu adalah masuknya sentimen- sentimen personal yang
terafiliasi dengan identitas dan nilai-nilai primordial (agama, suku, atau
sejenisnya) dan intoleran. Sentimen semacam itu dapat berkembang menjadi
sentimen kolektif-bahkan institusional-yang bukan saja menghambat kemajuan
ilmu, pengetahuan, dan seni, tetapi juga menyesatkan dan merusak. PT yang
telah terkontaminasi oleh sentimen semacam itu menjadi intoleran dan diskriminatif.
PT
dan kompetensi sikap
Salah satu capaian pembelajaran yang hendak
diraih lewat penetapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)-PP No
8/2012-adalah sikap dan tata nilai yang mencerminkan karakter atau jati diri
bangsa dan negara Indonesia. Lewat kegiatan- kegiatan ilmiah dan
interaksi-interaksi sosial yang berlangsung di PT, mahasiswa hendak diajak
dan diwarisi sikap dan nilai toleransi. Melalui berbagai forum akademik dan
non-akademik, para mahasiswa hendak dikembangkan apa yang dikenal sebagai
intercultural competence (F-VA,2015).
Di bangku kuliah, para peserta didik hendak
dimampukan untuk melihat mana yang baik, lebih baik, dan sangat baik; bukan
hanya benar dan salah. Maka, dalam konteks ini, dosen dan para guru besar
jadi tokoh kunci di dalam membangun kerangka berpikir yang membuka ruang pada
toleransi dan dialog dan bukan sebaliknya: intoleransi yang mengerdilkan dan
mematikan.
Pengalaman dan pendidikan di PT akan
mengembangkan kemampuan berpikir dan bersikap rasional, dan pada gilirannya
akan menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab sosial. Semua ini pada akhirnya
akan bermuara pada berkembangnya conscientious and altruistic generation
(F-VA, 2015), generasi yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial yang
tinggi. Inilah yang menjadi kunci kemajuan peradaban bangsa.
Mencermati beberapa peristiwa belakangan
ini, di mana sejumlah PTN utama di negeri ini (seperti UGM, ITB, IPB) membuat
pernyataan tetap setia pada Pancasila, tampaknya hal itu patut diapresiasi
sebagai upaya memulihkan kembali marwah universitas yang menghargai perbedaan
dan mengembangkan intercultural competence sebagai syarat penting
pengembangan ilmu, pengetahuan dan seni, sekaligus pembeda kualitas PT di
Indonesia. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar