Gaji
Humanis Guru
Dian Marta Wijayanti ; Guru SDN Sampangan 1 UPTD Gajahmungkur,
Semarang
|
DETIKNEWS, 13 Juni 2017
Saat wawancara seleksi penerimaan guru, hal
sensitif dan urgen yang ditanyakan selain latar belakang pendidikan,
pengalaman dan komitmen kerja adalah gaji. Tidak hanya berpengaruh terhadap
kinerja, gaji juga berdampak pada keikhlasan guru mendidik. Sebab, gaji yang
rata-rata diterapkan di sekolah swasta maupun negeri saat ini masih jauh dari
standardisasi Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK), kecuali Pegawai Negeri Sipil
(PNS).
Banyak sarjana pendidikan "banting
setir" melakoni pekerjaan selain guru lantaran gaji yang "tidak
humanis". Tidak hanya yang berstatus Guru Tetap Yayasan (GTY), namun
Guru Tidak Tetap (GTT) di sekolah negeri juga sama. Mereka mendapatkan gaji
"tidak layak" bahkan jauh di bawah kebutuhan hidup.
Banyak juga sarjana pendidikan bertahan
menjadi GTT puluhan tahun karena beberapa hal. Mulai dari "mengejar
status" agar tidak dicap "sarjana pengangguran", motivasi
diangkat jadi PNS sampai orientasi mendapat sertifikasi.
Kondisi ini sangat kontras dengan tuntutan
pemerintah, karena di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini guru dituntut
memenuhi standar pendidikan internasional. Ditambah lagi beban guru
menerapkan Kurikulum 2013 yang ditargetkan Kemendikbud rampung pada 2020
mendatang. Dengan gaji yang tidak humanis itu, sangat irasional jika tuntutan
mereka sama dengan yang PNS.
Standar
UMK
Gaji GTT di sejumlah daerah yang belum
menerapkan UMK hanya sekitar Rp 500 ribu bahkan Rp 250 ribu per bulan. Uang
sebesar itu jika digunakan membeli bensin dan pulsa saja kurang, apalagi
untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan, tentu sangat kurang.
Tidak heran banyak GTT melakukan
"kerja sampingan" demi menyambung kebutuhan hidup. Mereka rela dan
tidak malu jualan pulsa, tiket, bisnis baju, makanan, hingga menjadi penjaga
warnet. Dikarenakan mereka "nyambi" bisnis, maka pembelajaran di
sekolah tidak fokus dan ujungnya pasti pada kualitas pendidikan.
Kondisi ini harus menjadi renungan bersama
bahwa kualitas pendidikan Indonesia akan stagnan jika kondisi GTT tidak
segera dibenahi. Sebab, gaji mereka tidak sebanding dengan tugas
administratif, dan tugas utama sesuai Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD)
tahun 2005.
Jika dibandingkan dengan upah buruh pabrik
sangat jauh rentangnya. Buruh pabrik yang kebanyakan lulusan SMP bahkan SD,
digaji sesuai standar UMK, namun guru yang lulusan sarjana hanya digaji di
bawah UMK. Padahal, tuntutannya lebih banyak guru dibandingkan dengan buruh.
Buruh pabrik bekerja hanya modal fisik.
Guru selain modal fisik, juga pikiran, "jiwa" dan mental. Sebab,
sedikit saja guru salah menstranfer ilmu, maka sama saja guru
"menyesatkan" anak-anak didik. Namun, mengapa gaji mereka di bawah
UMK?
Di Jawa Tengah sendiri sudah banyak yang
menerapkan sistem UMK, terutama bagi sekolah negeri. Namun, fakta di
lapangan, gaji itu juga menjadi masalah karena cairnya tiga bulan sekali.
Kondisi ini membuat sekolah harus nalangi (mengganti) dengan uang dari
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Padahal tanpa GTT, kegiatan belajar
mengajar di sekolah pasti kacau, apalagi jumlah PNS di sekolah semakin
berkurang karena banyaknya guru pensiun dan adanya moratorium pengangkatan
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Gaji
Humanis
Salah satu profesi yang tidak
"neko-neko" dan menuntut pemerintah adalah guru. Selain taat
aturan, tidak ada guru "membangkang" aturan. Apalagi, ia menjadi
anutan yang "digugu" dan "ditiru" bagi anak didik dan
masyarakat. Dengan gaji yang "tidak humanis" itu, harus ada solusi
dan terobosan baru agar nasib guru semakin baik.
Pertama, penetapan gaji sesuai UMK, baik
untuk GTT maupun GTY. Sebab, banyak guru digaji dengan pola "jihad"
dan "gaji malaikatan" alias ala kadarnya. Pola seperti ini membuat
guru tidak interes dengan pekerjaannya. Padahal, kunci utama guru mendidik
adalah "mencintai" pekerjaannya. Jika guru tidak cinta
pekerjaannya, pembelajaran pasti setengah hati.
Kedua, sistem pencairan gaji UMK harus per
bulan. Sebab, jika rapel tiga bulan akan berdampak pada pengelolaan dan LPJ
dana BOS. Para GTT juga kebingungan jika gajinya keluar tiga bulan sekali,
karena tiap hari mereka juga butuh makan.
Ketiga, pengangkatan GTT menjadi Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) harus diperjelas. Meski target
pengangkatan berkala pada kurun 2016-2019, namun sampai saat ini juga masih
dipertanyakan. Padahal, PPPK menjadi bagian dari ASN yang sudah diatur UU
Nomor 51 tahun 2014.
Apalagi, menurut Kemendikbud di sekolah
negeri ada 647.755 GTT. Kemendikbud juga memprediksi, jumlah guru PNS pensiun
pada kurun 2016-2020 sekitar 316.535, atau 62.000 guru pensiun per tahun.
Sesuai Dapodik 2016, ada kekurangan 550.604 guru tetap di jenjang SD, SMP dan
SMA, sementara SMK kekurangan 91.000 guru (Kompas, 21/3/2017). Kondisi ini
harus dijawab pemerintah agar rasio kebutuhan guru terpenuhi.
Solusi terakhir adalah
"menghapus" moratorium. Syaratnya, menyelenggarakan seleksi CPNS
dengan mengutamakan GTT yang berpuluh-puluh tahun mengabdi. Sebab, selama ini
perekrutan guru CPNS hanya sekitar 25-50 orang per kabupaten/kota. Artinya,
rasio guru pensiun dengan yang diangkat PNS tak seimbang.
Guru harus digaji secara humanis, dan
jangan kaitkan antara "gaji humanis" dengan
"kesejahteraan". Pasalnya, kesejahteraan posisinya di atas gaji
humanis. Tidak ada guru yang "menuntut kesejahteraan", yang ada
guru ingin digaji humanis layaknya profesi lain. Adapun kesejahteraan itu
hanya "bonus" ketika sudah sertifikasi.
Jika tidak digaji secara humanis, penulis
yakin kondisi pendidikan akan tertinggal bahkan makin terbelakang. Sebab,
hanya guru yang bisa --dan berada di garda terdepan dalam upaya-- memajukan
kualitas SDM dan majunya bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar