Kohesi
Sosial Seusai Pilkada
Ahmad Fuad Fanani ; Mahasiswa Program PhD
di The University of Toronto, Kanada; Peneliti Maarif Institute for Culture
and Humanity
|
KOMPAS, 14 Juni 2017
Kondisi sosial politik dan suasana batin
masyarakat Indonesia seusai Pilkada DKI Jakarta 2017 makin mengkhawatirkan.
Hubungan antarindividu dan masyarakat tampak terpolarisasi dalam dua kubu.
Berakhirnya pilkada tak jadi akhir dari
hubungan yang tidak harmoni antarkelompok dan warga, baik di dunia nyata
maupun di media sosial. Justru kondisi semakin memanas. Jika tidak segera
berhenti dan eskalasinya tidak menurun, hal ini mungkin akan terbawa pada
pilkada di beberapa tempat pada 2018 dan Pilpres 2019.
Berbagai perbincangan dan debat di media
sosial menunjukkan dengan jelas bagaimana kedua kubu pada Pilkada DKI Jakarta
terus saling meledek, mem-bully, dan mengklaim kebenaran masing-masing.
Polarisasi akibat pertarungan politik itu sangat terasa.
Bahkan, pertarungan itu membawa identitas
agama dengan menyalahkan pihak lain yang tak mendukungnya. Agama digunakan
untuk melegitimasi kepentingan politik dan menyalahkan pihak lain yang
berbeda keyakinan dan pilihan politik. Pihak yang berusaha melerai dan
bersikap netral pun kemudian dipertanyakan komitmen keagamaannya.
Kepentingan
sesaat
Dalam situasi dan kondisi demikian, niscaya
yang akan jadi korban hanyalah orang-orang kecil yang sebetulnya ingin hidup
harmonis dalam keseharian mereka. Sementara yang dapat keuntungan hanya
aktor-aktor politik dan para pendukungnya. Rakyat kecil sering menjadi korban
propaganda para elite.
Dalam pilkada kemarin, isu agama dan etnis
tertentu yang digunakan terbukti manjur dan mengena. Faktanya, pendukung
calon tertentu tidaklah benar-benar agamis, seperti yang diklaim, tetapi
sarat kepentingan pragmatis. Politik jangka pendek mengalahkan cita-cita
kebangsaan dan kerukunan sosial yang berjangka panjang. Sementara di sisi
lain, rakyat di akar rumput banyak yang terhasut propaganda telanjur percaya
dan menyerahkan harapannya pada elite- elite itu.
Pada situasi yang demikian mengkhawatirkan
ini, perlu terus disuarakan tentang pentingnya menjaga solidaritas kebangsaan
dan harmoni sosial. Meskipun semua orang-seperti dikatakan Mancur Olson (The Logic of Collective Action, 1965)-punya
kepentingan masing-masing dan mencoba untuk memaksimalkan kepentingannya
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kita tetap harus optimistis. Kita
menyadari adanya penumpang bebas dalam setiap momen dalam hidup, entah
terkait politik atau tidak, di mana beberapa orang menggunakan pertimbangan
ekonomis dan politis dalam berhubungan dengan yang lain. Namun, masih banyak
penumpang baik yang punya kesadaran tinggi yang perlu terus bersuara untuk
mengalahkan kepentingan pragmatis tersebut.
Kepentingan politik dan ekonomi memang
biasanya bisa mengalahkan segalanya. Terlebih lagi Anthony Downs (An Economic
Theory of Democracy, 1957) jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa semua partai
politik, pemilih, dan partai pemerintah banyak yang lebih menggunakan
pertimbangan rasional. Partai politik dan kandidat butuh dukungan massa agar
mereka bisa menang. Pemilih juga mengharapkan kandidat yang memuaskan mereka.
Sementara petahana atau partai pemerintah pun mungkin juga menginginkan agar
jagoannya terpilih kembali.
Dalam situasi yang demikian itulah
tampaknya pilkada DKI kemarin itu berlangsung secara sengit. Alhasil, yang
terjadi-atas dasar pertimbangan rasional, politis, dan ekonomis-segala macam
isu digunakan dan diramaikan, meski isu-isu itu sangat berbahaya bagi
keutuhan dan keharmonisan bangsa ini.
Yang kita butuhkan adalah bagaimana agar
kondisi sekarang ini tak makin mengkhawatirkan. Sebelum pilkada kemarin
banyak yang berpendapat kondisi ini hanya sesaat karena terkait dengan
politik dan akan hilang dengan sendirinya seusai pilkada. Ternyata yang
terjadi sebaliknya. Kondisi sosial semakin terbelah, saling menyalahkan terus
terjadi, fitnah banyak bertebaran, dan adu kuat antarpendukung menjadi
pemandangan sehari-hari.
Ini sebetulnya luka lama yang terkuak
kembali. Situasi dan persaingan yang panas antarpendukung pada Pilpres 2014
mengemuka kembali dan saat ini terjadi lebih parah. Kondisi ini mungkin akan
terus berlangsung sampai Pilpres 2019 jika pihak-pihak yang terkait tidak mau
meluruhkan egonya dan menahan dirinya untuk kepentingan Indonesia masa depan.
Indonesia sesungguhnya punya modal sosial
yang bisa diaktualkan untuk mengatasi kondisi yang terjadi. Bangsa ini pada
dasarnya bukankah bangsa yang cepat emosi, gampang menyalahkan pihak lain,
mudah berdendam kesumat, dan tidak mau bertetangga dengan mereka yang berbeda
keyakinan atau pilihan politik.
Bangsa Indonesia sejatinya bukan seperti
bangsa-bangsa di Timur Tengah yang tidak sabar berdemokrasi dan gampang
tersulut emosi. Bangsa ini dibangun atas dasar kerja sama dan saling percaya
antarwarganya yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Meskipun Islam
dipeluk mayoritas bangsa ini, umat Islam mengakui keberadaan kelompok lain
dan ingin maju bersama. Sejarah para tokoh bangsa ini mengajarkan bagaimana
kepentingan sesaat dan sektoral ditundukkan demi kemerdekaan dan kemajuan
bersama-sama.
Institusi
demokrasi
Robert Putnam (Making Democracy Work, 1993)
menyatakan, modal sosial yang berupa norma-norma sosial, kepercayaan, dan
jaringan sangat berkontribusi untuk memperbaiki institusi demokrasi. Modal
sosial yang ada dalam masyarakat akan menguntungkan dan mendorong mereka
untuk lebih mudah bekerja sama dan membangun pertemanan. Jika modal sosial
ini kuat, institusi-institusi sosial dan politik akan berfungsi dengan baik
dan proses demokrasi akan berjalan dengan tepat juga.
Oleh karena itu, Indonesia yang punya modal
sosial berupa nilai toleransi, gotong royong, kebinekaan, saling percaya,
mudah bekerja sama, dan lain-lain, jangan sampai dikalahkan oleh kepentingan
ekonomi dan politik jangka pendek. Tradisi dialog, kerja sama, dan gotong
royong harus diaktualkan dan disosialisasikan segiat mungkin dalam kondisi
yang tidak sehat, seperti akhir-akhir ini.
Agar kondisi kebangsaan kita tidak semakin
mengkhawatirkan, modal sosial yang ada pada bangsa ini perlu dikaitkan dengan
penguatan institusi-institusi demokrasi kita. Salah satu kelemahan
negara-negara berkembang-sebagaimana dicatat oleh Acemoglu, Robinson, dan
Johnson (2001)-adalah karena keberadaan institusi-institusi yang tidak bagus
dan tidak maksimal bekerja. Kemunduran dan ketidakmajuan negara-negara di
Afrika dan Asia bukan karena faktor geografi dan budaya, tetapi lebih
disebabkan faktor institusi yang tak berjalan secara bagus dan maksimal.
Karena institusinya lemah, maka setiap pergantian rezim dan kepala daerah
atau menteri biasanya ada perombakan besar-besaran terhadap kebijakan yang
dilakukan. Pergantian rezim juga mengganti mayoritas orang yang ada di rezim
sebelumnya, meski orang itu profesional dan mampu.
Perpaduan antara modal sosial dan penguatan
serta perbaikan institusi ini penting agar ke depannya institusi-institusi
negara kita tidak mudah dikalahkan oleh tekanan massa dan juga kepentingan
kelompok tertentu. Institusi pengadilan yang semestinya netral, sering kali
tunduk oleh tekanan massa dan kuasa. Kelemahan rezim bangsa ini adalah kerap
memanfaatkan kepentingan massa dan kelompok yang dianggap mendukungnya, di
saat yang sama meminggirkan kelompok atau massa yang mengkritiknya. Jika hal
ini terus berlangsung, tentu tidak produktif bagi cita-cita demokrasi
Indonesia ke depan.
Indonesia bukanlah milik sekelompok
tertentu dan pemerintah juga tidak punya hak untuk mendiskriminasikan
kelompok lain. Indonesia adalah milik bersama dan harus dikelola bersama-sama
untuk kepentingan masyarakat dan rakyatnya, begitu juga Jakarta.
Untuk mengaktualkan lagi modal sosial dan
memperbaiki institusi-institusi yang ada, tentu bukan kerja sesaat dan
singkat. Kerja profetik ini butuh stamina yang kuat dan komitmen yang besar
dari segenap anak bangsa. Tentu saja butuh kerja sama semua pihak untuk lebih
berpikir jernih tentang masa depan bangsa dan tidak mengedepankan emosi dan
egoisitas sektoralnya.
Meskipun ini kerja berat, Indonesia sudah
punya modal besar. Mirjam Kunkler dan Alfred Stepan (Democracy and Islam in Indonesia, 2013) mencatat, Indonesia punya
aktor-aktor demokrasi, ide-ide, dan civil
society dari umat Islam yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Jadi, kita
masih bisa berharap agar agama tidak hanya dipolitisasi, tetapi juga bisa
menunjang proses pematangan demokrasi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar