Menanti
Inisiatif KPK atas Kasus Novel
Kurnia Ramadhana ; Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch
(ICW)
|
DETIKNEWS, 13 Juni 2017
Sudah lebih dari satu bulan penyelidikan
yang dilakukan kepolisian terhadap teror yang menimpa salah seorang penyidik
senior KPK, Novel Baswedan. Namun, hasilnya sampai saat ini terbilang sangat
tidak maksimal. Padahal sudah lebih dari 19 orang telah diperiksa sebagai
saksi, dan beberapa orang sempat diberitakan menjadi pelaku penyiraman air
keras tersebut.
Teror yang menimpa Novel tidak bisa
dipandang sebagai tindak kriminal biasa. Setidaknya ada dua alasan yang
mendasari asumsi tersebut. Pertama, pada saat penyiraman terjadi, Novel
sedang bertindak sebagai Kepala Satuan Tugas dalam penyidikan megakorupsi
proyek pengadaan KTP-El. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, dikarenakan
aktor-aktor yang diduga terlibat terbilang sangat banyak. Dalam dakwaan saja
tercatat setidaknya ada 52 aktor politik yang diduga menerima aliran dana
dari proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Kedua, beberapa hari sebelum penyiraman air
keras Novel baru saja diminta untuk bersaksi di pengadilan. Kedatangan Novel
terkait dengan pengakuan salah seorang saksi dalam perkara megakorupsi
KTP-El, Miryam S Haryani, yang mengatakan bahwa ada tekanan dari penyidik KPK
saat Miryam memberi keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saat bersaksi
Novel menyebutkan beberapa nama anggota DPR yang diduga telah menekan Miryam
agar mencabut keseluruhan BAP yang telah ditandatangani sebelumnya.
Melihat rentetan peristiwa tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa teror yang menimpa Novel bukanlah teror biasa. Motif
politik menjadi faktor utama yang mengakibatkan penyidik KPK tersebut harus
rehat sejenak dari tugasnya selama ini. Namun, perlu diingat bahwa kepolisian
bukanlah satu-satunya penegak hukum yang berwenang menyelidiki kasus Novel.
Dalam hal ini KPK pun bisa turut serta dengan segera menerbitkan Surat
Perintah Penyelidikan atas dugaan Obstraction of Justice.
Obstruction of Justice telah diatur dalam
Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korusi. Dijelaskan dalam pasal
tersebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun
saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
KPK sebagai sebuah lembaga independen harus
segera mengambil inisiatif demi penuntasan teror yang menimpa Novel.
Perangkat hukum yang telah ada di UU Tipikor bisa menjadi salah satu
alternatif untuk menjerat pelaku penyiraman tersebut. Hal ini pun bukan kali
pertama dilakukan oleh KPK. Dalam pantauan ICW setidaknya ada lima belas
orang pelaku korupsi maupun pihak lain yang telah didakwa menggunakan Pasal
Obstruction of Justice, baik oleh Kejaksaan maupun KPK.
Penerapan aturan ini pun bukan tanpa dasar.
Jika melihat sejarah pembentukan pasal tersebut, hal yang menjadi acuan utama
adalah agar terciptanya kepastian hukum. Sebuah perkara yang sedang berjalan
harus bisa dipastikan akan sampai ke tahap persidangan tanpa ada halangan
maupun rintangan apapun. Permasalahan inilah yang harus segera disadari,
disikapi, dan diambil tindakan oleh KPK.
Fenomena yang berkembang saat ini,
khususnya tindakan obstraction of justice, mengalami transformasi yang cukup
fenomenal. Jalur politik pun dianggap menjadi senjata ampuh untuk mencoba
mengganggu penanganan perkara yang sedang berjalan. Hal ini bisa dengan jelas
terlihat ketika DPR menggulirkan hak angket yang ditujukan ke KPK.
Jika memakai teori kausalitas maka upaya untuk
menghalang-halangi proses hukum yang sedang berjalan jelas terlihat.
Pasalnya, hak angket yang ingin digulirkan DPR bermuara kepada masalah
permintaan rekaman pemeriksaan saksi Miryam agar dibuka saat Rapat Dengar
Pendapat antara Komisi III dengan KPK. Namun, permintaan tersebut ditolak
oleh KPK.
Tentu KPK mempunyai alasan yang logis
menanggapi permintaan dari Komisi Hukum tersebut. Pertama, KPK bukan menjadi
objek dari pengajuan hak angket. Jelas dikatakan dalam Pasal 79 UU No 17
tahun 2014 (UU MD3) bahwa objek yang dapat dikenakan hak angket adalah
pemerintah, dalam hal ini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang berkaitan dengan hal penting dan berdampak luas bagi masyarakat.
Kedua, informasi yang dimintakan DPR tidak
bisa diberikan di luar proses persidangan. Hal ini dikarenakan rekaman
tersebut merupakan sebuah alat bukti yang terkait dengan substansi pokok
perkara. Selain itu rekaman tersebut bukanlah merupakan dokumen publik dan
bersifat rahasia sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU No 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dari dua alasan di atas dapat dikatakan ada
upaya dari DPR untuk memperlambat, atau bahkan ingin menggagalkan penyidikan
yang sedang dilaksanakan oleh KPK.
Potret kejadian saat ini menggambarkan
bahwa masih banyak pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kerja-kerja
pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh KPK. Melihat kondisi
saat ini rasanya KPK perlu mengambil inisiatif dan langkah cepat demi
penuntasan teror yang menimpa Kasatgas perkara KTP-Elektronik, Novel
Baswedan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar