Siasat
DPR terhadap KPK
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar Hukum Pidana; Pengajar Program
Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum; Mantan Wakil Ketua KPK
|
KOMPAS, 20 Juni 2017
Miris rasanya membaca berita utama Kompas, Sabtu (10/6),
"KPK Dihabisi". Betapa tidak! Panitia Angket KPK berdalih tidak
bermaksud melemahkan atau membubarkan KPK, tetapi memunculkan perubahan
posisi sejumlah fraksi (kecuali Demokrat, PKS, dan PKB) terkait hak angket.
Jelas ini menimbulkan keraguan atas pernyataan itu.
August Bequai dalam buku, White Collar Crime: A 20th-Century
Crisis, menegaskan bahwa krisis pada abad ke-20 adalah melembaganya
kejahatan kerah putih yang meliputi para birokrat politisi di hampir semua
sektor kelembagaan politik. Inilah yang memicu semacam balas dendam politik (political
revenge) oleh legislatif terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia,
seperti berulang-ulang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kita mengamati bentuk-bentuk intervensi kelembagaan
berdalih legalitas regulasi. Misalnya, melalui revisi UU KPK bagi penguatan
lembaga KPK, yang justru melemahkan KPK dengan menghilangkan wewenang
penuntutan KPK, mengurangi wewenang sadap, memberi wewenang menghentikan
penyidikan/penuntutan.
Juga intimidasi dan teror terhadap penyidik KPK, seperti
dialami Novel Baswedan, hingga kini belum juga terungkap eksekutor
lapangannya, apalagi master-mind eksekutornya. Semua itu
adalah bentuk intervensi terhadap penegakan hukum dan bagian pola pressed-back terhadap
KPK dari pihak-pihak yang merasa terkena imbas penegakan hukum KPK.
KTP elektronik
Pengungkapan kasus KTP elektronik yang diduga melibatkan
personalitas kelembagaan DPR dan aktor politik lainnya menjadi perseteruan
baru DPR dengan KPK. Pencekalan terhadap Ketua DPR menimbulkan reaksi keras
dari pemimpin DPR, berkembang pula dengan penetapan tersangka Miryam S
Haryani dan Markus Nari yang disangkakan memberikan keterangan tidak benar di
pengadilan dan ada usaha merintangi proses pro justisia.
Polemik pencekalan Ketua DPR dan reaksi keras pemimpin DPR
membuahkan kehendak dan persetujuan DPR atas hak angket DPR terhadap KPK
meskipun ditolak oleh publik dan diikuti dengan sejumlah kejanggalan, antara
lain beberapa anggota partai politik walk-out, tetapi tetap saja
pembentukan Pansus Hak Angket bergulir walaupun formalitas persyaratan
undang-undang menjadi polemik.
Bagaimana eksistensi hak angket terhadap KPK? Yang
terpengaruh, antara lain adalah, kinerja KPK atas pemeriksaan tersangka
anggota DPR, Miryam Haryani, dan soal permintaan rekaman pemeriksaan Miryam.
Semua ini akan menjadi beberapa catatan hukum tersendiri, baik terkait
mekanisme maupun substansi pelaksanaan Pansus Hak Angket ini.
Kesatu, dari sisi formal prosedural, legalitas
konstitusional atas hak angket memang dimiliki DPR, yaitu hak DPR untuk
menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas, yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan mekanisme dari persyaratan pansus ini adalah
memaknai Pasal 201 Ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang
menyatakan, "Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket
yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi
DPR".
Dalam pendekatan penafsiran dan konstruksi hukum
interdisipliner secara substansial, khususnya facet hukum
pidana dan hukum tata negara, makna "semua unsur fraksi DPR"
haruslah diartikan suatu kepastian hukum yang memenuhi syarat lex
scripta (syarat tertulis) dan karena itu haruslah diartikan lex
stricta (seperti apa yang dibaca) dan lex certa (tidak
bisa diartikan lain secara multitafsir).
Dengan demikian, pemaknaan "semua unsur fraksi
DPR" haruslah dimaknai 10 unsur fraksi sebagai suatu legalitas
persyaratan hukum adanya pansus angket. Dengan tidak terpenuhinya persyaratan
tersebut haruslah diartikan bahwa pembentukan pansus angket adalah mengandung
ketidakabsahan secara hukum.
Kedua, dalam hal DPR berpendapat bahwa pembentukan pansus
angket sudah sesuai kuorum aturan Tata Tertib DPR (Tatib DPR), padahal UU
MD3 terkait pembentukan pansus tidak dikenal mekanisme kuorum. Apabila
diartikan paksa secara a contrario, kuorum haruslah dimaknai
unsur 10 fraksi juga, bukan sekadar keikutsertaan fraksi yang ada.
Pemaknaan kuorum pada tataran regulasi Tatib DPR haruslah
dilakukan sesuai perangkat dan tidak diperkenankan bertentangan dengan
levelitas regulasi undang-undang yang berada di atasnya sesuai tingkatan
hierarki dari asas lex superiori derogat legi inferiori sehingga
ketentuan regulasi yang lebih rendah tingkatannya (Tatib DPR) tidak dapat
mengubah atau mengesampingkan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya (UU No 17/2014). Pemaknaan paksaan atas kuorum berdasarkan Tatib
DPR bertentangan dengan asas lex superiori derogat legi inferiori.
Permasalahan makna "semua unsur fraksi DPR"
pada Pasal 201 Ayat (2) UU No 17/2014 ataupun persoalan kuorum versi
DPR pada Tatib DPR merupakan fakta adanya ketidakabsahan pembentukan pansus
angket ini dan ketidakabsahan legalitas pembentukan pansus angket ini adalah
akibat suatu perbuatan yang untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum
dianggap tidak ada, tanpa diperlukan putusan hakim atau badan pemerintahan
lain yang berkompeten atau pembatalan yang bersifat ex tunc.
Ketiga, terkait kehadiran tidaknya kelembagaan KPK pada
forum hak angket DPR, sebagai perbandingan kelembagaan atas rapat dengar
pendapat (RDP) adalah RDP antara Mahkamah Agung (MA) dan DPR. Tidak pernah
terdengar RDP dengan KPK karena MA menolak pendapat DPR yang senyatanya telah
melakukan pendapat terkait teknis yudisial beberapa kasus yang ditangani
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, forum RDP tidak pernah lagi dilakukan oleh
MA.
Kewenangan subpoena
DPR memiliki kewenangan semacam subpoena berupa panggilan
paksa terhadap badan hukum dan/atau warga masyarakat sesuai Pasal 73 UU
No 17/2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) dan pengabaian atas panggilan (3
kali berturut-turut) adalah dengan sandera selama-lamanya 30 hari, tetapi UU
ini tidak memberikan pengaturan subpoena ataupun penyanderaan bagi pejabat
negara dan atau pejabat pemerintah sehingga dapat diartikan bahwa tata cara
atau mekanisme dan sanksi ataupun dampaknya atas ketidakhadiran dalam rangka
hak angket DPR tidaklah memiliki dampak hukum dan politik apa pun terhadap
kelembagaan negara, termasuk KPK sebagai lembaga negara yang independen.
Memaknai Pasal 74 UU No 17/2014, hak angket tidak memiliki
fiat eksekutorial, baik terhadap dampak maupun sanksinya terhadap KPK, baik
secara hukum maupun politik ketatanegaraan. Sifat non-fiat eksekutorial ini
berdasarkan pemahaman bahwa filosofi kesatu dari UU Nomor 17/2014 terkait Hak
Angket adalah fungsi pengawasan DPR berupa penyelidikan terhadap pelaksanaan
undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas yang diduga bertentangan dengan
perundang-undangan. Namun, KPK tidak dalam posisi sebagai subyek maupun objek
penyelidikan.
Filosofi kedua, bahwa hasil produk Pansus Angket adalah
sebatas rekomendasi kepada presiden dan rekomendasi ini tidak memiliki daya
fiat eksekutorial terhadap KPK.
Filosofi ketiga bahwa sistem ketatanegaraan yang berbasis
presidensial tidak memberikan otoritas DPR untuk menentukan eksistensi
status kenegaraan atas lembaga negara kementerian dan nonkementerian maupun
keanggotaannya atas terbitnya rekomendasi Pansus Angket.
Tampaknya, kehendak hak angket ini lebih tertuju pada kekuatan individual
atau group of vested interest, bukan mewakili DPR sebagai State
Institution Interest mengingat inkonsistensi dan tidak seluruh keterwakilan
partai politik mengajukan hak angket itu sendiri.
Keempat, dari sisi substansi, dalam pemahaman sistem
peradilan pidana, proses penyidikan yang pro-justitia, KPK
memiliki otoritas penuh untuk tetap menolak membuka rekaman Miryam di DPR
dengan dalih hak angket tersebut, dan sikap transparansi terhadap
proses pro-justitia ini hanya dapat dilakukan atas perintah
peradilan dengan pertimbangan for the interest of
justice.
Kehendak paksaan DPR melalui hak angket untuk melakukan
penyelidikan terhadap KPK adalah sebagai bentuk Obstruction of Justice dan
Contempt Ex Facie dalam sistem peradilan pidana, yaitu dapat diduga
melakukan perbuatan "mencegah", "merintangi" atau
"menggagalkan" proses penyidikan KPK atas pengungkapan secara masif
kasus KTP-el.
Dengan pertimbangan obstruction of justice inilah,
UU Tipikor menempatkan Pasal 21 dengan sanksi pidana bagi perbuatan
menghalang-halangi proses pro-justitia ini.
Dalam hal diperlukan penyelidikan DPR kepada KPK atas tata kelola anggaran
dan manajemen kelembagaan, yang seharusnya sudah cukup dalam tataran Rapat
Dengar Pendapat saja. Pimpinan KPK era pertama, pernah
menolak hak angket terhadap kasus pro-justitia penjualan
kapal VLCC Pertamina (Very Large Crude Carrier) dan atas penolakan ini pun
tidak ada sanksi dan dampak lain terhadap KPK.
Seharusnya due process of law atas
penindakan korupsi kelembagaan yang masif ini tidak dimaknai melalui DPR
dengan jubah penguatan kelembagaan KPK, yang justru memicu permisif
secara a contrario bagi pelemahan dan pembubaran KPK! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar