Dua
Wajah Pemerintah
terhadap
Upaya Pemberantasan Korupsi
Sumarsih ; Staf Peneliti pada Alwi Research and
Consulting; Alumnus Fisipol UGM
|
DETIKNEWS, 13 Juni 2017
Teramat ironis, dukungan pemerintah
terhadap pemberantasan korupsi di Tanah Air justru bak berwajah Janus. Dalam
mitologi Yunani, Janus dikenal sebagai dewa yang bermuka dua dan saling
bertolak belakang. Satu wajah menghadap ke depan dan satu wajahnya lagi
menghadap ke belakang.
Faktanya, di satu sisi pemerintah kerap
menyuarakan dukungannya terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh
penegak hukum. Akan tetapi di sisi lainnya, pemerintah dengan kewenangan yang
dimiliki justru kerap pula "mengistimewakan" para pelakunya (baca:
koruptor).
Kasus teranyar yakni pemberian remisi dan
pembebasan bersyarat (PB) terhadap mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Pemerintah
dalam hal ini Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham) nyata-nyata mengistimewakan Urip dengan
"memaksakan" pemberian remisi dan PB-nya.
Dalam pemberian remisi, Ditjenpas
Kemenkumham memilih untuk memberikan remisi secara maksimal kepada Urip Tri
Gunawan. Di sisi lain terkait PB justru berlaku sebaliknya, Kemenkumham
memilih untuk mengacu pada ketentuan minimal telah menjalani 2/3 masa
tahanan. Maka dalam konstruksi nalar demikian, sulit dimungkiri jika
orientasi akhirnya memang bertujuan untuk segera membebaskan Urip Tri Gunawan
dari balik jeruji besi.
Bukan
Kewajiban
Mafhum diketahui, dalam UU Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), terutama Pasal 14 huruf (i)
dinyatakan bahwa remisi adalah hak, bukan kewajiban yang mutlak harus
diberikan terhadap narapidana. Artinya, ada argumentasi yang kuat sebenarnya
bagi pemerintah untuk tidak mengobral kewenangannya dalam memberikan remisi,
terutama terhadap para koruptor.
Komitmen itulah yang mestinya dipegang bila
pemerintah bersungguh-sungguh dalam mendukung pemberantasan korupsi di Tanah
Air. Pun seandainya syarat-syarat bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan
remisi terpenuhi, tidak mutlak pula untuk harus memberikan remisi secara
maksimal. Misalnya saja, remisi cukup diberikan selama 10 sampai 15 hari,
baik untuk remisi jenis umum, khusus maupun tambahan.
Demikian pula terkait PB bagi koruptor,
dalam Pasal 14 huruf (k) UU Pemasyarakatan disebutkan bahwa PB adalah hak
bagi narapidana. Maknanya, terhadap narapida yang belum menjalankan
kewajibannya pemerintah wajib untuk tidak memberikan PB. Pun seandainya
diberikan, ketentuan yang mesti digunakan sebagai acuan mesti ketat.
Terkait hal itu, berdasar pada Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, ketentuan menjalani 2/3 masa tahanan adalah ketentuan
minimal. Teramat ironi karena justru ketentuan minimal inilah yang acapkali
digunakan sebagai legalitas untuk memberikan PB terhadap koruptor, termasuk pada
mantan jaksa Urip Tri Gunawan.
Dalam penalaran yang logis, ketentuan
minimal menjalani 2/3 masa tahanan semestinya hanya digunakan pemerintah
sebagai pandangan saja, bukan sebagai dasar pemberian PB terhadap para
koruptor. Sebabnya, ada klasifikasi tindak pidana biasa (umum) yang notabene
lebih pas untuk nantinya digunakan sebagai dasar pemberian PB. Sementara,
terhadap kejahatan extra ordinary seperti korupsi, ketentuan di atasnyalah
yang mestinya digunakan sebagai landasan jika ingin memberikan PB.
Misalnya saja, terhadap koruptor yang
divonis 20 tahun penjara, maka akan sangat bisa diterima akal sehat ketika
pemberian PB dilakukan selepas terpidana menjalani masa tahanan sekitar 16
tahun atau 4/5 dari total vonis yang diterima.
"Menjewer"
Pemerintah
Berkaca dari pemberian remisi dan PB
terhadap koruptor selama ini, nampaknya pemerintah sudah terlalu berlebihan
dalam mengistimewakan para pengembat uang rakyat tersebut. Faktanya, sudah
ada puluhan bahkan ratusan remisi dan BP yang diberikan oleh pemerintah
kepada koruptor hanya berdasarkan atas celah peraturan perundang-undangan
tanpa menimbang rasa keadilan masyarakat.
Alhasil, meski remisi dan PB yang diberikan
dari perspektif peraturan perundang-undangan adalah legal, tapi dari
perspektif keadilan masyarakat menjadi sama sekali tidak terpenuhi. Dengan
kondisi demikian yang menjadi kekhawatiran yakni ketika masyarakat kemudian
berpikir bahwa menjadi koruptor itu menguntungkan. Selain dapat mengeruk
rupiah sebanyak-banyaknya, dalam hukum pun mendapatkan perlakuan yang
istimewa sehingga tidak perlu berlama-lama di dalam penjara.
Karenanya, kita patut "menjewer"
pemerintah agar tidak serampangan lagi dalam memberikan remisi dan PB
terhadap para koruptor. Dalam konteks itu, ada beberapa upaya yang sesungguhnya
bisa kita lakukan. Pertama, mengajukan permohonan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) terhadap setiap adanya remisi dan PB yang melukai rasa
keadilan masyarakat.
Kedua, mendorong pemerintah agar mencabut
akar persoalan hanky-pangky pemberian remisi dan PB pada koruptor, yakni
Surat Edaran (SE) Menkumham bernomor M.HH-04.PK.01.05.06 tahun 2013.
Sebabnya, SE tersebut membatasi penggunaan PP Nomor 99 Tahun 2012 hanya untuk
putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) setelah 12
November 2012.
Padahal, mafhum disadari dalam PP 99 Tahun
2012 itulah pengetatan syarat pemberian remisi dan PB bagi koruptor
diakomodasi.
Opsi lainnya, kita bisa mendorong DPR agar
menggunakan hak angket untuk mengusut seluruh pemberian remisi dan PB pada
koruptor yang dirasa melukai rasa keadilan masyarakat. Ancamannya tidak
main-main, sebab hak angket pada gilirannya dapat bermuara pada pemakzulan
terhadap presiden.
Dengan upaya demikian, ke depan diharapkan
pemerintah tidak lagi mengobral remisi dan PB terhadap koruptor. Tapi
sebaliknya, memperketat dan memperberat mekanisme pemberian remisi dan PB
terhadap para pengembat uang rakyat tersebut. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar