Perintah
Penahanan dan Status Ahok
Melky Sidhek Gultom ; Mahasiswa Magister
Hukum Universitas Sriwijaya
|
KORAN
TEMPO, 16 Juni 2017
Para ahli hukum sempat berpolemik soal
status penahanan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau
Ahok. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun
penjara kepada Ahok dalam kasus penodaan agama pada 9 Mei lalu dan langsung
memerintahkan Ahok segera ditahan pada hari itu juga. Hal ini memicu gerakan
massa yang meminta penahanan Ahok ditangguhkan.
Ada masalah hukum acara pidana di sini.
Apakah mutlak perintah penahanan dicantumkan dalam amar putusan sebagaimana
ditekankan Pasal 197 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana paralel
dengan Pasal 193 ayat 1 huruf (a) KUHAP? Bagaimana jika terdakwa itu tidak
pernah ditahan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan tingkat
pertama--seperti yang dialami Ahok?
Putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan
bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan tidaklah batal demi hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan putusan
pengadilan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) KUHAP, khususnya tentang
perintah penahanan, tidak batal demi hukum, melainkan tetap sah secara hukum.
Sesungguhnya kewenangan menahan atau
tidaknya terdakwa adalah kewenangan diskresioner. Pasal 20 ayat (3) dan 28
ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk menahan itu sifatnya
diskresioner dan (2) hanya diperlukan selama untuk kepentingan pemeriksaan.
Selama proses persidangan, hakim tingkat pertama hanya diberikan kewenangan
menahan terdakwa selama 30 hari + 60 hari. Apabila lewat dari itu, sekalipun
belum selesai proses pemeriksaannya, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan
sambil menunggu proses pemeriksaan perkara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, jika
putusan hakim kemudian dijadikan dasar hukum untuk menahan terdakwa, perintah
penahanan itu melanggar hukum. Jika hal itu dibenarkan, lalu sampai berapa
lama lagi masa penahanan itu dilaksanakan terdakwa? Untuk menghindari polemik
tersebut, sebaiknya sebelum diucapkan putusan, majelis hakim membacakan
penetapan penahanan terdakwa. Jika demikian, amar putusan hakim mutlak
mencantumkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan
Frasa "perintah penahanan" dengan
amar putusan "menjalani pidana" adalah dua sayap yang berbeda.
Perintah penahanan hanya diperlukan selama terdakwa menjalani pemeriksaan,
dari penyidikan hingga kasasi, untuk memperlancar proses pemeriksaan
tersebut. Adapun menjalani pidana adalah hasil dari pemeriksaan sampai
terbuktinya perbuatan terdakwa.
Untuk menghindari agar penahanan terdakwa
tersebut tidak menimbulkan gejolak di lapangan, sebaiknya yang berwenang
bukan lagi pengadilan negeri, melainkan pengadilan tinggi ketika terdakwa
menyatakan banding. Syaratnya, terdakwa atau penasihat hukum harus terlebih
dulu menandatangani "akta banding" di depan pengadilan (panitera
pengganti). Jika belum, penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi
menjadi "tidak sah secara hukum".
Sering kali terjadi, ketika ketua majelis
bertanya apakah terdakwa akan mengajukan banding, terdakwa menjawab
"naik banding". Tapi, berselang tujuh hari masa pikir-pikir,
ternyata terdakwa tidak jadi naik banding. Pada kasus Ahok, awalnya ia
menyatakan naik banding, tapi tiba-tiba mencabut permohonan bandingnya dari
Pengadilan Tinggi DKI.
Menurut saya, walaupun Ahok mencabut
bandingnya, jika penuntut umum tetap mengajukan kontra-memori banding,
perkara masih tetap berlanjut di Pengadilan Tinggi DKI. Kalau budaya
cabut-mencabut banding ini dibiarkan berlarut, penegakan hukum dan kepastian
keadilan menjadi kelam.
Kasus Ahok ini menarik. Pertama, sekalipun
penahanan Ahok tidak sah sejak vonis dibacakan oleh majelis hakim tingkat
pertama, kuasa hukum Ahok mengajukan penangguhan penahanan. Penangguhan
penahanan diajukan, sementara penahanan terdakwa saja tidak sah. Dasar hukum
penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan Tinggi DKI tersebut juga meragukan
apakah didasarkan atas permohonan banding secara lisan atau tertulis (melalui
akta banding). Kalau dasar penahanannya adalah permohonan lisan, penetapan
penahanan itu menjadi tidak sah.
Kedua, dengan dicabutnya akta permohonan
banding tersebut, Ahok telah menerima putusan tersebut. Dengan demikian,
status hukumnya berubah menjadi terpidana, yakni menjalani pidana selama 2
tahun. Ia bukan lagi melaksanakan penetapan penahanan dari Ketua Pengadilan
Tinggi DKI yang diragukan keabsahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar