Orang-Orang
Dewasa Bodoh yang Berbahaya
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah; Aktif sebagai
periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS, 16 Juni 2017
Ketika Trevor, seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun
memulai kelas 7-nya di Las Vegas, Nevada, Eugene Simonet sang guru ilmu
sosial menugaskan para siswa di kelas untuk memikirkan gagasan dan membuat
rencana aksi yang akan dapat mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Terkesan
muluk, tapi pandangan si guru amat yakin.
"Think of an idea to change the world for the better,
then put it into action." Ia menulis kalimat itu di papan kelas sambil
berujar mantap dan menatapi mata para siswa satu per satu. "Apa yang
kalian pikirkan?" ia bertanya.
Kebanyakan siswa menjawab bahwa instruksi itu aneh, sulit,
berat.
"Possibility. Mengapa kalian tidak menanamkan dalam
pikiran kalian kalau semua serba mungkin?" Begitulah Simonet meyakinkan
murid-muridnya lagi. Ia berjanji akan memberi nilai lebih bagi tiap siswa
yang mampu menawarkan sebuah cara untuk mengubah dunia ke arah lebih baik.
Dan, Trevor adalah satu-satunya anak yang begitu yakin
akan dorongan itu. Trevor merencanakan sebuah program pengembangan jejaring
perbuatan baik. Begini cara mainnya: seseorang membantu tiga orang dalam
kebaikan. Lalu, masing-masing orang yang telah ditolong harus melakukan
kebaikan kepada tiga orang berbeda lain sesudahnya.
"When someone does you a big favor, don't pay it
back, pay it forward" adalah pesan moral novel Pay It Foward karya
Catherine Ryan Hyde yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada tahun
2000. Banyak kisah menarik tentang guru yang bisa kita kenang. Totto Chan,
Botchan, Dead Poets Society hingga Freedom Writers, bahkan Laskar Pelangi.
Para pengajar dalam cerita itu adalah orang-orang dewasa
yang tanpa sadar membagi beban mimpi masa depan untuk mempercayakan mimpi
tersebut dipangguli anak-anak. Alangkah indah membayangkan orang-orang
dewasa, baik mereka yang bergelar orangtua di rumah, guru di sekolah,
pemimpin di kantor, pemuka agama di rumah ibadah maupun pejabat publik,
berusaha sebaik mungkin memberi bekal kepada generasinya.
Akan tetapi, hari-hari ini kita justru mendapati
pemandangan menyedihkan perilaku orang dewasa dalam berbagai thread yang
viral di Facebook, Twitter hingga Instagram yang beramai-ramai merundung
orang lain yang berbuat kesalahan dengan berlebihan. Kadang-kadang, mereka
saling bertengkar, saling menjatuhkan, kemudian dipungkasi dengan
ejek-mengejek.
Satu kasus terakhir menimpa seorang remaja asal Banyuwangi.
Orang-orang dewasa bahagia menemukan seorang anak berbuat kesalahan, lalu
merundung sepuas yang mereka bisa. Bolehkah kita sebut orang-orang dewasa
kita memiliki masalah serius?
Impian akan tatanan hidup yang lebih baik perlu mimpi
berusia panjang. Sukarno menulis berjilid-jilid Di Bawah Bendera Revolusi,
Hatta menulis Tafsir Ekonomi dan Ki Hajar Dewantara menulis Menuju Manusia
Merdeka. Saya tak mampu menanggung kagum pada konsep demokrasi, kebangsaan,
kerakyatan, politik, pendidikan dan ekonomi keadilan sosial yang disusun oleh
mereka semua.
Lembar-lembar yang mereka goresi mimpi itu adalah lembar
hidup para Nabi. Nabi, adalah sebagaimana mereka yang membenci penindasan dan
memiliki hasrat semangat pembebasan.
Suatu siang, setelah menyisir Jalan Braga lalu tibalah di
Gedung Merdeka sendirian, saya terpukau betul ketika diputarkan video
penggambaran jalannya Konferensi Asia Afrika (KAA). Video dokumenter itu
diawali dengan sambutan Bapak Roeslan Abdulghani. Bapak Roeslan menyebut KAA
sebagai simbol kebangkitan bangsa-bangsa Asia-Afrika ketika dunia terpasung
perang, kolonialisme dan politik apartheid.
Seorang laki-laki bertubuh kecil sekali, di depan aula
utama Gedung Merdeka menirukan pidato-pidato Sukarno. Sesaat sebelumnya, ia
menceritakan tentang Sukarno dan isi konstitusi kita dengan begitu bangga.
"Sukarno berdiri di mimbar gedung ini pada tahun 55
dengan pidatonya yang berapi-api. Hadirin yang kursinya kalian duduki
sekarang memberikan tepuk tangan yang riuh sepanjang tujuh menit. Bayangkan!
Tujuh menit tepuk tangan tanpa jeda!" Pemandu museum berkemeja biru
berujar makin lantang:
"Kita tengok pembukaan UUD 1945 kita itu. Maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan! Negara mana ketika itu yang
seberani dan seluhur Indonesia menentang penjajahan di atas dunia dan
berhasrat menghapuskannya? Hanya Indonesia!"
Sukarno dan para Nabi lain dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia adalah manusia yang meletakkan hikmat possibility seperti yang
diyakinkan Simonet pada para siswanya. Meski hidup di awal abad ke-19,
cita-cita kebaikan mereka pasti telah tertarget hingga abad tak terhingga.
Indonesia kini adalah negara tercerewet versi Twitter,
kata Hilmar Farid pada pidato kebudayaan di Universitas Gadjah Mada bertajuk
Strategi Kebudayaan Menuju Indonesia Hebat. Cerewet memang sebuah aktivitas
banyak bicara yang tanpa konsep. Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah kita
berharap semua orang bicara dengan konsep?
Idealnya, seseorang sampai kapan pun tak boleh berhenti
belajar. Perintah menuntut ilmu bukan hanya diikuti keterangan soal jarak dan
ruang, tetapi juga konteks minal mahdi ilal lahdi. Manusia wajib mengilhami
ilmu sejak ayunan hingga sampai ke liang lahat.
Permasalahannya, siapakah orang-orang dewasa cerewet yang
memiliki efek bahaya hingga tujuh turunan ini? Di mana orang harus belajar
selepas usia sekolah dan kuliah? Bagaimana para pekerja, utamanya yang
memiliki iklim kerja yang tidak memberikan nutrisi apapun untuk pemikiran
mendapat ruang belajar? Lalu, bagaimana para pekerja frustrasi yang tak sudi
membaca buku pula ini ketika mendapat tanggung jawab mengadakan pengasuhan di
rumah?
Masa sebelum ini, kita masih akrab dengan istilah kerja
bakti dan gotong royong. Di kampung-kampung, sistem budaya seperti sambatan
(membantu tetangga yang memiliki hajatan tanpa dibayar) dan jimpitan (iuran
beras sekepalan tangan yang biasanya diletakkan pada teras rumah dan
dikumpulkan untuk kegiatan warga) pernah berkembang. Sistem budaya yang
memunculkan keterlibatan interaksi itu, di masa lalu, sekaligus menjadi media
pertukaran informasi dan sistem komunikasi yang efektif.
Selain itu, acara kumpul-kumpul warga tanpa disadari
adalah bentuk ruang belajar bersama. Hasilnya, misinformasi sangat jarang
terjadi, bersama dengan etika budaya yang juga begitu dijaga.
Manusia semakin modern dan teknologi semakin bergerak ke
arah yang tidak pernah kita duga-duga. Tetapi, manusia kewalahan mengiringi
kecepatan teknologi itu dengan sistem budaya baru untuk mengikutinya.
Celaka sungguh, karena teknologi di genggaman memungkinkan
orang mengetik dan mengunggah apa saja. Orang-orang dewasa cerewet itu,
selain kesepian dan frustrasi, jelasnya mereka pasti termasuk golongan yang
berhenti belajar. Mereka sudah tidak sekolah, tidak sudi membaca buku, dan
tidak memiliki ruang ilmu yang sehat.
Ruang ilmu yang sehat itu memiliki sistem sirkulasi
argumen yang seimbang. Tiap-tiap orang yang hadir di dalamnya boleh
berpendapat dan boleh saling mengisi. Ruang ilmu yang sehat itu, berbeda
dengan ruang pengajian yang dikendalikan oleh seorang ustaz gila yang bilang
bahwa Presiden kita adalah seorang komunis, atau pesan broadcast tanpa nama
soal Borobudur bikinan Nabi Sulaiman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar