Balada
Sesatnya Akses ke PTN
Riduan Situmorang ; Pengajar di Bimbel Prosus Inten-Medan; Pegiat
Literasi dan Kebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers
Forum (TWF)
|
DETIKNEWS, 13 Juni 2017
Menjelang pengumuman SBMPTN, Iqbal Aji
Daryono menuliskan Balada Kaum yang Tersesat di Universitas (Detikcom, 6/6).
Dalam sentilan itu, Iqbal menggelisahkan tentang betapa banyaknya mahasiswa
yang tersesat di perguruan tinggi. Orang-orang tersesat inilah yang kelak
menggembalakan negara ini.
Persoalannya, bagaimana mungkin orang
tersesat akan menggembalakan warga? Saya justru yakin, mereka ini kelak akan
menyesatkan warga!
Melengkapi sentilan Iqbal, Ardhie Raditya
juga menuliskan Balada Kaum Korban Salah Urus Pendidikan (Detikcom, 12/6).
Dalam tulisan itu, Ardhie menyoroti bahwa pada dasarnya dosen juga adalah
orang-orang tersesat. Skemanya semakin mengerikan.
Betapa tidak, orang-orang tersesat ini
(dosen) akan mendidik orang-orang tersesat pula (mahasiswa). Bayangkan,
bagaimana kelak orang tersesat (mahasiswa) akan menggembalakan rakyat,
sementara mereka saja dididik oleh orang-orang tersesat (dosen)?
Pada kesempatan ini, saya akan melengkapi
dua tulisan tersebut. Saya akan menyoroti kesesatan sistem seleksi masuk PTN
kita. Adalah fakta bahwa menjelang SBMPTN, pihak bimbel biasanya mengadakan
acara doa bersama sebagai pelepasan dan pemberangkatan. Mengapa itu dilakukan
dan apa itu perlu?
Menurut saya, acara pelepasan yang dikemas
dalam bentuk try out, doa, dan motivasi itu perlu dilakukan. Ini mengingat
bahwa bersaing masuk PTN melalui ujian tertulis ibarat memasuki lorong gelap.
Kita tak tahu siapa musuh kita, siapa teman kita, bahkan mengapa kita gagal
atau berhasil.
Pintar belum menjadi jaminan dan
"bodoh" pun bukan berarti kutukan. Faktanya, ada banyak siswa yang
diunggulkan akan masuk PTN malah gagal. Sebaliknya, ada beberapa orang yang
tak diperhitungkan malah melenggang masuk.
Logos
dan Mitos
Pada kasus ini, sebagai tutor di bimbel,
kami sering menghadapi sikap orangtua (bahkan anak itu sendiri) bahwa masuk
PTN adalah takdir. Seorang ayah pernah memisalkannya dari pengalaman dua
orang anaknya.
Anak pertamanya masuk PTN, sementara anak
keduanya tidak masuk. Padahal, pilihan kedua anaknya sama: jurusan dan
universitasnya. Uniknya, anak pertama hanya mendapat rangking biasa-biasa
saja, belajar seadanya, bahkan tak ikut bimbel.
Sementara anak kedua, selain dapat ranking,
belajar keras, dia juga menghabiskan hari-harinya di bimbel. Namun, di
kemudian hari, anak kedua itu tak lulus PTN. Atas pengalaman ini, orangtua
(bjuga sang anak sendiri) menyebut bahwa masuk PTN ibarat berhadapan dengan
mitos.
Tentu saja itu adalah kesesatan berpikir.
Bagaimana mungkin kita yang hendak menjadi ilmuwan (logos) malah memercayai
bahwa cara masuk ke sana adalah dengan cara takhayul (myth)?
Apakah memang sudah demikian halnya, bahwa
masuk PTN itu adalah myth sehingga selama bertahun-tahun, setiap
memberangkatkan siswa, kita akan menghadapi pengalaman yang identik, yaitu
ratusan (untuk tidak menyebutkan semua) siswa menangis, meratap, merasa tak
sanggup, memohon untuk didoakan, agar masuk PTN?
Menangis dan terharu adalah ekspresi biasa,
apalagi kalau ekspresi itu lebih pada akan segera berpisahnya tutor dan
siswanya. Namun, jika ekspresi ini adalah ekspresi ketakutan atas kegelapan
ruang, ini tentu pantas dipikirkan bersama. Ini ibarat prajurit yang hendak
berangkat ke medan perang. Kita tahu, di medan perang, semua medan (cuaca,
lawan, kawan, senjata) masih gelap.
Berperang adalah melewati kegelapan. Karena
itulah, setiap hendak berperang, berbagai literatur di dunia menarasikan
adanya ritual dan pesta. Bahwa menuju perang adalah melawan kematian untuk
mendapatkan kemenangan. Semestinya, seleksi masuk PTN tak perlu
dideskripsikan sedemikian getir ibarat perang, bahkan serupa myth. Seleksi
masuk PTN harusnya dirayakan sebagai kemenangan logos.
Memang, layaknya myth, logos juga akan
selalu menyisakan pihak yang kalah dan yang menang. Hanya saja, kemenangan
dan kekalahan dalam myth adalah sebuah misteri, sementara pada logos adalah
cenderung sebagai statistika. Inilah kiranya yang belum ada pada seleksi
masuk PTN kita. Seleksi bagi para calon ilmuwan justru dilingkupi ruang
kegelapan myth: tak tahu mengapa menang, tak tahu pula mengapa kalah.
Tahun lalu, Budi Santosa (BS) menuliskan
Transparansi SBMPTN (Kompas, 23 Juli 2016). Secara singkat, BS saat itu
menggelisahkan mengapa sejak dari dulu, pola perekrutan mahasiswa tak pernah
transparan. Transparan dalam artian yang lebih lugas, yaitu tahu mengapa
lulus dan mengapa tidak.
Sebenarnya, saya sendiri semakin gelisah
setelah membaca tulisan BS. Sebab, melihat posisi BS sebagai guru besar di
PTN ternama, harusnya dia lebih tahu daripada kita kaum awam. Namun, faktanya
BS sendiri malah tak tahu! Bahkan, pada artikel itu, BS menyebut bahwa pihak
bimbel, seperti kami, justru lebih tahu informasi yang valid perihal passing
grade (PG).
Harus
Sadar
Pernyataan BS itu sangat mentah. Bimbel di
mana pun tak pernah yakin dengan PG-nya masing-masing. Pendekatan PG hanya
cara bimbel membuat mitos seleksi masuk PTN menjadi sesuatu yang logis. PG
hanya statistika. Teknisnya, ketika seseorang lulus di prodi X, bimbel akan
mendata berapa saja siswa itu benar dan berapa salah. Dari sana kita
berhitung dan berspekulasi bahwa untuk lulus prodi X itu, nilainya harus
minimal sekian.
Itulah sebabnya PG setiap bimbel selalu
berbeda karena memang narasumbernya juga berbeda. Ini sudah cukup membuktikan
bahwa bimbel sebenarnya tak punya data yang valid tentang PG. Lagi pula, jika
PG memang murni dilakukan, barangkali akan ada sebuah kampus membludak dan
kampus lain kosong.
Bayangkan, jika PG masuk ke jurusan X di
universitas Y hanya 30 persen, lalu ada ribuan orang yang nilainya melebihi
PG 30 persen, apakah ribuan orang itu akan diterima semua tanpa terkecuali?
Di sinilah pendekatan PG mentah oleh
pendekatan daya tampung (DT). Karena itu, dalam nalar logis, cara masuk PTN
ada pada kolaborasi antara PG dan DT. Masalahnya, jika pun kolaborasi PG dan
DT ini yang diterapkan, bagaimana skema ini dirancang untuk menerima calon
mahasiswa? Ini ditanyakan karena kolaborasi PG dan DT ini sama sekali tak
sederhana.
Tak sederhananya adalah, dari ratusan
ribuan pendaftar, tentu ada ribuan yang menginginkan jurusan yang sama. Dari
ribuan itu, adalah sangat tinggi kemungkinan ada beberapa orang yang punya
nilai yang sama. Pertanyaannya, bagaimana panitia perekrutan PTN menentukan
siapa yang lulus dari mereka yang mempunya nilai yang sama itu? Apakah
random, apakah alfabetis, apakah dari asal sekolah, apakah dari nomor peserta?
Inilah yang dari dulu terus-menerus masih
dibalut kabut misteri. Misteri lainnya adalah ketika panitia—sependek yang
saya ketahui—tak pernah mengeluarkan kunci jawaban. Di sisi lain, kita juga
acap mendengar perjokian (antara panitia dan oknum). Belum lagi soal ujinya
kadang masih prematur sebab ditengarai ada yang mempunyai jawaban ganda, ada
pula yang tak ada jawaban.
Periksalah buku-buku bank soal masuk PTN
dan pembahasannya. Di sana, kita akan menemukan fakta itu. Ironisnya, bukan
hanya buku, bimbel yang satu ke bimbel yang lain pun sering memberikan
jawaban yang berbeda. Karena itulah, (maaf) kami dari bimbel sering nakal dan
mengatakan bahwa soal itu cacat. Kami tidak bermaksud menjengkali bobot soal,
apalagi panitia. Barangkali, kami dari bimbellah yang tak bisa menjawabnya.
Hanya saja, apakah panitia tak pernah
menyaksikan hal ini? Kalau pernah, mengapa panitia membiarkan masyarakat
dalam lingkaran kebodohan dan ketidaktahuannya (myth)? Sudah saatnya kita
membebaskan siswa dari kepungan myth. Jangan biarkan lagi siswa ibarat
bertempur ke medan perang sehingga setiap tahunnya mereka menangis, merintih,
bahkan merasa tak percaya diri.
Kita harus sadar, banyaknya "balada
orang tersesat di universitas" adalah karena mereka merasa tak sanggup
untuk menggapai minatnya. Alih-alih memilih jurusan yang sesuai minatnya, dia
malah memilih jurusan yang sesuai arahan tutornya. Di sini, minatnya untuk
kuliah bukan lagi untuk mengembangkan bakat, melainkan agar lulus PTN, meski
tak diminati. Tak adakah niat dari kita mengakhiri kesesatan ini? ●
|
Pendidikan indonesia memang payah dan parah. Jangan ditanya. Saya sudah muak
BalasHapus