Qatar
Sang Paradoks
Ikhwanul Kiram Mashuri ; Penulis Kolom RESONANSI
Republika
|
REPUBLIKA, 12 Juni 2017
Inilah negeri paradoks. Atau lebih
tepatnya, sering menimbulkan kontroversi. Pro dan kontra. Qatar nama negeri
itu. Negeri ini kecil saja. Luasnya kurang dari 12 ribu km2. Bandingkan
dengan Jakarta yang 661,52 km2.
Ia merupakan negara semenanjung di Jazirah
Arab. Posisinya dikepung Arab Saudi di selatan dan Teluk Parsia di tiga sisi
sisanya. Penduduknya sedikit. Pada 2017, menurut Otoritas Statistik Qatar,
total populasi negara ini mencapai 2,6 juta jiwa. Itu pun yang
berkewargawegaraan Qatar hanya 313 ribu orang (12 persen). Sisanya, atau 2,3
juta, adalah ekspatriat alias pekerja asing dari berbagai negara. Termasuk
sekitar 40 ribuan orang dari Indonesia.
Meskipun kecil, jangan tanya kekayaan
mereka. Versi World Bank, Qatar merupakan negara terkaya ketiga di dunia
setelah Luksemburg dan Norwegia. Pada 2016, pendapatan per kapita Qatar
mencapai 93.714,1 dolar atau sekisaran Rp1.218.283.300,00 (dengan nilai tukar
Rp 14 ribu per dolar). Bandingkan dengan pendapatan per kapita negara-negara
tetangganya — Arab Saudi 24.116 dolar,
Uni Emirat 39.058 dolar, Kuwait 51.497 dolar, Oman 23.133 dolar, dan Bahrain
22.467 dolar. Sementara itu pendapatan per kapita Indonesia hanya 3.605 dolar
(Rp50.470 ribu).
Lalu di mana letak paradoksnya Qatar? Mari
kita simak fakta berikut. Qatar, di satu sisi terbuka terhadap Barat atau
asing. Namun, di sisi lain, mereka sering dituduh membantu kelompok-kelompok
radikal.
Lihatlah, negara ini — lewat Qatar
Foundation — setiap tahun menggelontorkan dana jutaan dolar untuk mensponsori
klub sepak bola Barcelona. Iklan-iklan Qatar Airways juga membanjiri sejumlah
stadion klub-klub elite di Eropa. Keluarga penguasa Qatar – melalui The Qatar
Investment Authority -- pun menjadi pemilik dua klub sepakbola di Eropa,
Paris Saint Germain (PSG) dan Malaga FC (Spanyol). Dan, untuk pertama kalinya
di kawasan Timur Tengah, Qatar terpilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan
Piala Dunia 2022.
Di dalam negeri, Qatar pun tidak menolak
kehadiran asing. Mal-mal, restoran, dan butik-butik bertaraf internasional
kini mengepung negara kecil ini. Juga 2 juta lebih ekspatriat yang mencari
penghidupan di sini.
Pangkalan militer AS pun berada di Qatar.
Al Udeid Base Camp namanya. Pangkalan udara yang dihuni sekitar 8 ribu
personel militer AS ini merupakan yang terbesar di Timur Tengah. Dari sinilah pesawat-pesawat
militer AS menyerang kelompok-kelompok teroris di Irak dan Suriah.
Akan tetapi — dan ini yang menjadi
kontradiksi —, pada waktu bersamaan Qatar juga ‘memelihara’ ulama sekaliber
Sheikh Dr Yusuf Qardhawi. Yang terakhir ini bukan hanya ketua Persatuan Ulama
Dunia, namun juga ulama kritis dan tokoh Ikhwanul Muslimin yang unwanted di
banyak negara Arab.
Selama bertahun-tahun tinggal di Doha,
Sheikh Qardhawi bebas berbicara dan berfatwa. Termasuk mengharamkan membeli
produk-poduk AS dan Israel. Ia juga berfatwa memperbolehkan rakyat Arab
menentang penguasa lalim. Tentang demonstrasi, ia mengatakan, adalah hak
rakyat selama disampaikan secara baik.
Berbagai pernyataan keras Qardhawi itu
tentu sering membuat marah para penguasa Arab. Namun, Qatar hanya menjawab
enteng, pernyataan Qardhawi adalah urusan pribadi. Kebijakan luar negeri
Qatar hanya lewat saluran resmi negara.
Bukan hanya Qardhawi, stasion televisi
Aljazeera yang bermarkas di Doha juga kerap membuat merah kuping para
pemimpin Arab. Berita-berita Aljazeera dinilai seringkali mengritik penguasa
Arab. Bahkan Aljazeera kerap dituduh sengaja melindungi kelompok-kelompok
unwanted di banyak negara Arab. Penguasa Qatar sebagai pemilik Aljazeera
menegaskan, kebijakan pemberitaan adalah independensi redaksi yang harus
bersikap netral dan profesional.
Yang juga berbeda mengenai Qatar adalah
sang penguasa negeri kecil itu sendiri, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Sheikh Tamim, 37 tahun, kini merupakan emir atau amir — sebutan penguasa
Qatar — termuda di kalangan penguasa Teluk: Arab Saudi, Uni Emirat Arab,
Kuwait, Oman, dan Bahrain.
Sheikh Tamim ditunjuk menjadi Emir Qatar
oleh ayahnya, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, tiga tahun lalu. Waktu itu
usianya baru 34 tahun. Suksesi damai pada 2013 waktu itu pun menimbulkan
kontroversi. Pasalnya, alih kekuasaan tersebut di luar kelaziman
negara-negara Arab monarki — sistem kekuasaan yang didasarkan kepada
keturunan. Kelazimannya, alih kekuasaan terjadi apabila sang raja atau emir
meninggal dunia. Ia kemudian digantikan oleh keturunannya, bisa anak atau
saudara laki-laki.
Ketika Sheikh Hamad menyerahkan
kekuasaannya, ia 65 tahun, usia yang belum terlalu tua. Bandingkan dengan
Raja Salman bin Abdul Aziz yang 82 tahun. Sheikh Hamad sedang pada puncak
kejayaannya setelah bersinggasana selama 18 tahun. Dialah yang meletakkan
dasar-dasar pembangunan hingga Qatar maju seperti sekarang. Ia kini pun cukup
senang disebut sebagai ‘shobibu as sumuwi al amir al walid’ alias ‘yang mulia
orang tua sang amir’.
Ketika masih bersinggasana, Sheikh Hamad
juga sering didampingi isterinya, Sheikha Muzah binti Nasir al Misnad, dalam
berbagai kunjungan kenegaraan di luar negeri. Termasuk ketika bekunjung ke
Indonesia pada 2009. Sheikha Muzah juga aktif berkegiatan sosial dan tampil
di muka umum memberi sambutan di berbagai acara di dalam maupun luar negeri.
Hal ini tentu di luar kelaziman para penguasa Teluk lainnya, yang tidak
menyertakan istri atau anak perempuan tampil di depan umum.
Setelah alih kekuasaan tiga tahun lalu,
kebijakan Qatar ternyata tidak banyak berubah. Di tangan Sheikh Tamim
sekarang ini, Qatar justru membantu dan melindungi kelompok-kelompok yang
disebutnya sebagai teraniaya. Antara lain Ikhwanul Muslimin dan Hamas. Bahkan
Qatar berpandangan Hamas merupakan perwakilan sah bangsa Palestina. Juga
Hizbullah di Lebanon yang dianggap sebagai kelompok perlawanan terhadap
Israel. Qatar pun menjalin hubungan baik dengan Iran yang disebutnya sebagai
negara besar dan ikut menentukan stabilitas kawasan Timur Tengah.
Perbedaan kebijakan itulah yang kini
membuat murka negara-negara Teluk dan Mesir. Mereka menganggap Ikhwanul
Muslimin sebagai kelompok teroris. Pun Hamas, setelah sebelumnya juga dicap
oleh Israel dan AS sebagai teroris. Begitu pula Hizbullah di Lebanon.
Sedangkan Iran mereka pandang sebagai yang mendukung teroris dan ingin
menebar pengaruh Syiah di Timur Tengah. Bahkan Saudi telah lama memutuskan
hubungan diplomatik dengan Iran.
Kini dunia pun terbelah. Ada yang mengikuti
jejak Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA yang memutuskan hubungan diplomatik
dengan Qatar, seperti Yaman, Maladewa, serta Libia. Ada yang membela
pemutusan hubungan itu, antara lain Israel, AS, dan Yordania. Sebaliknya, ada
yang mendukung sikap Qatar, antara lain Turki dan Aljazair. Bahkan Turki
langsung menempatkan pasukan militernya di Qatar sebagai bentuk kerja sama.
Sementara ada pula yang menyerukan dialog sebagai kunci solusi, antara lain
Indonesia, Cina, Rusia, dan sebagian besar negara-negara Eropa.
Kita belum tahu bagaimana akhir dari drama
pengucilan Qatar ini. Yang jelas, apa yang saya khawatirkan -- pada tulisan
sebelumnya -- tentang campur tangan asing kini terjadi. Kawasan Timur Tengah
yang sudah memanas pun semakin panas. Harus ada pihak-pihak yang menjadi
penengah. Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif bisa
berperan memadamkan api di kawasan yang penuh gas dan minyak ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar