Makna
Kenaikan Santunan Kecelakaan Lalu Lintas
Ferdinandus S Nggao ; Peneliti Lembaga
Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Juni 2017
MENJELANG Lebaran tahun ini, pemerintah
menaikkan santunan kecelakaan lalu lintas 100%. Kebijakan itu ditetapkan
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 15/PMK.010/2017 dan No
16/PMK.010/2017 pada 13 Februari 2017 dan mulai berlaku 1 Juni 2017. Ada dua
hal yang menarik dari kebijakan ini. Pertama, kenaikan santunan tidak
disertai kenaikan iuran. Kedua, kebijakan ini diberlakukan menjelang hari
raya Lebaran, saat tingkat kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan rawan
kecelakaan.
Kenaikan santunan ini tentu akan menggerus
keuangan PT Jasa Raharja (persero), BUMN yang berperan sebagai pengelola
tunggal. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya pengelolaan dana santunan ini ke
depan? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat ada kegamangan
penyelenggaraan pengelolaan dana santunan ini dalam regulasi asuransi yang
baru.
Salah satu perubahan dalam UU No 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian ialah hilangnya terminologi asuransi sosial.
Terminologi baru yang muncul adalah asuransi wajib. Dalam UU No 2 Tahun 1992,
pengelolaan dana santunan kecelakaan lalu lintas ini dimasukkan ke kelompok
asuransi sosial, program asuransi yang diselenggarakan secara wajib
berdasarkan UU, dengan tujuan memberikan perlindungan dasar bagi
kesejahteraan masyarakat. Kemudian PP No 73 Tahun 1992 melarang perusahaan
asuransi sosial melaksanakan kegiatan usaha lain di luar asuransi sosial.
Sebagai konsekeuensinya, sejak 1 Januari 1994 Jasa Raharja (JR) melepaskan
usaha asuransi nonwajib.
Kegamangan
dalam UU asuransi
Pertanyaannya, apakah pengelolaan dana
santunan kecelakaan ini masuk kategori asuransi wajib? UU No 40 Tahun 2014
mendefinisikan program asuransi wajib sebagai ‘program yang diwajibkan
peraturan perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam
masyarakat guna mendapatkan pelindungan dan risiko tertentu, tidak termasuk
program yang diwajibkan UU untuk memberikan perlindungan dasar bagi
masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan premi
atau kontribusinya’.
Definisi itu mengandung pengertian bahwa
ada asuransi wajib yang dikecualikan dalam UU baru ini. Mengacu pada definisi
tersebut, pengelolaan dana santunan kecelakaan lalu lintas sebetulnya
termasuk yang dikecualikan. Pertama, JR merupakan pelaksana UU No 33 Tahun
1964 dan UU No 34 Tahun 1964 yang mengatur iuran dan santunan bagi korban
kecalakaan lalu lintas.
Kedua, dalam bagian pertimbangan kedua PMK
yang baru saja diterbitkan disebutkan bahwa santunan dinaikkan dalam rangka
meningkatkan ‘perlindungan dasar’ kepada korban. Ketiga, pengelolaan santunan
kecelakaan lalu lintas menganut subsidi silang dalam penetapan manfaat dan
iuran. Iuran diklasifikasikan menurut besarnya ongkos angkut dan moda
transportasi serta menurut jenis dan kapasitas mesin kendaraan.
Sementara itu, besar santunan tidak
dibedakan menurut besarnya iuran, tetapi berdasarkan dampak kecelakaan, yaitu
meninggal, kecacatan dan perawatan, serta penggantian biaya ambulans dan
penguburan. Di samping itu, tidak semua penerima santunan adalah pembayar
iuran. Penumpang angkutan kota tidak diwajibkan membayar iuran, tetapi wajib
diberi santunan bila terjadi kecelakaan.
Jasa
Raharja menjadi BPJS
Dalam kondisi kegamangan ini, kebijakan
kenaikan santunan ini sebetulnya mempertegas JR sebagai pelaksana jaminan
sosial. Untuk memperjelas posisi JR ke depan, salah satu gagasan yang perlu
dipikirkan ialah mentransformasikan JR menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS). Gagasan itu sebetulnya sudah pernah disampaikan Hikmahanto
Juwana (2016) dalam bukunya, Jaminan Sosial Kecelakaan sebagai Wujud
Kehadiran Negara.
Ada beberapa hal penting yang menjadi dasar
pertimbangan gagasan ini. Pertama, dari sisi legal, dalam bagian pertimbangan
UU No 33 dan No 34 Tahun 1964 secara jelas dinyatakan bahwa kedua UU ini
disusun sebagai langkah pertama menuju sistem jaminan sosial (social
security). Artinya, roh kedua UU ini adalah jaminan sosial. Diakui, dalam PP
No 17 dan No 18 Tahun 1965 dinyatakan bahwa dana santunan ini dikelola
perusahaan negara. Namun, hal ini bisa dipahami karena saat itu belum ada
regulasi tentang sistem jaminan sosial.
Mestinya, pengelolaan dana santunan
kecelakaan ini diintegrasikan dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sayangnya, UU SJSN hanya mengatur BPJS
Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Walaupun demikian, transformasi JR menjadi
BPJS masih terbuka sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat 4 UU SJSN bahwa
dalam hal diperlukan pemerintah dapat membentuk BPJS selain yang sudah
disebutkan dalam UU SJSN.
Kedua, secara konseptual asuransi sosial
merupakan bagian dari jaminan sosial sebagaimana diungkap para ahli seperti
George Rejda (1994) dan Bambang Purwoko (1999). Asuransi sosial lahir untuk
mewujudkan jaminan sosial. Karena itu, asuransi sosial sejatinya berada dalam
wilayah sistem jaminan sosial.
Ketiga, perlunya transformasi JR menjadi
BPJS juga dilihat dari sisi manfaat. BPJS, sebagaimana diatur dalam SJSN,
merupakan lembaga nirlaba sehingga dana bisa dimanfaatkan secara optimal
untuk kepentingan masyarakat. Dengan berbentuk BPJS, JR bisa meningkatkan
nilai manfaatnya, baik secara langsung kepada korban kecelakaan dengan
memperluas cakupan manfaat maupun dalam bentuk upaya pencegahan kecelakaan.
Selama ini, sebagai persero, JR terikat
dengan ketentuan ukuran kinerja sebagai entitas bisnis, termasuk memberikan
dividen kepada pemerintah. Dalam Laporan Tahunan 2015, JR memberikan dividen
sebesar Rp1,543 triliun dan pada 2014 sebesar Rp1,535 triliun. Dana itu
sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai manfaatnya kepada
masyarakat. Dengan demikian, kebijakan kenaikan santunan ini dimaknai sebagai
wujud kepedulian negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kepedulian negara ini akan lebih besar manfaatnya kalau JR ditransformasikan
menjadi BPJS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar