(Tak
Perlu) Membalas Kebaikan Orang Lain
Arie Saptaji ; Penulis, Penerjemah, Editor,
dan terus belajar
menjadi pemberi dan penerima kebaikan
|
DETIKNEWS, 16 Juni 2017
Dalam mata pelajaran IPS, seorang guru menugasi
murid-muridnya untuk merancang dan menerapkan suatu aktivitas yang berdampak
baik bagi dunia ini. Salah seorang murid, Trevor McKinsey merancang program
amal berupa jejaring kebaikan. Anak kelas 1 SMP di Las Vegas, Nevada, AS itu
menyebutnya pay it forward (meneruskan kebaikan).
Rancangannya, si penerima kebaikan tidak membalas budi
pada si pemberi, melainkan meneruskan kebaikan itu pada tiga orang lain.
Ketiga orang itu nantinya masing-masing meneruskan kebaikan pada tiga orang
lain lagi. Begitu seterusnya. Syaratnya, perbuatan itu mesti sesuatu yang
tidak dapat dikerjakan sendiri oleh si penerima.
Trevor pun memulainya dengan melakukan kebaikan pada tiga
orang. Seperti tertuang dalam film berjudul Pay It Forward (Mimi Leder,
2000), kebaikan pertamanya ditujukan pada seorang gelandangan bernama Jerry,
dengan mempersilakannya tinggal di garasi. Jerry nantinya meneruskan kebaikan
ini dengan memperbaiki mobil ibu Trevor, dan membujuk seorang perempuan untuk
membatalkan rencananya bunuh diri dari sebuah jembatan.
Sudah Lama Dikenal
Konsep meneruskan kebaikan sudah lama dikenal di Barat
sana. "Pay it forward" dapat diterapkan baik dalam hal utang budi
maupun utang finansial.
Menurut Wikipedia, gagasan itu pertama kali muncul dalam
sebuah drama Yunani pada abad IV SM. Tokoh-tokoh yang mempopulerkannya
kembali antara lain Benjamin Franklin dan Ralph Waldo Emerson. Kebaikan tidak
perlu dibalas, tapi diteruskan hingga meluas sebagai jejaring kebaikan.
Di sini kita mengenal pepatah "utang emas boleh
dibayar, utang budi dibawa mati". Saat seseorang meninggal dunia,
keluarga biasanya mengumumkan, jika ada tetangga dan kerabat yang memiliki
piutang pada almarhum, ia dipersilakan menghubungi ahli waris untuk membereskannya.
Namun, bagaimana dengan utang budi? Utang finansial
relatif lebih mudah diperhitungkan, dan sepatutnya dilunasi sesuai dengan
kesepakatan. Dapat kepada si pemberi utang, atau mengikuti konsep pay it
forward tadi, diteruskan kepada pihak lain. Sekali lagi, sesuai dengan
kesepakatan.
Lain ceritanya dengan utang budi, tidak berlangsung
menurut kesepakatan. Ketika ada orang tertimpa musibah atau memerlukan
pertolongan, orang lain mengulurkan tangan secara sukarela dan ikhlas. Utang
budi, dengan demikian, bukanlah pinjaman, melainkan pemberian yang tulus.
Pada 2015 saya terserang usus buntu sehingga harus
dioperasi dan opname di rumah sakit selama beberapa hari. Keadaan itu memberi
saya kesempatan untuk menerima kebaikan orang lain secara berlimpah-limpah.
Keluarga. Dokter. Perawat. Awak rumah sakit. Teman-teman yang menengok.
Teman-teman yang menghibur dan bergurau. Yang membawa oleh-oleh. Yang
menyisipkan amplop sebelum pulang. Yang mengajak selfie. Yang menelepon lalu
transfer dana. Yang mendoakan dari jauh….
Pengalaman itu menawarkan dinamika yang unik sehubungan
dengan utang budi. Bagaimana saya dapat membalas kebaikan-kebaikan tersebut?
Semuanya? Satu per satu?
Jawabannya: M-U-S-T-A-H-I-L.
Jadi, apa yang harus saya lakukan?
Saya teringat status pendek seorang teman yang saya baca
beberapa hari sebelumnya. Saya tidak ingat persis kata-katanya, kira-kira
begini:
"Kebaikan itu bergerak secara dua arah. Saat kita
menjadi pemberi kebaikan, kita diundang untuk memberi tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan imbal jasa. Sebaliknya, saat kita menjadi penerima kebaikan,
kita diundang untuk tidak gelisah dan terbeban memikirkan bagaimana membalas
budi."
Hah? Kita tidak perlu berterima kasih? Tidak usah
bersyukur? Kita jadi orang yang tidak tahu membalas budi?
Tidak. Saya rasa bukan begitu maksudnya.
Memberi dan menerima sebagai perbuatan baik bukan
dimaksudkan untuk berlangsung secara berbalas-balasan. Tidak ada seorang pun
yang mampu membalas suatu kebaikan secara setimpal. Kalau itu terjadi, dunia
juga malah akan jadi aneh.
Tidak percaya? Coba saja. Si A memberikan satu juta kepada
si B; kemudian pada waktu lain si B membalas memberikan satu juta kepada si
A. Setimpal? Secara nilai rupiah, bisa iya bisa tidak—bergantung pada berapa
lama jarak pemberian itu, dan apakah nilai tukar dolar sedang mengamuk atau
tidak.
Namun, secara pengorbanan, nilai pemberian A jelas akan
berbeda dari pemberian si B. Tidak bisa setimpal benar. Atau, dalam kasus
saya berarti saya mesti mengharapkan teman-teman saya sakit, agar saya dapat
membalas kebaikan mereka? Itu namanya kurang ajar!
Kawan Seiring
Balas-membalas juga menyeret kita ke dalam persaingan.
Kalau kita menganggap pemberian kita lebih rendah nilainya, kita jadi minder
dan nelangsa. Kalau kita menganggap pemberian kita lebih tinggi nilainya,
kita membusungkan dada dan pongah. Kebaikan bergeser jadi kemalangan, bahkan
kejahatan.
Jadi, bagaimana? Memberi dan menerima sebagai perbuatan
baik itu lebih menyerupai kawan seiring, bergandengan tangan. Seperti gerak
tubuh yang saling merespons menjadi tarian elok. Seperti duo syair dan melodi
yang bersama-sama merajut simfoni yang indah.
Lihatlah setangkai pohon mawar. Dari matahari, ia menerima
cahaya dan panas. Dari langit, ia menerima udara segar dan curah hujan. Dari
tanah, ia menerima sari-sari makanan. Dari petani, ia menerima perawatan.
Apakah ia membalas memberikan cahaya dan panas kepada
matahari?
Apakah ia membalas memberikan udara segar dan curah hujan
kepada langit?
Apakah ia membalas memberikan sari-sari makanan kepada
tanah?
Apakah ia membalas memberikan perawatan kepada si petani?
Tidak, bukan?
Ia tidak gelisah memikirkan bagaimana mesti membalas
kebaikan matahari, langit, tanah, petani. Tentu saja, ia juga memberi pada
lingkungannya dengan hal-hal yang berbeda. Yang tidak bisa
diperbanding-bandingkan. Dalam pelajaran biologi dasar, misalnya, tanaman
mendapatkan CO2 dan melepaskan O2 ke udara. Itu zat yang berbeda, bukan?
Jadi, apa yang dilakukan si mawar?
Ia mekar semekar-mekarnya, menjadi mawar yang semawar-mawarnya!
Begitulah dinamika memberi dan menerima sebagai perbuatan
baik.
Jadi, ketika kita mendapatkan kesempatan untuk memberikan
kebaikan, alih-alih membayangkan tuaian yang akan kita petik dari benih yang
kita tabur, rasanya lebih tepat jika kita bertanya, "Apakah pemberian
terbaik yang dapat kuberikan kepadanya, yang akan menolongnya semakin mekar
sebagai manusia?"
Dan, ketika kita mendapatkan jatah untuk menerima
kebaikan, alih-alih memikirkan apa saja yang mesti kita lakukan untuk
membalasnya, rasanya lebih tepat jika kita bertanya, "Bagaimana saya
dapat mendayagunakan pemberian ini sebaik mungkin sehingga saya semakin mekar
sebagai manusia?"
Karena itu, marilah kita saling memberi dan saling
menerima, untuk mekar semekar-mekarnya, menjadi manusia yang
semanusia-manusianya! ●
|
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus