KPK
Vs Politisi
Hamid Awaludin ; Menteri Hukum dan HAM
2004-2007;
Pengajar FH Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS, 15 Juni 2017
Saat Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk
tahun 2003, pemerintah dan DPR yang melahirkan UU KPK sepakat bulat dan
ikhlas untuk melahirkan lembaga antirasuah ini.
Justru khalayak tak menyambutnya dengan
antusias. Sudah lama optimisme penegakan hukum itu terkubur. Lagi pula, KPK
hanya lembaga anak bawang: ketuanya (Taufiequrachman Ruki) pensiunan polisi,
pimpinan lain bukan jagoan dunia hukum, para penyidiknya pinjaman dari
kepolisian dan kejaksaan, dan sistem kerjanya pun belum jelas.
Di
mana akal sehat?
Ketika itu, banyak kalangan yang menilai
KPK tak lebih dari berjibun lembaga lain yang seolah-olah sekadar menambah-
nambah jabatan. Ternyata, di periode pertama ini Taufiequrachman Ruki dan
kawan-kawan berhasil meletakkan fondasi lembaga pemberantasan korupsi dengan
sistem yang lurus, tak pandang bulu, dan trengginas.
Periode-periode berikutnya, setiap kali
komisioner baru terpilih, selalu ada suara-suara sumbang: mulai dari soal
independensi, kapabilitas, juga dugaan- dugaan kedekatan dengan kekuasaan atau
pihak lain di luar komisi. Namun, lembaga ini tetap membuktikan dirinya bebas
dari pengaruh, tak terempas oleh gelombang, dan tak sampai sempoyongan oleh
badai.
Beragam kasus dan modus telah dibongkar dan
diantar ke pengadilan oleh KPK. Yang sama dari setiap periode kepemimpinan
KPK adalah pemimpin-pemimpinnya dipilih dan ketuanya ditetapkan oleh DPR,
tetapi DPR pula yang selalu jadi korbannya. Segala perjanjian dan lobi-lobi
di belakang ruang sidang dengan para kandidat tak mempan untuk menghalangi KPK
menggeruduk wakil-wakil rakyat yang korup. Dan, entah mengapa pula, hampir
setiap kasus korupsi kakap di negeri ini berhulu di Senayan. Dari urusan
jalan raya, perumahan atlet, sampai perkara hukum di Mahkamah Konstitusi.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyebutkan, sejak
berdiri, KPK telah menangkap banyak pemimpin yang dipilih dari hasil pemilu
akibat korupsi. "DPR dan DPRD sudah 119 orang, gubernur 15 orang,
bupati/wali kota 50 orang. Kita harus sudahi ini," katanya. Sebuah
ironi, mengingat DPR pula yang memilih dan menetapkan pimpinan KPK.
Jadi, tak perlu heran jika serangan
terhadap KPK pun paling gencar datangnya dari Senayan. DPR pula yang ngotot
merevisi UU KPK, berusaha menumpulkan pedang lembaga ini dengan mempreteli
kewenangan untuk menuntut, mengurangi kewenangan untuk menyadap pembicaraan,
dan memberikan kewenangan baru untuk mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan. Namun, segala usaha itu selalu terpental oleh kuatnya dukungan
publik terhadap KPK.
Hari-hari ini, menyusul pengungkapan kasus
KTP elektronik, DPR kembali mengasah taring. Mereka membentuk panitia angket
yang diketuai politisi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, yang namanya
pun pernah disebutkan dalam dakwaan kasus korupsi KTP-el atas dua terdakwa
dari Kementerian Dalam Negeri. Begitu juga beberapa nama anggota DPR yang
duduk dalam panitia angket. Namanya Panitia Angket DPR, tetapi sesungguhnya
semacam burung nazar yang menunggu lemahnya KPK. Singkatnya: mereka tengah
berikhtiar menjinakkan macan yang telah mereka pilih sendiri.
Dari alur fakta, terasa sulit menjelaskan
dengan akal sehat bahwa penggunaan hak angket DPR terhadap KPK dimotivasi
untuk memperkuat KPK. Semua ini lantaran KPK menyidik kasus KTP-el dan
menyebut sejumlah anggota DPR, terutama Ketua DPR Setya Novanto. Faktor Amien
Rais kian memperjelas keyakinan ini. Begitu nama mantan Ketua Partai Amanat
nasional (PAN) ini disebut menerima uang dalam kasus mantan Menteri Kesehatan
Siti Fadilah Supari, PAN yang tadinya tidak ikut dalam rombongan pendukung
hak angket langsung berbalik arah. Berbagai dalih hukum memang bisa dipakai
untuk membenarkan penggunaan hak angket ini, tetapi akal sehat dan hati
nurani sulit untuk diberi alasan.
Bersalahkah
Amien Rais?
Amien Rais sebetulnya tidak perlu terlalu
reaktif terhadap KPK, juga PAN. Nama Amien Rais muncul dalam proses
penyidikan KPK dalam kasus alat kesehatan yang melibatkan Siti Fadilah
Supari. Dan, KPK diharuskan oleh hukum untuk mempresentasikan hasil
penyidikannya di persidangan pengadilan. KPK tak boleh mengurangi, melebihkan,
dan menghilangkan fakta penyidikan. KPK wajib mengatakan apa saja yang
terjadi dan tergambarkan dalam penyidikan, termasuk adanya nama Amien Rais.
Penyebutan nama Amien Rais di pengadilan
sama sekali tidak menunjukkan adanya kesalahan atau potensi kesalahan Amien
Rais. Tokoh reformasi ini sungguh-sungguh tidak bisa dinilai bahwa ia korupsi
dan mengambil uang negara. Ketika Amien Rais menerima aliran dana tersebut,
ia bukan berstatus penyelenggara negara. Ia warga negara biasa.
Bahwa Amien Rais menerima uang tersebut
dari yayasan sosial Soetrisno Bachir, tetapi ia tak pernah berurusan dengan
aparat negara yang bertanggung jawab dengan uang yang diterimanya. Amien Rais
tidak boleh dipersepsikan bahwa ia patut dapat menduga bahwa uang yang diterimanya
itu adalah uang haram. Amien Rais menerima uang tersebut dari lembaga milik
Soetrisno Bachir.
Ada yang membandingkan dengan kasus Andi
Zulkarnaen Mallarangeng (Choel), yang juga bukan penyelenggara negara, tetapi
toh dihukum. Ini dua hal yang berbeda. Choel betul bukan penyelenggara
negara, tetapi ia terbukti meminta uang negara melalui Sekretaris Kementerian
Pemuda dan Olahraga Wafid Muharram. Choel
bahkan ikut aktif mengatur pertemuan. Ia memang bukan penyelenggara
negara, tetapi terkait dengan penyelenggara negara, yakni, kakaknya, Andi
Mallarangeng, Menpora, dan sekretaris lembaga yang dipimpin kakaknya.
Amien Rais sama sekali tidak ada
keterkaitannya dengan penyelenggara negara sebab uang yang ia terima
datangnya dari yayasan sosial. Dalam perspektif hukum pidana, Amien Rais
tidak memiliki motif untuk melakukan kejahatan. Dalam hukum pidana, motif
adalah hal pertama yang jadi dasar untuk memidanakan seseorang. Karena itu,
kalau toh kelak bisa dibuktikan bahwa uang yang ia terima itu adalah uang negara,
Amien Rais cukup mengembalikannya saja. Ia tidak boleh dipidana dengan
penerimaan uang yang dilakukannya itu.
Sejatinya, nama Amien Rais disebutkan oleh
sekretaris yayasan Soetrisno Bachir, lalu dalam persidangan Siti Fadilah
Supari, nama Amien Rais dikonfirmasi. Jadi, Amien Rais sama sekali tidak jadi
target KPK sehingga tidak perlu menyoal bahwa KPK melanggar hukum karena
menyebut namanya, tanpa ia pernah dimintai keterangan oleh KPK dalam bentuk
kesaksian dengan berita acara pemeriksaan. Penyebutan nama Amien Rais
semata-mata karena orang lain yang menyebutkannya dan masuk dalam berita
acara pemeriksaan.
Sebagai tokoh reformasi, Amien Rais
sebaiknya tidak ikut menari di atas irama gendang para politisi yang bertekad
dan punya motif menghabisi KPK.
Untuk mereka, kita pinjam lagu Rhoma Irama,
"Kegagalan Cinta", dengan tambahan satu kalimat: "/Kau yang
mulai kau yang mengakhiri... /Kau yang memilih, kau yang
ditangkapi..../" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar