Menghina
Pejabat Negara
Rahma Sugihartati ; Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Informasi dan
Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga
|
KORAN
SINDO, 17 Juni 2017
Entah karena didorong ketidakmengertian atau emosi yang
kelewat batas, berbagai kasus penghinaan kepada sejumlah pejabat negara terus
terjadi di media sosial. Kasus terbaru, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara
dilaporkan telah menangkap laki-laki berinisal NS alias Nursalam, 28, karena
dinilai telah menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian di akun Facebook nya.
Dalam postingannya NS mengunggah foto Kapolri disandingkan dengan anjing
pelacak polisi K19. NS menambahi keterangan atau komentar yang dinilai
meremehkan orang nomor satu di jajaran kepolisian Indonesia itu.
Sebelumnya, di Jawa Timur, MS alias Bogel, seorang pemuda
asal Bangkalan, dilaporkan juga telah ditangkap Tim Cyber Crime Polda Jatim
karena mengunggah ucapan yang menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Sejumlah
pejabat negara di ketahui pernah menjadi korban penghinaan di dunia maya,
termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sejumlah netizen dikabarkan telah
merisak dan menuding JK bersikap rasis—sebuah tuduhan yang tidak benar dan
telah dibantah JK maupun keluarganya.
Semasa muda JK bahkan dituduh pernah membakar gereja.
Padahal faktanya justru rumah JK dijadikan tempat perlindungan bagi sejumlah
pihak yang takut menjadi korban konflik etnis di waktu itu. Kasus serupa
sebelumnya juga dialami Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Yogyakarta Sri
Sultan HB X—figur yang selama ini dihormati masyarakat Yogyakarta.
Seperti diberitakan di media massa, Sri Sultan melaporkan
munculnya berita hoax mengenai isu SARA di salah satu portal blog berita yang
mencatutnamanya. Portal berita berbasis blog metronews.tk dilaporkan Sri
Sultan karena dinilai telah mencemarkan nama baiknya. Sri Sultan yang sama
sekali tidak pernah merasa diwawancarai, di blog berita tersebut ditulis
telah membuat pernyataan yang tendensius dan memuat unsur SARA. Nama Sri
Sultan tampaknya sengaja dicatut oleh pihak-pihak tertentu dan dipergunakan
untuk kepentingan pertarungan politik di Pilkada DKI Jakarta.
Sri Sultan disebut-sebut tidak mendukung etnik tertentu
untuk menjadi pemimpin. Padahal Sultan mengaku tidak pernah merasa
diwawancarai dan menyatakan hal seperti yang tertuang dalam berita di situs
bernama metronews.tk tersebut.
Penanganan
Untuk mencegah dan menghindari agar tidak timbul keresahan
sosial dan penilaian masyarakat yang keliru, yang perlu dilakukan para
pejabat tentu tidak sekadar melakukan klarifikasi, tetapi jika perlu menempuh
jalur hukum. Sri Sultan, misalnya, memilih me nempuh jalur hukum. Ngarsa
Dalem melaporkan kasus yang dialaminya ke aparat kepolisian dan berharap
segera dilakukan penyelidikan untuk mencari siapa dalangdibalikpenye bar
anberita hoax yang tidak benar itu.
Terlepas apakah dilaporkan atau tidak, ketika seorang
pejabat publik menjadi korban tindak kriminal yang melang gar undang-undang,
tentu su dah menjadi tugas aparat ke polisian untuk menindaklanjuti yang
masuk secepat mungkin. Terlebih pihak yang menjadi korban adalah figur publik
yang berpotensi menjadi korban pencemaran nama baik karena penyebaran berita
hoax yang luar biasa cepat.
Kasus yang menimpa Kapolri, JK atau Sri Sultan secara
hukum jelas masuk ke dalam ranah pelanggaran Undang- Undang No 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan ransaksi Elektronik (ITE). Tindakan pencemaran nama
baik di media sosial dan dunia maya tentu saja telah melanggar Pasal 27
tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang penyebaran informasi untuk
menimbulkan kebencian berdasar kan suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA).
Dengan mengoptimalkan kinerja kepolisian, khususnya divisi
cyber crime yang menangani kasus kejahatan di dunia maya, kasus yang menimpa
Kapolri, JK, dan Sri Sultan ini diharapkan akan segera terselesaikan. Siapa
pun dalang di balik portal berita yang men catut nama pejabat negara, mereka
harus diproses di meja hijau dan memperoleh hukuman yang setimpal atas
kesalahan yang dilakukan.
Bisa dibayangkan, jika figur selevel Wapres JK, Kapolri
atau Sri Sultan bisa dicatut dan dicemarkan nama baiknya, tentu pihak-pihak
lain yang notabene orang-orang biasa akan dengan mudah menjadi objek tindak
pencemaran melalui berita hoax. Untuk itu, penanganan berbagai kasus
pencemaran nama baik pejabat negara lewat berita hoax benar-benar menjadi
batu ujian pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku dan memecahkan
masalah ini.
Melawan Berita Hoax
Di era perkembangan masyarakat digital, risiko
penyalahgunaan informasi dan kemungkinan masyarakat, termasuk para pejabat
publik, menjadi korban berita hoax harus diakui mengalami pening k atan yang
sangat pesat. Ketika semua orang bisa menjadi wartawan tanpa media di dunia
maya, siapa pun kemudian memiliki kekuasaan untuk memproduksi informasi dan
kemudian menyirkulasi ke media sosial— tanpa bisa dicegah.
Masalahnya, ketika informasi yang diproduksi adalah
berita-berita hoax, dan penyebaran berita hoax melalui media sosial maupun
internet dimanfaatkan sebagai instrumen untuk kepentingan politik maupun
media untuk menyalurkan dendam-dendam personal, maka pada titik ini yang
dibutuhkan bukan hanya penanganan dari segi hukum semata. Dengan memanfaatkan
kedudukan dan status pejabat publik, orang-orang yang memiliki kepentingan
politik, plus uang dan keahlian di bidang ilmu informasi, mereka dengan mudah
akan memanfaatkan keahlian dan ruang yang terbuka di dunia maya untuk
kepentingan politis praktisnya.
Meski berita-berita hoax dan ujaran penghinaan di media
massa bisa diblokir dan ulah pelaku yang tidak bertanggung jawab bisa
ditangkap, masalahnya ketika sebuah berita hoax sudah terekspos, dan kemudian
disirkulasi dan diresirkulasi, penyebarluasannya pun niscaya akan massif
tanpa bisa dicegah. Dari sisi ini, sekali pun mungkin pelakunya sudah
diproses di depan hukum, tujuan untuk menyebarluaskan berita hoax dan
kepentingan untuk memanipulasi pikiran para pembaca sesungguhnya sudah
tercapai.
Di era perkembangan media yang konvergen, penyebaran
berita hoax ibaratnya seperti angin yang terus bertiup dan kemungkinan untuk
menghentikannya nyaris tidak ada. Di luar upaya untuk menempuh jalur hukum,
upaya untuk mencegah efek buruk penyebaran berita hoax dan ujaran penghinaan
yang merugikan pejabat negara sesungguhnya hanya bisa dilakukan dengan cara
pelibatan partisipasi dan daya tahan masyarakat.
Membangun ketahanan sosial masyarakat dengan cara
meningkatkan literasi kritis dan literasi media adalah salah satu cara yang
seyogianya dikembangkan untuk mencegah agar masyarakat tidak mudah termakan
berita hoax. Tanpa didukung kesadaran masyarakat sendiri untuk bersikap
kritis pada booming informasi yang meledak luar biasa pesat, bisa dipastikan
penyebaran berita hoax akan selalu menjadi momok yang kontraproduktif bagi
kemajuan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar