Full
Day School dan Mutu Pembelajaran
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 17
Juni 2017
MERUMUSKAN dan memilih formula yang tepat bagi acuan pengembangan
pembelajaran siswa yang benar-benar efektif ternyata bukan hal mudah.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy
untuk memberlakukan sistem full day school (FDS) mulai tahun pelajaran
2017–2018 di berbagai sekolah, alih-alih didukung semua kalangan, justru
dalam kenyataannya menuai berbagai protes dan kritik.
Menetapkan pembelajaran di sekolah berlangsung selama lima
hari, Senin hingga Jumat, dikhawatirkan berisiko kontraproduktif. Meski
banyak pihak sepakat bahwa sistem FDS akan memberikan kesempatan bagi guru
untuk mengembangkan pendidikan karakter dan mengisi kekosongan waktu karena
banyak orang tua yang tidak bisa mengawasi anak masing-masing. Tetapi, di
balik kelebihan atau manfaat yang ditawarkan, tidak sedikit pihak yang
mengkhawatirkan efek negatif jika sistem FDS dipaksakan berlaku di semua
sekolah.
Fasilitas Pembelajaran
Di berbagai negara maju seperti Singapura, Amerika
Serikat, Australia, dan Jepang, sistem FDS sebetulnya sudah lazim
dipraktikkan. Dengan didukung fasilitas pembelajaran yang representatif,
penerapan sistem FDS memang akan melahirkan berbagai manfaat positif bagi
siswa. Di sejumlah negara maju, jam belajar siswa bahkan tidak hanya 8 jam
sehari, melainkan bisa saja sampai lebih dari 10 jam, terutama untuk siswa
jenjang SMA yang akan menghadapi ujian masuk ke perguruan tinggi.
Jam belajar yang panjang di sekolah modern yang didukung
fasilitas lengkap justru menjadi nilai plus karena siswa memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya secara maksimal.
Tetapi, lain soal ketika sistem FDS itu dipaksakan berlaku secara nasional
–tanpa memeriksa dan memastikan terlebih dahulu kesiapan fasilitas yang
dimiliki sekolah.
Di Indonesia, objektif harus diakui bahwa kesiapan tiap-tiap
sekolah dalam melaksanakan sistem FDS sangatlah berbeda, bahkan senjang. Di
sekolah yang maju dan memiliki fasilitas belajar yang memadai, tanpa
instruksi dari Mendikbud pun, mereka selama ini sebetulnya telah menerapkan
sistem FDS. Di sekolah swasta yang modern, para orang tua bersedia membayar
mahal uang sekolah anaknya. Sebab, selama belajar di sekolah, anak-anak
mereka memperoleh kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan dengan baik.
Dengan dukungan fasilitas lengkap yang ditambah dengan kompetensi guru yang
sudah terlatih, wajar jika penerapan sistem FDS menghasilkan luaran lulusan
yang bermutu.
Jangankan berbicara tentang kompetensi guru dan
ketersediaan fasilitas belajar yang representatif, untuk hal-hal yang
elementer pun banyak sekolah di Indonesia yang masih jauh dari layak. Dengan
sistem FDS, salah satu kebutuhan yang tidak terhindarkan adalah ketersediaan
kantin yang layak, fasilitas olahraga dan bermain siswa yang aman serta
memadai, perpustakaan yang representatif, dan lain-lain –yang sebagian besar
sekolah pada umumnya belum mampu menyediakannya secara layak.
Untuk fasilitas mendasar seperti perpustakaan sekolah,
misalnya, bisa dilihat berapa banyak sekolah yang benar-benar telah
memilikinya. Di kota besar seperti Surabaya saja, diperkirakan tidak lebih
dari separo sekolah yang telah memiliki fasilitas perpustakaan yang layak.
Dengan demikian, ketika sekolah yang belum memiliki fasilitas seperti itu
dipaksa melaksanakan sistem FDS, besar kemungkinan muncul lubang-lubang yang
akan memerangkap siswa pada aktivitas belajar yang jauh dari berkualitas.
Degradasi Proses Pembelajaran
Risiko yang paling mencemaskan jika sistem FDS dipaksakan
berlaku serentak di seluruh sekolah di Indonesia sesungguhnya tidak hanya
berkaitan dengan ketersediaan fasilitas belajar –di mana belum semua sekolah
siap. Yang tak kalah mencemaskan adalah kemungkinan terjadinya degradasi
kualitas pembelajaran.
Degradasi kualitas pembelajaran setelah diberlakukannya
sistem FDS itu berpotensi terjadi karena dua faktor berikut. Pertama, ketika
sistem FDS dipaksakan berlaku nasional, sementara pada saat yang sama tidak
semua sekolah siap, kemungkinan yang terjadi adalah para guru di sekolah
hanya akan disibukkan dengan masalah bagaimana menghabiskan waktu siswa
hingga 8 jam sehari tetapi tidak mengkaji secara serius aktivitas yang
sebenarnya perlu ditawarkan kepada siswa agar dapat dikembangkan menjadi
pembelajaran yang benar-benar berkualitas.
Di berbagai sekolah yang tidak siap untuk melaksanakan
sistem FDS, niscaya para guru akan cenderung mengisi waktu siswa hanya dengan
kegiatan rutin yang tidak memiliki dampak signifikan meningkatkan kompetensi
peserta didik. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika sekolah atas nama
kegiatan ekstrakurikuler kemudian memberikan jam yang panjang bagi siswa
untuk melakukan berbagai hal –tanpa tuntunan yang bisa memastikan manfaatnya
bagi masa depan peserta didik.
Kedua, kalaupun sekolah-sekolah tertentu berusaha mengisi
waktu yang panjang siswa di sekolah dengan kegiatan akademik, salah satu
kemungkinan yang berpotensi terjadi adalah siswa akan didorong para guru
untuk mendalami materi pembelajaran dengan cara berlatih berbagai variasi
soal ujian. Artinya, yang ditekankan dan dikembangkan sekolah untuk mengisi
jam-jam pembelajaran yang panjang mungkin adalah melatih siswa agar makin
terampil mengerjakan berbagai soal daripada mengajak siswa mengeksplorasi
pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Sistem FDS seharusnya mendukung pengembangan pembelajaran
berdasar proses. Tetapi, ketika sekolah belum atau tidak siap, kemungkinan
untuk tejerumus pada pembelajaran yang berorientasi hasil berpeluang muncul.
Untuk memastikan agar penerapan sistem FDS tidak
kontraproduktif, selain implementasinya seyogianya diberlakukan secara bertahap,
yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan desain kurikulum dan
kesiapan guru untuk menerapkan sistem FDS. Mencontoh apa yang diterapkan
sekolah-sekolah di negara maju memang sudah sewajarnya kita lakukan. Tetapi,
tentu terlebih dahulu harus menakar kesiapan sekolah-sekolah yang ada agar
tidak terkesan siswa selalu menjadi kelinci percobaan dari kebijakan
pendidikan yang diputuskan tanpa persiapan yang matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar