Demokrasi
di PTN Tinggal Teori
S Sahala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik
Fikom Unpad
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juni 2017
MALANG nian nasib perguruan tinggi negeri
(PTN) kita. Dahulu para ilmuwan PTN tidak hanya pintar mengajarkan demokrasi
ke semua pihak di luar kampus, tetapi juga mengamalkannya di dalam kampus.
Akan tetapi, sejak diberlakukannya Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan M Nuh, Nomor 24/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan Pemerintah,
demokrasi pun mati pelan-pelan di PTN. Dalam SK itu dinyatakan, dalam
pemilihan rektor PTN Mendikbud memiliki hak suara sebesar 35%. Sebelum
menteri menggunakan hak suaranya, senat universitas terlebih dahulu memilih
para calon rektor.
Baru-baru ini Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tjahjo Kumolo menghebohkan dunia PTN pula. Dia mengatakan
mekanisme pemilihan rektor PTN direncanakan berubah. Penentuan akhir calon
rektor tidak saja oleh senat universitas dan Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), tetapi melibatkan Presiden juga.
Kebijakan baru ini didasari alasan bahwa rektor merupakan jabatan strategis.
Jabatan rektor juga sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran
mahasiswa, termasuk penanaman ideologi. Rencana ini dilatarbelakangi dan
sebagai tindak lanjut laporan Kemenristek Dikti tentang adanya ideologi
selain Pancasila yang masuk kampus.
Jangankan dipilih oleh Presiden, dengan
memberi kekuasaan (suara) sebesar 35% saja kepada Menristek Dikti dalam
pemilihan rektor terbukti telah membunuh demokrasi (otonomi kampus) di PTN.
Tidak hanya itu, dalam pemilihan rektor tahun lalu di berbagai PTN, sejumlah
calon rektor diduga menyuap oknum-oknum berkuasa besar di Kemenristek Dikti.
Pada Oktober 2016, Kemenristek Dikti akan melibatkan Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses pemilihan
rektor PTN. Itu akan ditempuh karena kecurangan dalam pemilihan rektor di
beberapa PTN yang diduga melibatkan oknum-oknum di Kemenristek Dikti.
‘Mahar’-nya Rp1 miliar hingga Rp5 miliar. Ada calon-calon rektor yang
menggunakan jalur partai politik (parpol) dan lembaga keagamaan.
Suap atau korupsi dalam pemilihan rektor
PTN sebenarnya sudah dapat diperkirakan sejak dikeluarkannya SK Mendikbud
Nomor 24/2010. Dalam SK itu ditegaskan, sebelum menteri menggunakan hak
suaranya (35%), Senat PTN terlebih dahulu memilih para calon rektor. Misalkan
dalam suatu pemilihan rektor di sebuah PTN si A berhasil meraih suara
terbanyak, 35%, si B 20%, dan si C hanya 10%. Bila Mendikbud (kini Menristek
Dikti) memilih si C, calon yang bersangkutanlah yang menjadi rektor di PTN
itu karena meraih 45% suara. Nah, agar sang menteri memberi suaranya kepada
salah seorang calon rektor, di sinilah terjadi percaloan yang dilakukan
orang-orang yang mengaku sanggup memengaruhi pemilik 35% suara itu.
Demokrasi
tinggal teori
Entah mengapa, dalam Undang-Undang Nomor
12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) sama sekali tak disinggung
Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur di PTN. Padahal, menurut
Pasal 6 ayat (b) UUPT, “Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai, agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan
kesatuan bangsa.” Dalam Pasal 62 ayat (1) ditegaskan, “Perguruan tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan Tridharma.” Ini diperjelas dalam Pasal 64 ayat (1) yang
berbunyi, “Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.” Dalam Penjelasan
Bagian Umum UUPT dinyatakan pula, “Perguruan tinggi sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya.”
Kini di PTN sesungguhnya tak ada lagi
demokrasi. Rektor dianggap rektornya Menristek Dikti. Semua (puluhan) pejabat
universitas dipilih sendiri oleh sang rektor. Lalu mereka dianggap pejabatnya
rektor. Semua dekan fakultas dipilih sendiri oleh rektor, lalu mereka
dianggap dekannya rektor. Puluhan pejabat fakultas dipilih sendiri oleh
dekan. Lalu mereka dianggap pejabatnya dekan. Kini demokrasi di PTN hanya
dipraktikkan di tingkat terbawah, yakni program studi /jurusan.
Perubahan revolusioner dalam sistem
pemerintahan (otonomi daerah) sejak 2001 berkat reformasi politik dan hukum
nasional pastilah hasil pemikiran dan inisiatif para ilmuwan di berbagai
perguruan tinggi (PT). Dengan kata lain, otak reformasi sejak 1998 pastilah
para ilmuwan, terutama dari PTN-PTN besar. Ironisnya, kini di kampus para
guru demokrasi itu tak lagi tampak demokrasi dalam pemilihan pemimpin tingkat
universitas dan fakultas.
Melalui media ini kita menuntut Presiden
dan DPR untuk segera memperbaiki UUPT. Dalam UUPT harus ada pasal-pasal yang
jelas, tegas, dan terinci tentang pengangkatan dan pemberhentian
rektor/ketua/direktur PTN. Kini sudah waktunya pemerintah pusat (Kemristek
Dikti) mengembalikan kedaulatan ‘rakyat’ kepada PTN. ‘Rakyat’ di PTN ialah
para dosen tetap dan tenaga kependidikan (tendik) alias pegawai tetap.
Biarkanlah mereka bebas penuh memilih pemimpin mereka sendiri, baik di
tingkat universitas maupun fakultas. Merekalah yang mengetahui persis sosok
(kompetensi, ideologi, karakter, riwayat, moral, dan sebagainya) calon
pemimpin mereka sendiri. Rektor wajib mengeluarkan surat pengangkatan dekan
yang meraih suara terbanyak di fakultas masing-masing. Menristek Dikti wajib
pula mengeluarkan surat pengangkatan rektor PTN yang meraih suara terbanyak
di kampus masing-masing.
Dalam UUPT semestinya juga dinyatakan
dengan tegas, syarat calon rektor PTN dan PTS tidak dikaitkan dengan ras,
suku bangsa, agama, dan parpol. Calon rektor seharusnya juga bukan anggota
dan aktivis parpol. Dengan demikian, rektor tidak menjadi ‘alat’ para aktivis
parpol yang sedang berkuasa di Kemenristek Dikti. Apa salahnya, misalnya,
Rektor Unpad atau UPI Bandung bukan orang Sunda, atau Rektor Undip dan Unair
bukan orang Jawa? Dahulu UGM pernah dipimpin Rektor asal Aceh (Prof Dr Teuku
Jakob) dan orang Sunda (Prof Dr Kusnadi Hardjasoemantri), Rektor ITB orang
Minangkabau (Pof Dr Iskandar Alisjahbana), Rektor IPB orang Batak (Prof Dr
Andi Hakim Nasution). Di PTS, apa salahnya, misalnya, Rektor Universitas
Islam Bandung dan Universitas Islam Nusantara Bandung dipimpin rektor yang
tak beragama Islam? Apa salahnya bila Universitas Katolik Parahyangan dan
Universitas Kristen Maranatha Bandung dipimpin oleh rektor yang tak beragama
Katolik/Kristen?
Semua PT seharusnya mulai sekarang menjadi
teladan dalam praktik demokrasi (Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan
UUD 1945). PT semestinya menjadi anutan bagi rakyat Indonesia dalam pemilihan
pemimpin di tingkat tertinggi hingga terendah. Memang di PT kita banyak nian
ahli demokrasi, tetapi kini demokrasi di kampus tinggal teori belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar