Minggu, 18 Juni 2017

Demokrasi di PTN Tinggal Teori

Demokrasi di PTN Tinggal Teori
S Sahala Tua Saragih ;   Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
                                               MEDIA INDONESIA, 16 Juni 2017




                                                           
MALANG nian nasib perguruan tinggi negeri (PTN) kita. Dahulu para ilmuwan PTN tidak hanya pintar mengajarkan demokrasi ke semua pihak di luar kampus, tetapi juga mengamalkannya di dalam kampus. Akan tetapi, sejak diberlakukannya Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh, Nomor 24/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan Pemerintah, demokrasi pun mati pelan-pelan di PTN. Dalam SK itu dinyatakan, dalam pemilihan rektor PTN Mendikbud memiliki hak suara sebesar 35%. Sebelum menteri menggunakan hak suaranya, senat universitas terlebih dahulu memilih para calon rektor.

Baru-baru ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menghebohkan dunia PTN pula. Dia mengatakan mekanisme pemilihan rektor PTN direncanakan berubah. Penentuan akhir calon rektor tidak saja oleh senat universitas dan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), tetapi melibatkan Presiden juga. Kebijakan baru ini didasari alasan bahwa rektor merupakan jabatan strategis. Jabatan rektor juga sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran mahasiswa, termasuk penanaman ideologi. Rencana ini dilatarbelakangi dan sebagai tindak lanjut laporan Kemenristek Dikti tentang adanya ideologi selain Pancasila yang masuk kampus.

Jangankan dipilih oleh Presiden, dengan memberi kekuasaan (suara) sebesar 35% saja kepada Menristek Dikti dalam pemilihan rektor terbukti telah membunuh demokrasi (otonomi kampus) di PTN. Tidak hanya itu, dalam pemilihan rektor tahun lalu di berbagai PTN, sejumlah calon rektor diduga menyuap oknum-oknum berkuasa besar di Kemenristek Dikti. Pada Oktober 2016, Kemenristek Dikti akan melibatkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses pemilihan rektor PTN. Itu akan ditempuh karena kecurangan dalam pemilihan rektor di beberapa PTN yang diduga melibatkan oknum-oknum di Kemenristek Dikti. ‘Mahar’-nya Rp1 miliar hingga Rp5 miliar. Ada calon-calon rektor yang menggunakan jalur partai politik (parpol) dan lembaga keagamaan.

Suap atau korupsi dalam pemilihan rektor PTN sebenarnya sudah dapat diperkirakan sejak dikeluarkannya SK Mendikbud Nomor 24/2010. Dalam SK itu ditegaskan, sebelum menteri menggunakan hak suaranya (35%), Senat PTN terlebih dahulu memilih para calon rektor. Misalkan dalam suatu pemilihan rektor di sebuah PTN si A berhasil meraih suara terbanyak, 35%, si B 20%, dan si C hanya 10%. Bila Mendikbud (kini Menristek Dikti) memilih si C, calon yang bersangkut­anlah yang menjadi rektor di PTN itu karena meraih 45% suara. Nah, agar sang menteri memberi suara­nya kepada salah seorang calon rektor, di sinilah terjadi percaloan yang dilakukan orang-orang yang mengaku sanggup memenga­ruhi pemilik 35% suara itu.

Demokrasi tinggal teori

Entah mengapa, dalam Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) sama sekali tak disinggung Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur di PTN. Padahal, menurut Pasal 6 ayat (b) UUPT, “Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai, agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.” Dalam Pasal 62 ayat (1) ditegaskan, “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.” Ini diperjelas dalam Pasal 64 ayat (1) yang berbunyi, “Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.” Dalam Penjelasan Bagian Umum UUPT dinyatakan pula, “Perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya.”

Kini di PTN sesungguhnya tak ada lagi demokrasi. Rektor dianggap rektornya Menristek Dikti. Semua (puluhan) pejabat universitas dipilih sendiri oleh sang rektor. Lalu mereka dianggap pejabatnya rektor. Semua dekan fakultas dipilih sendiri oleh rektor, lalu mereka dianggap dekannya rektor. Puluhan pejabat fakultas dipilih sendiri oleh dekan. Lalu mereka dianggap pejabatnya dekan. Kini demokrasi di PTN hanya dipraktikkan di tingkat terbawah, yakni program studi /jurusan.

Perubahan revolusioner dalam sistem pemerintahan (otonomi daerah) sejak 2001 berkat reformasi politik dan hukum nasional pastilah hasil pemikiran dan inisiatif para ilmuwan di berbagai perguruan tinggi (PT). Dengan kata lain, otak reformasi sejak 1998 pastilah para ilmuwan, terutama dari PTN-PTN besar. Ironisnya, kini di kampus para guru demokrasi itu tak lagi tampak demokrasi dalam pemilihan pemimpin tingkat universitas dan fakultas.

Melalui media ini kita menuntut Presiden dan DPR untuk segera memperbaiki UUPT. Dalam UUPT harus ada pasal-pasal yang jelas, tegas, dan terinci tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor/ketua/direktur PTN. Kini sudah waktunya pemerintah pusat (Kemristek Dikti) mengembalikan kedaulatan ‘rakyat’ kepada PTN. ‘Rakyat’ di PTN ialah para dosen tetap dan tenaga kependidikan (tendik) alias pegawai tetap. Biarkanlah mereka bebas penuh memilih pemimpin mereka sendiri, baik di tingkat universitas maupun fakultas. Merekalah yang mengetahui persis sosok (kompetensi, ideologi, karakter, riwayat, moral, dan sebagainya) calon pemimpin mereka sendiri. Rektor wajib mengeluarkan surat pengangkatan dekan yang meraih suara terbanyak di fakultas masing-masing. Menristek Dikti wajib pula mengeluarkan surat pengangkatan rektor PTN yang meraih suara terbanyak di kampus masing-masing.

Dalam UUPT semestinya juga di­nyatakan dengan tegas, syarat calon rektor PTN dan PTS tidak dikaitkan dengan ras, suku bangsa, agama, dan parpol. Calon rektor seharusnya juga bukan anggota dan aktivis parpol. Dengan demikian, rektor tidak menjadi ‘alat’ para aktivis parpol yang sedang berkuasa di Kemenristek Dikti. Apa salahnya, misalnya, Rektor Unpad atau UPI Bandung bukan orang Sunda, atau Rektor Undip dan Unair bukan orang Jawa? Dahulu UGM pernah dipimpin Rektor asal Aceh (Prof Dr Teuku Jakob) dan orang Sunda (Prof Dr Kusnadi Hardjasoemantri), Rektor ITB orang Minangkabau (Pof Dr Iskandar Alisjahbana), Rektor IPB orang Batak (Prof Dr Andi Hakim Nasution). Di PTS, apa salahnya, misalnya, Rektor Universitas Islam Bandung dan Universitas Islam Nusantara Bandung dipimpin rektor yang tak beragama Islam? Apa salahnya bila Universitas Katolik Parahyangan dan Universitas Kristen Maranatha Bandung dipimpin oleh rektor yang tak beragama Katolik/Kristen?

Semua PT seharusnya mulai sekarang menjadi teladan dalam praktik demokrasi (Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945). PT semestinya menjadi anutan bagi rakyat Indonesia dalam pemilihan pemimpin di tingkat tertinggi hingga terendah. Memang di PT kita banyak nian ahli demokrasi, tetapi kini demokrasi di kampus tinggal teori belaka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar