Deradikalisasi
dari Sekolah
Ari Kristianawati ; Guru SMAN 1 Sragen
|
KOMPAS, 17 Juni 2017
Program deradikalisasi mendapat kritik tajam dari berbagai
kalangan setelah aksi peledakan bom panci di Lapangan Pandawa, Cicendo,
Bandung, pada 27 Februari 2017.
Program deradikalisasi yang dikampanyekan secara intensif
justru tidak efektif mencegah berulangnya aksi teror yang dilakukan eks napi
terorisme.
Kegagalan program deradikalisasi disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, minimnya keterlibatan kelompok acuan dalam aktivitas
program. Kelompok acuan dari mulai komunitas moderat keagamaan, kelompok
pendidikan pro-toleransi, hingga organisasi sosial yang memiliki kepedulian
pada kemajemukan.
Kedua, lebih berorientasi pada penyadaran yang
individualistis. Program deradikalisasi hanya menyentuh individu-individu
eksponen pelaku terorisme.
Ketiga, deradikalisasi mengabaikan peran dan fungsi
lembaga pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Lembaga
pendidikan jarang dilibatkan dalam aktivitas deradikalisasi, padahal lembaga
pendidikan semacam sekolah, pesantren, dan lainnya strategis untuk memperkuat
jaringan anti-terorisme dalam kerangka pemahaman yang moderat dan humanis.
Lembaga pendidikan, khususnya sekolah, adalah ruang pembelajaran bagi generasi muda untuk
mengenal berbagai ilmu pengetahuan, ajaran, dan wawasan yang beragam. Namun,
sayangnya, banyak lembaga pendidikan yang justru memproduksi wacana kekerasan
dan radikalisme bagi anak didiknya. Bukti nyata adalah perkembangan paham
sektarianisme, anti-keberagaman di sekolah.
Paham yang menolak keberagaman dan toleransi hadir di
sekolah, disebarluaskan melalui proses kegiatan belajar-mengajar. Aktor yang
menanamkan semangat dan materi anti-toleransi maupun keberagaman justru
guru-guru yang lebih dulu terkontaminasi (teracuni) oleh radikalisme.
Implikasi sosiologis yang terjadi adalah lahirnya generasi
muda (anak didik) yang memiliki pandangan "radikal", dan mereka
merupakan "bibit" potensial untuk kelompok radikal, bahkan kelompok
teroris. Sekolah gagal dalam menjalankan peran mendidik generasi muda (siswa)
dengan materi pembelajaran yang humanis, pro-keadilan sosial, dan menjunjung
kesetaraan maupun penghormatan kepada koeksistensi kehidupan manusia/kelompok
sosial yang berbeda haluan ideologi dan perbedaan latar etnik, agama, dan
ras.
Penelitian Wahid Institute (2016) perihal indikator
toleransi dan kerukunan sosial keagamaan di komunitas muda menyebutkan, ada
kecenderungan meningkat 37 persen pandangan anak muda (termasuk siswa) yang
mendukung praktik radikalisme.
Dari 1.200 responden generasi muda yang di dalamnya juga
anak muda siswa sekolah menengah, 15 persen setuju praktik pelarangan ibadah
kelompok yang dianggap sesat dan minoritas, 12,5 persen setuju ideologi
Pancasila diganti ideologi agama. Lebih mengejutkan, 7,9 persen setuju dengan
tindakan kekerasan atas nama agama.
Fakta ironis
Menelisik riset lain dari Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP) yang dikutip Alamsyah M Dja'far (2016) menyuguhkan fakta
ironis: pandangan intoleransi dan Islamis semakin menguat di lingkungan guru
Pendidikan Agama Islam dan pelajar. Ini dibuktikan dengan dukungan mereka
terhadap tindakan pelaku perusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5
persen, siswa 41,1 persen); perusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan
yang dituding sesat (guru 22,7 persen, siswa 51,3 persen); perusakan tempat
hiburan malam (guru 28,1 persen, siswa 58,0 persen); atau pembelaan dengan
senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4 persen, siswa
43,3 persen).
Deradikalisasi dari sekolah harus diawali dengan tindakan
konkret, yakni menyosialisasikan paham keagamaan moderat kepada para siswa.
Para siswa harus mulai dikenalkan materi keagamaan yang humanis dan
menghormati kebinekaan. Jangan sampai siswa dan generasi muda justru
mengalami fase radikalisasi di dalam pendidikan formal yang dikenyamnya di
sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki tanggung
jawab untuk memonitor dan mengawasi kegiatan pembelajaran di sekolah, dan
lebih penting juga untuk mereedukasi komunitas guru yang pandangannya mulai
melenceng dari marwah konstitusional. Guru yang tidak mengemban tugas dan
fungsi sebagai pendidik profesional yang menjunjung tinggi prinsip toleransi
dan kebangsaan harus mendapatkan peringatan keras.
Karena dalam kenyataan banyak guru (pendidik) yang
mengajar dengan model doktrinasi yang anti-kesetaraan dan keberagaman.
Sekolah harus menjadi laboratorium persemaian materi edukasi yang menghormati
prinsip pluralitas, kemajemukan, dan berorientasi pemihakan nilai kemanusiaan
yang universal.
Pentingnya di sekolah diperkuat pendidikan budi pekerti
dan upaya mengembangkan materi ajar berkarakter kebangsaan dan kemajemukan.
Materi tersebut bisa diajarkan sebagai bagian muatan lokal kurikulum yang
memperhatikan aspek kebudayaan.
Muatan lokal kurikulum yang perlu didorong dijadikan mata
pelajaran pokok adalah seperti kebudayaan dan bahasa daerah serta antropologi
sosial. Materi pelajaran yang menjadikan anak didik (siswa) mengenal hakikat
kebudayaan dengan nilai humaniora yang sarat dengan pesan keadilan, keadaban,
dan tentu saja toleransi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar