Islam
dan Etika Bermedia (Sosial)
Muhammad Najib ; Dosen STEBANK Islam Mr.
Sjafruddin Prawiranegara Jakarta; Peneliti di Monash Institute Semarang
|
DETIKNEWS, 15 Juni 2017
Sudah sejak lama para ulama Nusantara
gelisah akan kondisi umatnya yang kian menjauh dari nilai-nilai agama
(Islam). Kegundahan dan keprihatinan itu salah satunya tercermin dari ahli
tafsir Indonesia, Quraish Shihab. Selain melalui dakwah bi lisan (ceramah),
perasaan tersebut juga dituangkan dalam bentuk tulisan.
Pertengahan tahun lalu, Quraih Shihab
meluncurkan sebuah buku berjudul Yang Hilang Dari Kita, Akhlak. Dalam
pengantarnya, ulama sepuh Nusantara itu menyampaikan bahwa latar belakang
penulisan bukunya bermula ketika heboh kasus yang secara bercanda diplesetkan
dengan istilah "papa minta saham".
Kasus itu sesungguhnya hanya satu dari
sekian banyaknya problematika akhlak di Indonesia. Lebih lanjut, Quraish
Shihab menegaskan bahwa moral yang diajarkan dan dipraktikkan oleh leluhur
bangsa, demikikan juga yang diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam
kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang, lanjutnya, padahal ia adalah
milik bangsa Indonesia yang paling berharga sekaligus sangat dihargai orang
lain.
Kritik yang dialamatkan pada seluruh bangsa
Indonesia itu kini benar-benar terasa menusuk, dan seharusnya menjadikan
penyadaran bahwa etika, akhlak, dan sejenisnya telah lama kita abaikan.
Ruang-ruang privat, bahkan publik sekalipun sungguh sudah dipenuhi oleh
hasrat buas, ujaran kebencian, mengumbar aurat, dan mematikan karakter orang
lain. Minus etika; itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan realitas
kekinian kita.
Semakin membuat jantung seakan mau copot
manakala mengamati perkembangan paling mutakhir. Betapa media sosial (medsos)
yang seharusnya dijadikan wahana untuk mempererat tali silaturahmi, berbagi
pengalaman dan berita yang mencerahkan serta menyejukkan, justru digunakan
secara "barbar"; menyebar berita bohong untuk melancarkan serangan
kepada pihak lain.
Fitnah yang dalam agama jelas dilarang
keras, di era keterbukaan informasi ini justru semakin marak, dan medsos
lagi-lagi dijadikan sebagai media untuk menyebarkannya. Tidak hanya fitnah,
medsos juga menjadi ajang ghibah, namimah (adu-domba) dan sejenisnya. Sekali
lagi, ini persoalan nasional yang berpotensi menimbulkan konflik politik,
keagamaan, hingga perpecahan nasional.
Tentu sebagai umat mayoritas, atas
persoalan yang melilit bangsa dan negara ini, Islam dan kaum muslim adalah yang
paling bertanggung jawab untuk terlibat aktif menemukan solusi hingga tuntas.
Terlebih Islam adalah agama yang sempurna, yang menyentuh seluruh aspek
kehidupan, termasuk cara atau adab bermedia.
Etika Bermedia Perspektif Islam
Bully melalui medsos, tuduhan anti ini dan
itu, serta komentar "nyinyir" adalah fenomena yang menghiasi medsos
kita. Dan semua itu tidak pantas. Lantas, bagaimana Islam menyikapi fenomena
bahwa etika bermedia sudah menjauh dari nilai-nilai dan ajaran Islam?
Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan
panduan secara tegas dari kalangan agamawan. Bertolak dan dalam bingkai
itulah, Muhammadiyah menginisiasi fikih informasi. Suatu hasil dari proses
istimbath menggunakan sumber hukum Islam untuk menyikapi dan merumuskan
bagaimana penggunaan teknologi dan informasi secara santun dan beradab (Suara
Muhammadiyah, ed. Th. ke-102, Januari 2017).
Nantinya, fikih informasi yang diinisiasi
Muhammadiyah itu akan diluncurkan dalam bentuk buku. Secara tegas,
sesungguhnya ajaran Islam terkait etika bermedia sudah ada. Setidaknya
terdapat beberapa etika yang dimaksud. Pertama, tabayyun (cek dan ricek).
Benar bahwa Islam tidak alergi terhadap
perkembangan teknologi. Dalam QS Al-Hujarat ayat 6 disebutkan panduan
bagaimana etika serta tata cara menyikapi sebuah berita yang kita terima.
Quraish Shihab menerangkan bahwa ada dua hal yang patut dijadikan perhatian
terkait ayat tersebut.
Pertama, pembawa berita; dan kedua, isi
berita. Bahwa pembawa berita yang perlu di-tabayyun dalam pemberitaannya
adalah orang fasiq. Yaitu, orang yang aktivitasnya diwarnai oleh pelanggaran
agama.
Sedangkan menyangkut isi berita,
penyelidikan kebenaran sebuah berita menjadi perhatian khusus dalam ayat
tersebut. Penyeleksian informasi dan budaya literasi adalah komponen yang
tidak bisa diabaikan. Jadi, tradisi mudah menge-share berita tanpa melakukan
penyelidikan kevalidan secara mendalam tidaklah dibenarkan dalam Islam
(Shihab, 2016:208-209).
Islam juga mengajarkan membuat opini yang
jujur, didasarkan atas bukti dan fakta, lalu diungkapkan dengan tulus. Atau,
dalam bahasa Quran "Seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
menjulang ke langit, pohon itu menjulang ke langit, pohon itu memberikan
buahnya setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya." (QS Ibrahim: 24-25).
Kedua, haram menebar fitnah, kebencian, dan
lainnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagamaan tentu tidak
bisa berpangku tangan melihat laku masyarakat dalam menggunakan medsos
sebagaimana diungkapkan di atas.
Bertolak dari fenomena penyalahgunaan
medsos itulah, MUI merasa tergugah sehingga mengeluarkan fatwa, yakni Fatwa
MUI No 24 Tahun 2017 mengenai Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media
Sosial. Dalam fatwa itu, ada lima poin larangan menggunakan medsos:
(1) melakukan ghibah, fitnah, namimah
(adu-domba), dan menyebarkan permusuhan. (2) melakukan bullying, ujaran
kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan. (3)
menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti
info tentang kematian orang yang masih hidup. (4) menyebarkan materi
pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syari. (6)
menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau
waktunya.
Ketiga, menjamin dan mengatur kebebasan
ekspresi. Sumadiria (2016:xiv) dalam bukunya Hukum dan Etika Media Massa:
Panduan Pers, Penyiaran dan Media Siber mengemukakan bahwa Indonesia telah
menikmati reformasi serta demokratisasi pers dan penyiaran sejak 1998.
Secara yuridis, dalam kurun waktu 1998-2008
saja, Indonesia telah memiliki lima undang-undang organik yang berkaitan
langsung dengan masalah kebebasan berbicara, kemerdekaan menyatakan pendapat,
kemerdekaan pers dan penyiaran serta kebebasan berkomunikasi melalui media
dalam jaringan (online).
Bahkan perusahaan pers (media online) tidak
perlu mengantongi izin. Silakan beritakan hal apa pun dan tentang siapa pun.
Singkat kata, tren penggunaan media sosial adalah wujud dari kebebasan
berekspresi pascareformasi. Tidak hanya negara yang menjamin kebebasan berekspresi,
Islam pun demikian.
QS Ali Imran ayat 104 meminta agar setiap
umat (manusia) membela apa yang baik benar. Namun, seperti disinggung
Ziauddin Sardar dalam bukunya Ngaji Qur'an di Zaman Edan (2011), kebebasan
berpendapat sering kali disalahgunakan untuk membuat fitnah, opini palsu, dan
menebar kebencian yang sering diutarakan melalui media sosial.
Dalam Islam, laku culas semacam itu
dilarang. Oleh sebab itu, Islam mengatur kebebasan berekspresi. Pengendalian
moral adalah salah satu aturannya. Bahwa kaum beriman diminta untuk tidak
"memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas" (QS An-Nur: 4). Dan, juga
diminta untuk tidak mengolok-olok yang lain, meskipun orang itu berbeda pendapat
(QS Al-Hujarat: 11).
Jadi, kebebasan berekspresi yang digunakan
untuk mengumbar kebencian dan permusuhan dilarang dalam Islam. Ada pembatasan
alias pengendalian hukum dan moral terhadap kebebasan tersebut. Dengan
demikian jelas sudah bahwa etika bermedia dalam Islam merumuskan pentingnya
tabayyun sebelum membenarkan dan menyebarkan informasi. Menyebarkan kebencian
dan membuat berita palsu juga dilarang keras oleh Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar