Tragedi
Kaum Tani
Mohamad Sobary ; Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 17 Juni 2017
Kehidupan petani yang teraniaya, terancam, dan penuh
teror, digambarkan dengan baik di dalam sebuah film koboi Savate. Di negara
bagian Texas, ketika masih berlaku hukum rimba, muncul pertarungan dua
kekuatan tak seimbang: pebisnis besar vs p tani.
Sang pebisnis digambarkan sangat kaya, ganas, dan serakah,
didukung kekuatan lengkap: centeng yang setia, oknum tentara, ahli hukum, dan
pengadilan yang seolah sudah menjadi miliknya. Petani, pemilik tanah, di
teror siang malam agar tanah milik mereka dijual dengan harga semurah-murahnya
kepada sang pebisnis tadi. Dialah yang menentukan secara sepihak harga tanah.
Model tawarmenawar tidak ada . Di sini satu satunya hukum yang berlaku hanya
bedil.
Maka siapa kuat— punya bedil, punya duit, punya centeng
dan dukungan oknum tentara dan hukum tadi—niscaya menang. Rencana busuk agar
penindasan itu berlangsung dengan gemilang disusun. Di sana seolah bakal
dibangun sebuah kota dan jalan kereta api. Jadi otomatis orang mudah merasa
terpaksa untuk melepaskan aset mereka. Harga murah semurah-murahnya merupakan
pertimbangan yang sangat mem beratkan. T
api sang pebinsnis dan segenap kaki tangan nya selalu
mengatakan di depan umum bahwa mereka hanya menolong para petani itu. Tak
semua petani merasa gentar. Ada anak muda, Cain, yang bertahan dengan gigih.
Dia tak sudi menjual tanahnya. Cain pun memengaruhi para petani lain untuk
tetap bertahan. Ini merupakan duri dalam wilayah yang sudah ada di dalam
genggaman sang pebisnis. Cain dimusuhi secara terangterangan. Pada suatu
malam gudang dan kendang kam bingnya dibakar orang yang tak dikenal, dalam
gelap.
Orang kampung se tempat gempar. Cain menemukan bukti
meyakinkan si apa yang membakarnya. Dia datangi centeng, j ago tembak, milik
san g pebisnis. Pertengkaran terjadi dan r ingkas cerita mereka siap adu
cepat menekan pelatuk senjata. Cain hanya petani, bukan jago tembak
sebagaimana lawannya. Orang yang gagah berani itu tertembak . Dia gugur
membela hak milik yang wajib dibela. Adakah kematian Cain menjadi lambang
kekalahan petani? Ternyata tidak. Cain mati, tapi semangatnya tetap hidup di
kalangan petani yang menjadi lebih berani. Seorang jagoan jalanan, kabarnya
tentara Prancis yang sedang ber tualang , mampir di desa itu.
Dialah, yang atas nama Cain, membela seluruh petani, meng
gasak si pebisnis dan segenap orangnya. Jagoan ini juga membongkar rahasia
busuk mengenai kota khayalan dan jalan kereta api yang sebenarnya tidak ada.
Bahkan dalam rencana pun tidak ada. Di balik asap mesiu yang masih mengepul,
tergeletak bangkai para penindas. Dan tak jauh dari sana terhampar ladang
para petani dan harapan masa depan mereka.
Di sini kemudian muncul dalil kehidupan sosial yang jelas
dan tegas: hanya orang berani yang punya hak untuk membangun harapan. Para
penakut sudah tergilas dan lenyap. Kita punya sejarah, yaitu sejarah
kehidupan petani, yang penuh dengan tragedi. Dalam Pemberontakan Petani 1888,
karya monumental sejarawan Sartono Kartodirdjo, digambar kan munculnya
gerakan Nativisme, gerakan orangorang lokal, petani setempat, melawan
kekuatan asing , yaitu penjajah Beland a.
Petani berani melawan karena di belakang mereka ada
barisan kiai-kiai tarekat terkemuka yang mendorong mereka dengan ideolog i
keagamaan untuk melawan. Wujud perlawanan begitu kontras: kaum tani setempat,
pribumi yang beragama Islam, melawan kaum kafir, golongan kulit putih yang
menja jah mereka . Gerakan Nativisme ini menggelembungkan semangat lokal
sambil mendambakan lahirnya kembali Kesultanan Banten untuk meng usir
penjajah asing. Kata nasionalisme belum di - sebut dengan jelas, tapi kaum
“native” dengan gerakannya me lawan kekuatan asing.
Terlihat polarisasi kesadaran mengenai apa “nasional” vs
yang “g lobal”. Dalam se jarah tersebut, pemberontakan petani terasa begitu
tragis. Mereka ditumpas dalam waktu cepat dan mud ah. Kemudian petani hanya
punya satu pilihan: tunduk, mau tak mau. Mereka sudah dikalahkan. Kekuatan
organisasi, perencana an, senjata, d an tentara unggul atas jimat dan segenap
jampi-jampi yang semula menjadi jaminan bahwa mereka tak bakal bisa ditembus
peluru.
Tapi mereka ter tembak. Petani menelan tragedi kehidupan
yang lebih dari sekadar getir. Adakah kekalahan mereka membuat petani hancur
luluh? K elihatannya tid ak. Kekalahan mereka menjadi kenangan. Selebihnya
kegetiran di Banten itu bahkan menjala kaum tani dalam generasi sesudahnya.
Juga petani di tempat lain. Kita bisa mengambil contoh dari banyak peristiwa
konflik agraria di Tanah Air. Mungkin dalam peristiwa itu petani pun kalah.
Tapi petani tampil sebagai kekuatan revolusioner yang sangat berani.
Musuh mereka intinya masih sama: kaum pengusaha yang
didukung pemerintah setempat, peme rin tah yang seharusnya melindungi petani.
Ada petani yang tersingkir sejak semula, ada yang dikalahkan sesudah ber tem
pur. Meskipun demiki an me reka tak merasa kalah. Tragedi ke kalahan bahkan
diolah men jadi modal baru perlawanan yang lebih strategis, lebih terencana,
dan lebih ideologis. Petani tembakau Temang - gung mungkin bisa dijadikan
contoh.
Di dalam buku Perlawanan Politik dan Poetik Petani
Tembakau Temanggung yang saya tulis , tampak gambaran si k ap ideolog is
petani. Mereka melawan kebi jakan pemerintah SBY yang sangat pro-kepentingan
asing. Unsur kepen ting an asing ini menambah energi kemarahan mereka. Di
sini pun petani tembakau diposisikan menjadi pihak yang sulit . Dari “pusat”
dikumandangkan perlunya petani ber alih tanaman. Mereka diberi pilihan,
disebut pilihan yang baik, untuk berhenti menanam tembakau dan beralih ke
tanam an kopi.
Guber nur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo, mengeluarkan
per aturan tanam paksa gaya yang lain: tanaman kopi tadi. Mereka yang sudah
beralih ke tanaman kopi akan diberi insentif. Ada iming-iming menarik. Tapi
tak seorang pun petani yang tertarik . Mereka melawan “pusat”, SBY, sekaligus
daerah, Bibit Waluyo. Gubernur Bibit Waluyo bahkan diganti nama oleh petani
dengan se - mangat mengejek kaum atasan yang beg itu telak : Bibit Suloyo.
Komunikasi pemimpin dengan pihak yang dipimpin tak
terjalin. Petani yang diposisi kan ke dalam kesulitan tak mau menurut. Bagi
mereka ini bu kan lagi zaman penjajahan. Juga bukan zaman tanam paksa. Inilah
contoh komu nikasi yang gagal total sampai kedua pejabat itu kembali menjadi
rakyat bi asa seperti petani. Kita tak ingin mengulas pemimpin macam apa yang
di - hadapi petani itu. Tapi kita ingin melihat lebih dekat pihak petani.
Mereka petani terpelajar. Tokoh-tokohnya sarjana.
Semua melek teknologi informasi. Mereka mengerti arti
komunikasi politik lewat media dan terampil pula mereka menggunakan media.
Selebihnya mereka menger ti cara-cara melakukan lobi politi k. Mereka pun
memiliki organisasi. Dan kurang lebih mereka pandai menyusun perencanaan
untuk melakukan perlawanan. Mereka paham akan strategi mencari pengaruh dan
mengolah infor masi.
Jangan lupa, mereka generasi muda yang lebih blak-blakan,
lebih terbuka, dan tak mengenal kata ewuh pekewuh, rasa eng gan, atau kurang
enak. K alau diperlukan sikap main serobot, mereka bisa menyerobot. Mereka
petani zaman ini, petani yang sadar apa artinya yang nasional dan yang
global. Pemerintah yang terlalu prokekuatan global dilawan.
Di sini petanilah dan bukan pejabat yang lebih siap
berbicara mengenai apa yang kurang lebih bisa disebut nasionalisme. Mereka
tak sudi diposisikan sebagai tumbal untuk menjun jung tinggi apa yang asing
dan global. Tragedi petani di masa lampau tak boleh ter ulang dalam kehidupan
petani masa kini. Dunia pertanian dan petani sudah bukan yang dulu lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar