Pancasila
dan Toleransi Kebangsaan
Viktor Bungtilu Laiskodat
; Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Juni 2017
MOMENTUM perayaan hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 menarik
dan bermakna khusus. Selain Pekan Pancasila dan maraknya slogan ‘Saya
Indonesia, saya Pancasila’ atau ‘We the Nation’ sebagai ekspresi
nasionalisme, pada perayaan tahun ini Presiden Jokowi meresmikan Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Kehadiran UKP-PIP patut
diapresiasi karena membawa misi fundamental untuk ‘mengikatkuatkan’ kembali
simpul-simpul negara bangsa ini dalam bingkai kebinekaannya. Mengapa
demikian? Perlu diakui, bangsa ini tengah dibayangi kegelisahan bahwa Pancasila
mengalami tantangan yang kian hebat. Pancasila sungguh terancam ketika
politik nasional diwarnai kampanye politik identitas.
Toleransi kebangsaan
Di tengah kegelisahan bangsa saat ini, seyogianya semangat
toleransi kebangsaan diaktualkan kembali. Toleransi tak selalu berarti
kompromi atau sikap setuju, tetapi upaya berkonfrontasi terhadap pendapat
orang lain melalui cara yang tepat. Konfrontasi dalam toleransi bukanlah
‘sikap tidak suka’, melainkan menyuarakan ‘sikap tidak setuju’ secara elegan
dan bermartabat. Sikap tidak suka kerap dilatari argumentasi primordial dan
rasial. Sikap ini cenderung berbuah prasangka dan asumsi negatif terhadap
pihak lain dengan keunikannya. Barangkali, faktor inilah yang berulang kali
menjerumuskan masyarakat kita ke dalam konflik sosial dan intoleransi.
Toleransi kebangsaan dalam Pancasila mengandung
elemen-elemen fundamental yang perlu diaktualkan sebagai ‘mercusuar’
kehidupan berbangsa. Pertama, toleransi ketuhanan yang berkebudayaan. Bangsa
ini, menurut Yudi Latif, hidup berlandaskan ‘moralitas ketuhanan’. Pancasila
tak memungkinkan RI sebagai negara agama dengan satu agama sebagai tolok
ukur. Sebaliknya, Pancasila merangkul semua agama dan aliran kepercayaan di
Nusantara dalam pigura kebinekaan.
Kedua, toleransi kemanusiaan. Bung Karno (1960) mengatakan
perikemanusiaan ialah hasil pertumbuhan rohani dan kebudayaan. Toleransi
kemanusiaan menegaskan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luhur,
berkebudayaan, dan saling menghormati. Kita beradab karena berasal dari bangsa
beradab. Toleransi kemanusiaan berarti menghormati kemanusiaan yang menembus
batas-batas lokal, nasional, dan global dalam persaudaraan dan perdamaian.
Ketiga, toleransi kebinekaan. Perspektif ini menegaskan
keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman (Bhinneka Tunggal
Ika). Prinsip kebinekaan mewajibkan kita untuk menanggalkan kepentingan
pribadi/golongan dan memosisikan urusan bangsa sebagai prioritas tertinggi.
Toleransi kebinekaan menghasilkan soliditas kokoh untuk pembangunan bangsa, selaras
pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, “Kita mendirikan suatu negara, negara
kebangsaan Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua!”
Kita wajib menghormati setiap warga negara Indonesia, tak pandang agama,
etnik, ataupun golongannya.
Keempat, toleransi demokratis. Indonesia sebagai negara
dengan realitas kebhinekaan meniscayakan demokrasi sebagai prosedur untuk
menjembatani segala perbedaan. Demokrasi kita, dalam bahasa Bung Karno, ialah
demokrasi yang membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika kita tidak bisa
berpikir demikian itu, kita nanti tidak akan dapat menyelenggarakan apa yang
menjadi amanat penderitaan rakyat.
Toleransi demokratis memiliki ‘kebajikan publik’, baik di
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sebagai representasi kedaulatan
rakyat. Kebajikan publik mewujud dalam kearifan menerima dan menghormati
perbedaan pendapat. Menjunjung tinggi semangat kebinekaan dan menyingkirkan
kepentingan pribadi/kelompok. Toleransi demokratis membebaskan setiap orang
dari nafsu untuk menonjolkan perbedaan, fanatisme, dan radikalisme. Kelima,
toleransi keadilan sosial. Pancasila mengajari kita tentang pentingnya hidup
adil dan menghormati kekayaan sumber daya negara untuk kesejahteraan bersama.
Toleransi dari persepektif ini berbicara tentang etika sekaligus menyerang
para penyelenggara negara yang korup dan politisi yang gemar memainkan
politik transaksional.
Rasa kebatinan
Apa yang sesungguhnya mempersatukan kita sebagai bangsa ke
dalam toleransi kebangsaan? Tentu bukan suku atau etnik, budaya, warna kulit,
apalagi agama. Elemen fundamental satu-satunya hanyalah ‘rasa kebatinan’
sebagai bangsa. Rasa kebatinan ialah disposisi jiwa sebagai bangsa untuk
merasakan dan menggelorakan semangat ‘satu nasib, satu perjuangan, satu
haluan, dan satu cita-cita menuju Indonesia yang adil dan makmur’.
Rasa kebatinan bisa disepadankan dengan ide Ernest Renan
(1992) tentang bangsa sebagai ‘jiwa’, dorongan spiritual, dan rasa ‘solider’
serta ‘kesediaan’ untuk berjuang dan berkorban bagi kepentingan yang lebih
besar, tak sekadar untuk diri atau kelompok sendiri. Itulah spirit yang
meneguhkan sikap dan komitmen semua suku, agama, ras, dan budaya di Nusantara
untuk ‘sepakat’ berjalan, berjuang, dan hidup bersama sebagai sebuah bangsa.
Dalam bingkai perayaan hari lahir Pancasila, kita tegaskan kembali
kesepakatan dan komitmen bahwa toleransi kebangsaan tidak mengingkari
keunikan dan dimensi-dimensi spesifik setiap suku, agama, ras, dan
antargolongan, tetapi sebaliknya mengayomi keanekaan itu dalam satu platform,
yakni bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar