Cacat
Moral Insan Terpelajar
Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual
FSR ISI Yogyakarta
|
KOMPAS, 17 Juni 2017
Polsek Kasihan, Bantul, Yogyakarta-seperti diwartakan oleh
media massa-belum lama ini menangkap sarjana farmasi lulusan universitas
negeri terkenal di Yogyakarta berinisial RZ.
RZ digelandang polisi ketika melakukan kejahatan intelektual sebagai
pelaku perjokian. RZ ditangkap saat menjadi joki ujian masuk mahasiswa baru
di lingkungan fakultas kedokteran perguruan tinggi swasta (PTS) terkenal di
Yogyakarta.
Sementara itu, satu bulan lalu, Komisi Pemberantasan
Korupsi meringkus empat tersangka dugaan suap terkait pemberian opini wajar
tanpa pengecualian (WTP) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (PDTT). Keempat tersangka
adalah pejabat publik berpangkat tinggi. Mereka insan terpelajar
berpendidikan sarjana. Bahkan salah satunya menyandang gelar akademik doktor.
Kedua contoh tindak kejahatan tersebut adalah contoh kecil
kejahatan kerah putih yang secara sengaja dilakukan insan terpelajar. Mereka
adalah orang yang beruntung berhasil mengenyam pendidikan tinggi dari
perguruan tinggi ternama dan terakreditasi memuaskan. Mereka bergelar
sarjana, bahkan salah satu tersangka berijazah doktor.
Jika ditilik dari capaian gelar akademis yang digenggam,
mereka adalah kelompok insan terpelajar. Sayangnya, pada konteks ini, mereka
terjerumus menjadi manusia cacat moral. Kecacatan tersebut terpaksa melekat
erat dalam napas kehidupan mereka sehari-hari karena terperangkap jebakan
kuasa uang. Mereka tergiring menjadi kelompok penyembah ideologi hedonisme
dan materialisme.
Secara de jure,
mereka memang insan terpelajar pemilik sah ijazah sarjana, master dan doktor.
Namun, secara de facto mereka mendekonstruksi dirinya menjadi orang tidak
terpelajar. Orang tidak berpendidikan. Orang yang mengingkari kepemilikan
talenta intelektual karunia Tuhan. Orang yang dengan sengaja mempermalukan
dirinya. Orang yang sengaja membanting harga dirinya agar tercebur ke dalam
jurang kenistaan: insan terpelajar, tetapi cacat moral!
Berdasarkan realitas sosial, kenyataan mental dan
spiritual semacam itu, penyandang
cacat moral, sah dinilai sebagai penyandang cacat yang sesungguhnya. Kecacatan
tersebut secara kasatmata muncul dari aspek batiniah, kemudian merembet pada perilaku lahiriah. Selanjutnya, energi
negatif tersebut menyebar bagaikan virus flu di musim hujan. Menyerbu ke
seluruh nadi kehidupan sang penyandang cacat moral tersebut.
Amsal cacat moral lainnya tervisualkan atas beringasnya
insan terpelajar. Mereka menjadi kesurupan saat menanggapi dan menyikapi
realitas sosial yang tidak sebangun dengan kehendak rasa serta pikirannya.
Mereka melakukan perlawanan sosial secara membabi buta. Biasanya diwujudkan
dalam sebentuk aktivitas kekerasan fisik dan dioplos dengan kekerasan verbal
sekaligus kekerasan visual.
Paparan tersebut
menguatkan sinyalemen yang mengasumsikan harkat dan martabat kemanusiaan
insan terpelajar hilang tanpa menyisakan sedikit pun ingatan positif sebagai
sosok insan terpelajar. Hal itu dilakukan demi memuaskan egoisme pribadi dan
kelompoknya. Simpul pangkalnya sebenarnya berujung dari terjadinya
miskomunikasi akibat buntunya proses berkomunikasi secara egaliter di antara para pihak.
Hilangnya kepekaan
"ajar"
Rusaknya mental spiritual yang menggerogoti tubuh insan
terpelajar ditengarai karena mereka kurang memiliki kepekaan
"ajar". Dalam konteks pendidikan formal, seharusnya kepekaan ajar
dibagikan sebagai tuntunan untuk menyelaraskan akal dan nalar perasaan insan
terpelajar. Sayangnya, kepekaan ajar
sengaja diabaikan secara sistematis oleh pemerintah.
Pengabaian tersebut tecermin dari kurikulum dan pola
pengajaran yang diterapkan selama ini. Pengajaran diperintahkan untuk
berjalan sendiri. Keberadaannya sengaja diceraikan dari aspek pendidikan.
Realitas sosialnya, sekolah dan kampus sebagai institusi pendidikan formal
diperintahkan sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Perintah
selanjutnya, tugas utama guru dan dosen sebagai pengajar sekaligus pendidik
secara sistematis dipreteli. Sekarang mereka justru di-casting menjadi
administrator pendidikan yang mengurusi
tetek bengek administrasi pendidikan dalam takaran kuantitatif yang
terstruktur dan capaiannya pun harus juga terukur.
Dampaknya, sekarang
lembaga pendidikan diposisikan sebagai komoditas industri pendidikan. Format
semacam itu menyebabkan peserta didik harus berkenan menerima proses
indoktrinasi penyeragaman pola pikir serta penyetaraan perilaku dan selera
tata rasa. Hasilnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi dalam konteks
industri pendidikan bersalin rupa. Ia jadi sarana komersial berburu jabatan,
pangkat, derajat, dan kasta modern bergengsi tinggi.
Atas dasar hal itu,
kini kehadiran lembaga pendidikan tinggi tidak lagi dipandang sebagai lembaga
sosial. Ia bukan lagi sebuah lembaga sosial yang disematkan peran sosial
untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia kini harus rela
menanggalkan peran sosial sebagai sebuah lembaga yang dikalungi tugas mulia
untuk menyemai rangkaian ilmu
pengetahuan dalam konteks nilai- nilai kemanusiaan yang berbudaya, adil, dan
bermartabat.
Kondisi semacam ini
harus segera dipangkas dengan semangat revolusi mental. Ia diganti dengan
pola pendidikan dan pengajaran yang di dalamnya mensyaratkan proses
belajar-mengajar untuk memerdekakan akal serta nalar perasaan peserta didik
secara bertanggung jawab dan bermartabat. Jika tidak, maka fenomena cacat moral insan terpelajar
secara kuantitas dikhawatirkan meningkat tajam dari tahun ke tahun.
Masalahnya
kemudian, relakah kita ketika melihat hal itu terus-menerus terjadi di depan
pelupuk mata? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar