Threshold
Pilpres: Bisa Ya, Bisa Tidak
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 17 Juni 2017
Apakah Pilpres 2019 itu harus serempak? Jawabannya, ya,
harus. Apa dasarnya? Dasarnya putusan MK No 14/PUU-XI/ 2013. Apakah pengajuan
pasangan calon presiden/wapres oleh parpol atau pasangan parpol harus melalui
threshold atau ambang batas minimal
perolehan kursi di DPR? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak.
Pertanyaan dan jawaban itu bermunculan kembali setelah
proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu di DPR terancam
deadlockmenjelang akhir Ramadan 1438 H ini. Pemerintah dan tiga parpol
dikabarkan bersikukuh untuk mematok threshold 20% kursi di DPR atau 25% suara
pemilih yang sah berdasar hasil Pemilu 2014. Di sisi lain parpol-parpol lain
berdiri tegak pada sikap tidak setuju ada threshold.
Kalau masing-masing berdiri pada posisi itu, alternatifnya
voting (pemungutan suara). Namun jika usul voting tidak disetujui, sidang DPR
dapat benar-benar deadlock, macet, tak bisa maju maupun mundur. Tersebar
berita, jika sidang DPR deadlock, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) untuk memberlakukan UU Pemilu sebelumnya.
Saya yang sudah banyak berbicara tentang hal tersebut
sejak awal 2017 melalui tulisan di media massa, melalui media sosial,
wawancara di televisi, bahkan melalui seminar di Fraksi Golkar DPR-RI (18
Januari 2017) sekarang diserbu lagi oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Jawaban saya pada intinya tetap seperti yang dulu-dulu: Pilpres dan Pileg
2019 harus serentak, soal threshold bisa ya dan bisa tidak. Adapun dasarnya
adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 14/PUU-XI/2013.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut banyak dialamatkan kepada
saya, mungkin, karena pada waktu putusan MK tersebut perkaranya diperiksa dan
diputuskan oleh rapat permusyawaratan hakim MK, sayalah yang menjadi ketua MK
meskipun pengucapannya sebagai vonis dilakukan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Ketika saya mengajukan pendapat ini, sekarang, tentu bersifat legal opinion
biasa dari orang biasa, bukan lagi sebagai pejabat lembaga penegak hukum.
Putusan MK No 14/PUU-XI/ 2013 tersebut, dalam kaitan
dengan threshold, bisa dilihat secara berbeda dari sudut formal dan
substansial. Secara formal dan gramatikal putusan MK tersebut hanya
menyatakan bahwa Pileg dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan secara serentak di
hari yang sama, tidak menyebutkan apakah harus menggunakan threshold atau
tidak.
Dari sudut ini bisa ditafsirkan bahwa masalah threshold
merupakan opened legal policy,
pilihan politik hokum terbuka, artinya bisa ditentukan oleh lembaga
legislatif sendiri. Untuk menentukan apakah threshold itu akan diberlakukan
atau tidak, lembaga legislatif bisa menggunakan ketentuan Pasal 6 ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan ”syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil
presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang” dan bisa sekaligus
menggunakan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi ”ketentuan
lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”.
Nah, dalam hak mengatur ini lembaga legislatif ”merasa”
bisa menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai syarat pemenuhan threshold dengan
alasan hasil Pemilu 2017 bisa dijadikan ukuran minimal bahwa parpolparpol
yang boleh mengajukan pasangan calon sudah terbukti punya dukungan dari
rakyat melalui pemilu (sebelumnya).
Adapun jika bertolak dari sudut substansial, pilpres tidak
bisa dibanderol dengan threshold tertentu karena jika pileg dan pilpres
dilaksanakan serentak tentu belum ada hasil pileg yang bisa dijadikan
presidential threshold. Pada saat pengajuan calon pasangan presiden/wapres,
menurut asumsi ini, belum ada satu parpol pun yang sudah punya kursi hasil
pemilu di DPR sehingga tidak mungkin ada threshold.
Maka itu penganut pandangan ini mengatakan, semua parpol
yang menjadi peserta pemilu otomatis boleh mengajukan pasangan
capres/cawapres meskipun tidak punya kursi di DPR. Alasannya adalah Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan ”pasangan calon presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan
pemilu”.
Dua pandangan tersebut sama-sama memiliki landasan
sehingga jika tidak ada yang mengalah atau tidak mau berkompromi memang bukan
tidak mungkin pembahasan dan pengesahan RUU Penyelenggaraan Pemilu di DPR
menjadi deadlock. Mengapa MK di dalam putusannya tidak menentukan harus atau
tidak harus ada threshold? Jawabannya tentu karena selain hal itu tidak masuk
dalam permohonan pengujian, yang lebih penting karena MK tidak boleh mengatur
substansi UU.
MK adalah negative legislator yang hanya boleh membatalkan
UU, bukan ikut membuat isi UU. Sebenarnya akan sangat baik kalau lembaga
legislatif meniadakan threshold karena pilihan ini lebih aman dari pengajuan
judicial review(pengujian yudisial) ke MK. Bisa juga ditempuh jalan kompromi
dengan menentukan parpol-parpol yang sudah punya kursi di DPR berdasar hasil
Pemilu 2014 langsung bisa mengajukan pasangan calon dengan alasan
parpol-parpol tersebut sudah jelas mendapat dukungan rakyat melalui
parliamentary threshold (3,5%) berdasar hasil Pileg 2014.
Tapi pilihan ini pun masih mungkin diujimaterikan ke MK
meskipun, mungkin, argumennya bisa lebih mudah dibangun. Sejauh mungkin kita
harus menghindari dikeluarkannya perppu, apalagi dalam konteks pemilu ini.
Adalah kurang masuk akal memberlakukan UU tentang Pemilu sebelumnya karena
menurut UU yang dulu sistem pengajuan calonnya terpisah antara yang untuk
pileg dan untuk pilpres.
Membuat perppu dengan hanya mengatur threshold pilpres
akan sangat sulit membayangkan, bagaimana pengaturan konstruksi hukumnya jika
dikaitkan dengan keseluruhan isi UU yang baru. Belum lagi kalau nanti perppu
itu ditolak oleh DPR, apalagi kalau sebelum dibahas oleh DPR perppu itu
diujimaterikan ke MK.
Semua itu akan menimbulkan kegaduhan dan, lebih dari itu,
bisa merusak kalender konstitusional kita tentang penggantian atau penetapan
kembali pejabat negara kita yang tak boleh sama sekali melewati periode yang
sudah ditentukan. Kalau ini terjadi, kegaduhannya tak terbayangkan. Daripada
memutuskan persoalan ini dengan perppu, rasanya jika tidak bisa berkompromi,
ya, voting saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar