Persekusi
dan Ancaman Kehancuran Negara Hukum
Pangki T Hidayat ; Penulis Lepas dan
Blogger;
Alumnus Universitas
Negeri Yogyakarta
|
DETIKNEWS, 14 Juni 2017
Kasus pemburuan sewenang-wenang terhadap
seseorang atau sejumlah orang untuk disakiti, dipersusah atau ditumpas, atau
yang dikenal dengan istilah persekusi, belakangan ini cukup menimbulkan
kekhawatiran bagi masyarakat. Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum itu kini sedang mengalami tren peningkatan dari segi
kuantitas jumlah kasus.
Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), di
sepanjang tahun ini saja telah terjadi sekitar 47 kasus persekusi dengan jumlah
korban mencapai 59 orang. Beberapa di antaranya yang cukup menyita perhatian
publik ialah kasus persekusi yang terjadi pada dokter Fiera Lovita (Solok,
Sumatera Barat), Putra Mario Alvian Alexander (Jakarta) dan Raka Fadil
Sulyanto (Malang).
Ironisnya, kasus persekusi yang terjadi di
negara ini mayoritas hanya berawal dari hal yang sepele, yakni sebuah
pendapat yang diutarakan melalui media sosial (medsos) saja. Kasus persekusi
yang dialami dokter Fiera Lovita misalnya, hanya bermula dari pendapatnya
yang diutarakan di Facebook mengenai oknum pimpinan sebuah organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang dianggapnya tidak tertib terkait aturan hukum di
negara ini.
Setali tiga uang kasus persekusi yang
dialami oleh Putra Mario Alvian Alexander, hanya disebabkan karena
pendapatnya yang (dituangkan di Facebook) dianggap menghina salah satu
pemimpin ormas.
Dijamin
Konstitusi
Mafhum disadari, mengeluarkan pendapat baik
secara lisan maupun tulisan merupakan hak setiap warga negara yang telah
dijamin oleh konstitusi. Di UUD 45 misalnya, setidaknya terdapat dua pasal
yang secara tegas menjamin kebebasan berpendapat, yakni Pasal 28E ayat (3)
dan Pasal 28I ayat (1). Oleh karenanya, penghormatan terhadap setiap orang
yang mengeluarkan pendapat dan konten pendapat yang diutarakannya adalah
suatu hal yang mutlak harus dilindungi.
Bila ada pendapat yang dianggap "tidak
tepat" atau berseberangan, mestinya harus ditempuh pula upaya-upaya yang
terhormat (baca: tidak melanggar hukum). Semisal, dengan terlebih dahulu
mengajukan somasi atas pendapat yang diutarakan. Jika belum menemukan titik
temu, maka bisa dilakukan mediasi atau bahkan hingga pelaporan kepada penegak
hukum (kepolisian).
Dalam konteks kasus persekusi, baik
penghormatan terhadap pihak yang mengeluarkan pendapat, konten pendapat yang
diutarakan hingga upaya-upaya yang ditempuh untuk "meluruskan"
pendapat yang dianggap berseberangan sudah pasti diabaikan oleh para pelaku
persekusi.
Dalam persekusi yang terjadi hanyalah
pelbagai upaya intimidasi bahkan hingga tindak kekerasan yang bertujuan agar
target persekusi mau mengikuti kehendak para pelaku. Misalnya, mengoreksi
pendapat yang sudah dikeluarkan atau meminta maaf kepada publik terkait
pendapat tersebut.
Yang paling mengkhawatirkan dari fenomena
kasus persekusi belakangan ini adalah terjadinya proses penegakan hukum yang
berdasarkan atas adanya tekanan massa (mobokrasi). Jika itu terjadi maka akan
menambah kian carut marut penegakan hukum di negara ini.
Sudah menjadi rahasia umum bila penegakan
hukum di negara ini kerap tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Sehingga
dalam kasus persekusi, tidak mustahil para pelaku persekusi malah kemudian
terbebas dari sanksi hukum. Sementara, target persekusi yang pada hakikatnya
harus dihormati, baik figur atau konten pendapat yang diutarakan sebagaimana
ketentuan konstitusi, justru harus rela mendapat vonis hukuman akibat
mobokrasi yang terjadi.
Harus
Diantisipasi
Meski pun terkesan sepele, kasus persekusi
pada hakikatnya mempunyai titik kulminasi yang berpotensi membawa negara pada
kehancuran. Pasalnya, melakukan tindakan persekusi berarti dapat dikatakan
telah menafikan hukum. Padahal sebagaimana ketentuan konstitusi, utamanya
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 45, hukum adalah panglima tertinggi negara ini.
Jika kemudian sejumlah pihak tidak percaya
lagi terhadap hukum di negara ini, maka jelas sudah tidak ada lagi alat yang
dapat digunakan untuk mengatur ketertiban dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Itulah sebabnya, terjadinya tren peningkatan kasus persekusi
belakangan ini mutlak harus segera diantisipasi oleh pemerintah agar tidak
menimbulkan efek yang lebih luas di masyarakat.
Pertama, memproses hukum setiap pelaku
persekusi. Upaya ini dimaksudkan agar memunculkan efek jera, baik bagi pelaku
persekusi maupun orang lain yang hendak melakukan tindakan serupa. Kedua,
memproses hukum aktor utama di balik kasus persekusi yang terjadi.
Biasanya sebelum terjadinya aksi persekusi,
ada oknum yang bertindak membuka dan menyebar identitas dari target
persekusi. Aktor inilah yang kemudian melakukan provokasi sehingga berujung
pada terjadinya persekusi. Maka, menjerakan aktor utama di balik kasus
persekusi yang terjadi merupakan keharusan untuk dilakukan.
Ketiga, membangun kerja sama dengan
stake-holder terkait, dalam hal ini penyedia layanan medsos guna meningkatkan
pengawasan. Faktanya, sejumlah kasus persekusi yang terjadi bermula dari
pendapat yang dituangkan di medsos. Sehingga, apabila pengawasan
ditingkatkan, maka adanya aktor yang melakukan upaya provokasi tersebut tentu
akan lebih cepat diketahui dan bisa dicegah.
Akhirnya, pemerintah tidak boleh menganggap
remeh sejumlah kasus persekusi yang terjadi belakangan ini. Sebaliknya,
pemerintah harus segera melakukan upaya antisipasi untuk meredam potensi
terjadinya kasus tersebut. Dengan begitu, terjadinya mobokrasi yang pada
gilirannya dapat membawa negara pada kehancuran pun dapat dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar