Membaca
Diplomasi Qatar
Abdul Muta'ali ; Direktur Pusat Kajian
Timur Tengah Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juni 2017
KONFLIK di antara negara-negara Dewan Kerja
Sama Teluk (GCC) bukan kali pertama ini saja. Terhitung ini konflik ketiga.
Konflik pertama ketika Qatar membuka jalur diplomasi dengan para petinggi
Ikhwanul Muslimin di Mesir, seperti diterimanya Dr Yusuf Qardhawi sebagai
warga kehormatan Qatar, yang menurut dokumen beliau cukup memiliki relasi
genealogis dengan gerakan yang dirintis Hasan Albanna itu. Yang kedua, ketika
Qatar sangat terbuka dengan gerakan-gerakan Islam beraliran kiri Iran, tetapi
keduanya tidak sampai pada pemutusan hubungan diplomatik. Kali ini adalah
puncaknya, bentuk kemarahan yang dimotori Arab Saudi sehingga seluruh akses
darat, laut, dan udara diputus.
Faktor
penyebab
Saya melihat pemutusan hubungan diplomatik
negara GCC minus Kuwait disebabkan beberapa faktor. Pertama, Qatar terlalu
terbuka dengan ideologi politik gerakan mana pun walaupun basically mayoritas
muslim.
Kedua, Arab Saudi memiliki definisi ganda
terkait dengan terorisme. Terorisme yang berafiliasi ke IS dan berafiliasi ke
Teheran. Afiliasi sebagian bilateral Qatar dan Teheran inilah yang bisa jadi
pemantik hubungan diplomatik ini walaupun menurut hemat saya memang sangat
sulit bagi Qatar untuk tidak menjadi negara terbuka. Qatar butuh survive. Dia mesti welcome membangun kolaborasi dengan
pihak mana pun tidak terkecuali Iran mengingat kecilnya kondisi geografis
yang dimiliki Qatar, karena itu kita melihat banyaknya proyek reklamasi.
Ketiga, pemutusan hubungan diplomatik ini
tidak terlepas akan berpindahnya tongkat estafet kepemimpinan di wilayah GCC.
Pada 2018 Qatar akan menjadi leader GCC. Saat
ini Saudi yang memegang estafet tongkat itu. Artinya Qatar 2018 akan banyak
memainkan peran kawasan regional di wilayah Teluk. Hal ini sangat
menguntungkan bagi Qatar di saat kuartet bukan pada situasi terbaik politik
ekonomi mereka.
Qatar bisa menjadi penyuplai jalur
perdagangan migas dan menggandakan keuntungan itu di saat Qatar pada 2022
menjadi tuan rumah Piala Dunia. Posisi ini tidak dimiliki Riyadh baik secara
ekonomi ataupun stabilitas nasional. Segregasi Riyadh vS Teheran, Riyadh vS
Houti, banyak menguras modalitas Arab Saudi. Ini secara politik sangat
menguntungkan bagi negara negara yang ingin tampil sebagai salah satu leader
di kawasan. Kesempatan itu tidak akan disia-siakan Qatar. Namun, dilihat dari
isu internasional, paling tidak di kawasan Timur Tengah, pemutusan hubungan
diplomatik terhadap Qatar sejatinya tidak perlu terjadi. Kasus Suriah yang
tidak jelas muaranya, 5 juta masyarakat Suriah mengungsi ke berbagai belahan
dunia, belum lagi konflik Yaman yang belum mereda.
Ditambah kasus lama Israel-Palestina yang
belum juga menemukan secercah cahaya perdamaian, kasus Arab Spring yang
menghancurkan negara negara Timur Tengah berbasis republik, lalu hadir
konflik terhadap Qatar, menyempurnakan bahwa di Timur Tengah sedang terjadi
darurat kemanusiaan. Arab Spring saja belum tuntas dan dikhawatirkan konflik
Timur Tengah tidak hanya merusak negara-negara berbasis republik, tetapi
tidak menutup kemungkinan juga merusak negara berbasis monarki. Jika ini
terjadi, sempurnalah konflik kawasan Timur Tengah. Awalnya saya melihat
pemicu konflik Arab Spring selain masalah internal juga kontribusi
negara-negara GCC. Namun, ketika negara-negara GCC juga merasakan konflik,
rupanya Arab Spring permasalahan yang sangat complicated.
Pemutusan hubungan diplomatik ini adalah
kerugian bersama karena tidak ada negara yang berdiri sendiri termasuk
butuhnya Arab Saudi paling tidak untuk beberpa hal kepada Qatar. Saya
menyangka pada konflik Timur Tengah terjadi deferensiasi dua blok Iran dan
Saudi. Dalam kondisi ini diperlukan negara ketiga yang bisa menjadi penengah
bagi keduanya. Awalnya saya berharap pada Turki, tetapi Turki bergabung
dengan Saudi. Saya kira yang pas menengahi konflik GCC minus Kuwait vS Qatar
adalah Indonesia karena Indonesia tidak bermakmum pada Riyadh atau Teheran,
dan Indonesia cukup piawai menangani konflik konflik di beberapa negara.
Memang cukup disayangkan situasi ini terjadi di saat muslim sedunia harusnya
menjaga suasana kondusif selama bulan Ramadan.
Namun, rupanya kita sendiri yang mengkhianati
kemuliaan Ramadan ini. Konflik Qatar ini harus sesegera mungkin diakhiri,
jangan sampai Arab Spring membakar seluruh wilayah Timur Tengah termasuk
negara-negara Teluk. Posisi Indonesia sangat strategis bukan hanya secara
politik yang cukup netral, melainkan juga keberadaan Indonesia yang paling
sedikit ketergantungannya terhadap kuartet. Satu contoh yang real baik Qatar
ataupun Saudi, walaupun keduanya dibangun atas kesamaan primordialisme, tidak
bisa melepaskan dominasi Washington di kawasan itu. Indonesia punya
keterikatan terhadap Washington tapi tidak sekuat kedua negara tersebut.
Indonesia hadir ketika KTT Arab Islam-Amerika yang dihadiri Donald Trump.
Namun, Indonesia juga hadir pada belt and road forum di Beijing. Artinya
Indonesia juga tidak ansich kapitalis sosialis.
Singkat kata Indonesia tidak ikut blok Iran
vs Saudi, juga tidak alergi blok Amerika vs Tiongkok. Posisi politik ini
sangat penting untuk menentukan netralitas mediator. Kedua, saya kira juga
posisi RI lebih strategis dalam posisi ini ketimbang OKI mengingat dominasi
Arab Saudi di dalam tubuh OKI begitu kuat. Artinya secara kelembagaan dan
organisasi baik OKI ataupun liga Arab apalagi GCC tidak cukup punya kartu
truf untuk menengahi konflik itu. Indonesia bisa memaksimalkan polugrinya
dengan tampil lebih berani dan confident di saat negara negara di dunia Islam
dibanjiri banyak masalah. Indonesia cukup memiliki ketahanan stabilitas
politik yang lebih mengedepankan diplomasi dan negosiasi ketimbang cara-cara
anarkistis yang menjurus disintegritas.
Karena itu, saya mendorong Kementerian Luar
Negeri untuk bisa memainkan politik luar negeri lebih aktif dan konstruktif
yang menjadi amanah UUD kita. Saya kira perlu kedewaasaan politik sekuritas
di kawasan teluk khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Yusuf Qardhawi
adalah fenomena 'serbasalah'. Ia tokoh ulama besar yang membolehkan musik,
tetapi tidak cukup mengurangi pandangan radikalnya. Yusuf Qardhawi sebetulnya
dalam kasus Suriah mendukung kelompok anti-Assad. Artinya pandangan politiknya
inline dengan polugri Saudi. Harusnya pandangan Qardhawi menjadi barometer
'rekanan politik'. Lalu barometer apa yang dipakai untuk menjerat Qardhawi?
Jawabannya karena Qardhawi berada di posisi Doha. All about Doha is outsider.
Dampak
politik dan ekonomi
Pemutusan diplomatik terhadap Qatar ini
akan menimbulkan ekses politik yang cukup signifikan. Misal kocok ulang
penentuan Qatar sebagai leader GCC 2018. Selain itu, klaim geografis Qatar
sebagai hilirisasi gerakan radikal terorisme. Hal itu secara politik
merugikan Qatar di mata internasional. Dominasi Qatar memang menemukan
momentumnya di saat Saudi dikepung banyak masalah kawasan. Secara budaya,
memang isu ego kawasan sulit dipisahkan dalam sejarah daratan ini. Dampaknya
yang paling 'mengerikan' ialah meluasnya konflik Arab Spring sampai ke
kawasan Teluk ini. Qatar issues ini bukan hanya masalah pemutusan diplomatik
yang berimbas pada pelarangan zona terbang Qatar Airways, melainkan jauh
lebih luas.
Hal ini tidak menutup kemungkinan karena stabilitas
kawasan Teluk tidak stabil, penunjukan Qatar sebagai Tuan Rumah Piala Dunia
2022 bisa didiskusikan kembali karena FIFA memerlukan jaminan keamanan
kawasan. Saya tidak mengatakan ini sebagai 'karma politik', tapi lebih kepada
'bupper politik' kawasan. Bukankah GCC ada pada basis primordialisme yang
sama, budaya yang sama, bahasa yang sama, bahkan kondisi geografis yang sama.
Mudah-mudahan Indonesia bisa dapat mengambil pelajaran bahwa kebersamaan dan
persaudaraan adalah saudara kandung kekuatan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar