Premanisme
Versus Kepolisian
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi
Pancasila
UGM 2013-2015
|
KORAN
SINDO, 16 Juni 2017
Masyarakat semakin resah, waswas, dan khawatir akan
keselamatannya karena begal merajalela di mana-mana dan beraksi pada
sembarang waktu. Masalah kesenjangan sosial, pengaruh video game, dan
terbukanya peluang, merupakan akar masalah sekaligus faktor-faktor pemicu
maraknya begal, preman, dan sejenisnya itu. Terkait dengan masalah peluang
kejahatan, masyarakat bertanya-tanya, ke mana aparat kepolisian selama ini?
Mengapa semua kegiatan premanisme, aksi begal, dan kenakalan remaja tidak
pernah bisa diantisipasi dengan baik? Apakah Petrus (penembakan misterius)
untuk menanggulangi kejahatan perlu dibentuk kembali? (Tajuk, KORAN SINDO,
12/6).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, preman artinya
orang-orang yang melakukan kejahatan, seperti penodongan atau pemerasan.
Sedangkan premanisme adalah sebuah gaya hidup mengedepankan kekerasan. Begitu
banyak padanan kata untuk preman, antara lain: begal, kecu, gali, rampok,
klithih, dan lainnya.
Jadi, preman dan premanisme bukan hanya sebatas individu
kekar berwajah garang, bertato, gemar memeras, atau suka berkeliaran sembari
mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat di tempat umum, melainkan
sebuah gaya hidup tersendiri. Dalam sejarah kehidupan manusia, dulu
preman-preman bertindak sendiri-sendiri.
Kekuatan fisik dan “kekuatan dalam” menjadi andalannya.
Sasaran atau musuh dihadapinya seorang diri. Namun, dalam perkembangannya,
dijumpai organisasi-organisasi preman. Organisasi tersebut ada yang bernaung
di bawah organisasi kepemudaan, kedaerahan, bahkan partai politik. Meski
organisasi- organisasi preman tersebut dikemas dengan make up modern agar
tercitrakan sebagai kumpulan orang-orang intelek, beradab, berakhlak, tapi
perilaku dan orientasi kehidupannya, tetap saja hedonistik dan materialistik.
Segalanya ingin diraih instan dengan menghalalkan segala
cara. Masyarakat paham dan tidak terkecoh dengan pencitraan tersebut.
Mempertanyakan sekaligus meminta ketegasan kepolisian dalam pembinaan atau
pemberantasan premanisme, kiranya hal wajar.
Mengapa? Karena, pertama, secara yuridis formal,
kewenangan menjaga keamanan masyarakat berada pada institusi kepolisian.
Kepolisian dibenarkan bersikap tegas dan menggunakan
senjata serta berbagai peranti-peranti lain sebagai pendukung tugas-tugasnya.
Bila kepolisian amanah dengan wewenangnya serta-merta didukung masyarakat
luas, maka celah-celah premanisme bisa dipersempit, bahkan ditutup sama
sekali. Suasana aman dan nyaman dapat terwujud setiap saat. Masyarakat tidak
perlu dan tidak boleh main hakim sendiri, kecuali sekadar membantu
tugas-tugas kepolisian.
Kedua, secara kuantitatif, jumlah polisi di negeri ini
banyak.
Didukung logistik, sarana- prasarana dan dana mencukupi,
maka tidak ada alasanalasan untuk kalah atau keteteran menghadapi ulah para
preman. Dengan menggunakan alat-alat elektronik modern, tanda-tanda
kemunculan kejahatan preman maupun lokasi keberadaannya, dapat dideteksi
sejak dini sehingga tindakan pencegahan segera dilakukan.
Ketiga, secara empiris, kepolisian memiliki track record
bagus dalam menumpas teroris, baik dalam skala lokal, nasional, maupun
internasional.
Preman kelas kampung maupun jaringan preman antarwilayah,
tentu levelnya jauh di bawah teroris ataupun kejahatan narkoba. Nalar sehat
mengatakan pemberantasan premanisme lebih mudah, lebih ringan, dan mestinya
lebih berhasil dibandingkan penangkapan teroris atau gembong narkoba. Bila ada
gebrakan serentak, boleh jadi premanpreman akan kocar-kacir, tertangkap, dan
meringkuk di penjara.
Kajian sosiologi hukum memperlihatkan bahwa masih sering
dijumpai, bahkan diduga ada kepentingan organisasi preman berkelindan,
bersaling-silang, atau berpadu dengan kepentingan oknum-oknum aparat ataupun
pejabat. Kepentingan dimaksud bisa berupa kepentingan ekonomi demi
mengakumulasi kekayaan atau kepentingan politik untuk memperbesar dukungan
massa, khususnya terkait dengan pemilihan umum.
Sangat disayangkan bila benar ada semacam pelimpahan
sebagian kewenangan kepolisian kepada organisasi preman sehingga membuat
premanisme terorganisasi punya ruang gerak leluasa menaklukkan pihak-pihak
lain dalam tujuan tertentu. Misal, mereka diberi otoritas melakukan pengaplingan
jalanjalan, trotoar, area pedagang K5, bahkan wilayah tertentu, kemudian
mengelolanya atas nama keamanan lingkungan dengan menarik retribusi ilegal.
Jika dugaan demikian benar, maka membina atau memberantas
premanisme ibarat mengurai benang kusut, menyapu lantai dengan sapu kotor.
Sangat sulit dipertanggungjawabkan secara sosial dan hukum karena satu sama
lain saling terkait kepentingan. Pembinaan biasanya dilakukan terhadap
gembong-gembongnya, sementara pemberantasan disasarkan hanya pada premanpreman
kelas teri di jalanan.
Anomali kehidupan akibat maraknya preman sudah kasatmata.
Patut disyukuri, kepercayaan masyarakat kepada kepolisian untuk pencegahan
maupun penindakan masih tinggi. Public trust tersebut tidak boleh
disia-siakan. Sikap jujur, cerdas, bijak, dan berwawasan kebangsaan sangat
diperlukan dan mesti ada pada setiap person kepolisian.
Pertanyaan dan ekspresi kekecewaan, seperti; di manakah
polisi? Kenapa tidak hadir? Kenapa terlambat bertindak? Sesungguhnya
merupakan sikap kritis dan dukungan masyarakat. Oleh karenanya, tidak perlu
disikapi secara antagonis, melainkan perlu dikemas sebagai bagian dari
kebersamaan agar kepolisian bekerja lebih maksimal. Interaksi kepolisian
dengan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban umum perlu dijawab
dengan bukti-bukti konkret.
Bangsa ini sangat berharap agar kepolisian benar-benar
menjadi kekuatan sosial yang mampu menjadi penangkal untuk menghentikan
merebaknya premanisme. Suro diro
jayaningrat lebur dening pangastuti. Dalam konteks kekinian, ajaran luhur
Rangga Warsita itu bisa diartikan “Kekuatan dan keberanian kepolisian serta
dukungan masyarakat dipastikan mampu meleburkan keangkaramurkaan
preman-preman di negeri ini”. Semoga. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar