DPR:
Matilah Kau, KPK!
Tjipta Lesmana ; Anggota Komisi
Konstitusi MPR 2004
|
JAWA
POS, 15
Juni 2017
BEBERAPA tahun lalu terjadi ’’perang’’
terbuka antara KPK dan Polri yang berawal dari perebutan sengit dua instansi
untuk mengambil alih kasus korupsi proyek simulator di Korlantas Polri. Pada
titik yang mendidih sekali, Presiden SBY cepat membaca situasi, lalu turun
tangan. Dia memerintah Kapolri untuk menyerahkan penyidikan kasus tersebut
kepada KPK.
Karena itu, selesailah ’’perang terbuka’’
itu. KPK pun mengobrak-abrik Korlantas, menelanjangi habis kasus simulator.
Kepala Korlantas dan Wakil Korlantas dijebloskan ke penjara lewat persidangan
di pengadilan tipikor.
Dewasa ini masyarakat sedang menyaksikan
tontotan yang lebih seru dan lebih menegangkan: ’’perang’’ terbuka antara KPK
dan DPR yang dipicu oleh munculnya hak angket DPR untuk memeriksa KPK disusul
pembentukan Pansus Hak Angket DPR.
Sejak spekulasi merebak tentang nafsu sejumlah
wakil rakyat menggulirkan hak angket KPK, masyarakat sudah menyuarakan
resistansi mereka. Mereka mempertanyakan untuk apa hak angket? Apakah para wakil rakyat kita di Senayan
tidak paham apa itu sesungguhnya hak angket?
Per definisi, hak angket DPR adalah sebuah
hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki DPR yang memutuskan bahwa
pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan pemerintah yang strategis dan
berdampak luas kepada masyarakat, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Jadi, sasaran pokok penggunaan hak angket adalah
pemerintah.
Ketika beberapa tahun lalu pemerintahan SBY
bersikap abstain dalam voting Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi
terhadap Iran, DPR marah. Mengapa sebagai negara berpenduduk Islam terbesar
dunia Indonesia tidak mendukung Iran? Karena itu, cepat DPR pun menggulirkan
hak angket tentang Iran. Pemerintahan SBY diminta menjelaskan
sejelas-jelasnya apa pertimbangan bersikap abstain saat itu.
Lalu,
siapa sasaran pokok hak angket KPK? Ya, KPK! Apakah KPK merupakan instansi
pemerintah?
Wacana hak angket KPK bergulir ketika KPK
menolak permintaan Komisi Hukum DPR untuk mendapatkan rekaman pemeriksaan
Miryam S. Haryani oleh para penyidik KPK terkait dengan kasus dugaan korupsi
proyek pengadaan e-KTP. Miryam Haryani, anggota Komisi II DPR dari Fraksi
Hanura, sejak memberikan kesaksian di pengadilan tipikor pada 23 Maret 2017
sekonyong-konyong menjadi tokoh sentral sekaligus tokoh kontroversial dalam
megakasus e-KTP. Maklum, dari mulut Miryam-lah keluar nama-nama penting
anggota DPR yang disebut-sebut menerima uang haram proyek e-KTP.
Skandal e-KTP memang layak disebut
megaskandal. Bayangkan, 40 persen lebih anggaran proyek pengadaan e-KTP
diduga dirampok oleh berbagai pihak! Begitu edan, sampai-sampai Ketua Majelis
Hakim John Halasan Butarbutar dalam sidang kasus korupsi e-KTP berkomentar
emosional.
’’Begitu banyak uang yang dijadikan
bancakan. Ini kan sontoloyo!
Memang nama-nama anggota DPR maupun mantan
anggota DPR yang disebut-sebut dalam persidangan tipikor kasus e-KTP
memberikan bantahan keras. Dan, semua pun sepantasnya menghormati prinsip
praduga tidak bersalah. Namun, karena kasus tersebut mendapat eksposur luar
biasa dari seluruh media massa, termasuk media sosial, persepsi kuat pun
tertanam di otak masyarakat luas bahwa banyak petinggi pemerintah dan wakil
rakyat yang terlibat.
Serangan publik ke DPR berdasar persepsi
negatif yang dahsyat itu jelas membangkitkan kegusaran di pihak DPR. Lalu,
hak angket digulirkan. Awalnya, hanya sedikit fraksi yang dukung. Melalui
lobi-lobi oleh para pendukungnya, partai-partai yang semula menolak pun ikut
mendukung. Partai Gerindra, misalnya, awalnya menolak keras sebagaimana
ditandaskan oleh Ketua Umum Prabowo Subianto. Tetapi, Gerindra kemudian
mendukung. Sikap idem dito dilakukan Partai Amanat Nasional.
Jika kita kaji berdasar teori first order
presentation dalam ilmu komunikasi, pembentukan hak angket jelas sebagai
ungkapan dendam, atau counter-attack DPR atas KPK. Sejumlah wakil rakyat
sakit hati karena Senayan mendapat gempuran keras dari peradilan kasus e-KTP.
Apa
sebetulnya sasaran panitia angket?
Jelas untuk melemahkan KPK. Bukan rahasia
lagi, tuntutan merevisi UU tentang KPK sudah lama dikumandangkan keras oleh
DPR. Tetapi, tuntutan tersebut selalu gagal karena mendapat perlawanan keras
dari publik. Ada beberapa item yang menjadi sasaran ’’tembak’’ DPR atas UU
KPK. Di antaranya, kewenangan sadap KPK dan kewenangan penuntutan KPK.
Padahal,
jika kita berpikir jernih sejernihnya, apa yang salah dengan KPK?
Coba semua pihak menjawab satu pertanyaan
ini: Apakah mereka yang diciduk, disidik, kemudian dijebloskan ke penjara
karena dinyatakan terbukti melakukan tindak kejahatan korupsi oleh pengadilan
tipikor terjadi mis-trial alias peradilan yang sewenang-wenang? Mengapa ada
pihak yang mau memisahkan kewenangan penyidikan dari kewenangan penuntutan
yang dimiliki KPK? Jika KPK ngawur dalam menjalankan kewenangannya, bukankah
ada peradilan tingkat banding dan peradilan kasasi di Mahkamah Agung (MA)?
Apakah MA bisa diajak kolusi oleh KPK? Fakta tersebut menunjukkan kerja KPK
tidak bisa dikatakan jelek, apalagi ngawur.
Pertanyaan kedua: Apakah kita tidak senang
dan memberikan apresiasi jika KPK terus bergiat, bahkan lebih agresif lagi
aktivitasnya, menciduk dan menuntut orang-orang yang diduga merampok uang
rakyat? Bukankah kita sudah sepakat bahwa korupsi itu salah satu musuh paling
berbahaya bagi pembangunan nasional?
Kini masyarakat sedang menanti sikap
Presiden Jokowi atas ’’peperangan’’ yang sedang berlangsung antara KPR versus
DPR. Saya pun sungguh tidak mengerti sikap sejumlah parpol pendukung
pemerintah yang justru mendukung hak angket! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar