Mari
Merawat Bopeng Sendiri
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya
bermain dengan ikan-ikan air tawar
|
DETIKNEWS, 14 Juni 2017
Petang itu, adzan maghrib berkumandang dari
pelantang mushala dekat rumah. Saya pun bergegas memenuhi panggilan salat
itu. Sebenarnya, lebih sering karena disuruh Ibu. Karena, kalau salat di
rumah, Ibu saya akan mengomel. Ganjaran salat berjamaah itu 27 derajat,
begitu tukasnya bila saya enggan salat berjamaah.
Saya pun pergi memakai sarung dan sepasang
kasut butut. Sesampainya di sana, saya duduk di bagian shaf tengah. Duduk
sembari mendengarkan pujian salawat yang mengalun begitu indah. Di samping
saya, ada teman yang biasanya mengajak saya bercanda.
Namun, kali ini ia tampak diam dan
mendengarkan pujian saja. Tak lama kemudian, ia terlihat—dari gerak-gerik
matanya—mengedarkan pandangan ke area shaf depan. Saya melihat ia begitu
fokus dengan orang yang sedang menjalankan salat di shaf depan pojok kanan.
Tiba-tiba, ia membisiki saya:
"Orang itu salat apa ya?"
"Salat sunnah qobliyah, mungkin."
"Kamu ini gimana? Salat magrib kan
nggak ada sunnah qobliyah-nya."
"Oh, iya. Mungkin itu salat tahiyatul
masjid."
"Lho, kamu salah lagi. Kita kan sedang
di mushala. Masak ada salat tahiyatul mushala. Apa itu bukan bid'ah?
"Apa kita masih perlu membahas
ini?"
"Aku hanya penasaran."
Tak lama kemudian, iqamah berkumandang.
Kami maju di shaf paling depan. Teman saya itu, tanpa sengaja, justru berdiri
bersandingan dengan si orang yang ia obrolkan tadi. Dari gelagatnya, ia
nampak canggung. Saya hanya bisa tersenyum dalam hati.
Setelah pulang dari mushala, saya
mengajaknya mengobrol lagi.
"Kamu, masih penasaran orang tadi
salat apa?"
"Iya. Aku penasaran. Siapa sih orang
itu? Orang mana ya?"
"Kamu juga tadi nampaknya tidak
khusyuk salatnya. Kamu canggung berdampingan dengan orang tadi."
"Lho, kamu kok tahu? Berarti kamu
memperhatikanku juga?"
"Iya, sedari takbiratul ikhram sampai
salam kamu memang terlihat canggung. Seperti ada yang ditahan."
"Kalau gitu, kamu juga nggak
khusyuk."
Saya langsung menepuk jidat dan tertawa.
Ternyata, toh saya sama saja. Sama-sama suka memperhatikan ibadah orang lain.
Obrolan saya dengan teman saya itu sudah
cukup lampau. Kira-kira terjadi ketika saya masih duduk di bangku SMP. Namun,
kelakuan orang-orang di jagad maya mengingatkan saya kembali pada peristiwa
itu.
Beberapa hari yang lalu, ada seorang kawan
yang membagikan sebuah tautan artikel di dinding Facebook-nya. Judul
artikelnya konyol sekali: Inilah
Kesalahan-Kesalahan Cara Wudhu dan Shalat Jokowi. Saya penasaran dan
membukanya. Dan benar, artikel berisi analisis tajam yang menguliti semua
kesalahan Jokowi ketika berwudhu sampai ketika ia menjadi imam salat.
Sangat detail sekali. Sang penulis artikel
sudah hampir mirip dengan para komentator sepak bola yang teliti dalam
mendedah strategi permainan masing-masing tim. Setelah membacanya, saya hanya
bisa tertawa. Ternyata, ada juga orang-orang yang kelewat rajin melakukan hal
seperti itu. Padahal, menurut saya, ribut dengan urusan ibadah orang lain
tentu saja nir-faedah. Sama sekali tak mendatangkan manfaat apapun. Yang ada,
justru kita bisa lalai dengan cara ibadah sendiri.
Saya bisa mengatakan itu, setelah teringat
dengan peristiwa kecil yang saya ceritakan di awal. Tapi, jelas saya paham
bahwa artikel itu memang ditulis dengan nada kebencian kepada Pak Presiden.
Para pembenci itu bisa begitu fasih mengomentari cara ibadah Presiden Jokowi.
Dari perkara cara basuhan wudhu sampai kaidah makhorijul huruf bacaan salatnya.
Orang-orang tersebut, seperti sudah khatam
mempelajari kitab-kitab babon tentang ilmu fiqh, seperti Fathul Qarib atau
Hasyiyah Baijuri yang tebal dan berjilid-jilid. Padahal, mendengar namanya
saja barangkali belum. Namun, mereka seperti telah menasbihkan dirinya
sebagai ulama ushul fiqh yang paling sempurna semua laku ubudiyah-nya.
Dan kita tahu, orang-orang seperti itu
sangat mudah kita temukan di jagad dunia maya. Coba ketik saja kata kunci
"salat jokowi" di kolom pencarian Google. Maka, Anda akan menemukan
banyak artikel yang saya maksud itu. Silakan membacanya, barangkali memang
berfaedah.
Saya juga jadi teringat kembali pada salah
satu cerpen KH. Mustofa Bisri—yang akrab disapa Gus Mus. Cerpen itu berjudul
Gus Djakfar. Menurut saya, cerpen itu adalah sebuah bentuk oto-kritik bagi
siapa pun yang gemar mengurusi amal ibadah orang lain.
Ceritanya tentang seorang kiai kampung
bernama Gus Djakfar. Ia memiliki sebuah karomah unik, yaitu mampu menebak
orang. Mulai dari tebakan tentang ajal kematian sampai rezekinya. Bahkan, ia
juga bisa tahu orang itu masuk calon surga atau calon neraka. Karena
kemampuannya inilah ia menjadi begitu disegani di wilayah pesantrennya.
Namun, semuanya berubah ketika ia berguru
kepada seorang ulama misterius bernama Kiai Tawakkal. Di pesantren Kiai
Tawakkal, Gus Djakfar sibuk mengaji kitab yang juga biasa diajarkan di
pesantrennya. Juga tentu saja sibuk berdzikir di sela-sela waktu.
Gus Djakfar mengalami perubahan sikap
setelah melihat tanda "ahli neraka" pada kening Kiai Tawakkal. Ia
merasa gelisah dengan penerawangannya itu. Rasanya tak mungkin, seorang kiai
alim bisa masuk neraka, kecuali ia punya sisi lain dalam hidupnya, pikir Gus
Djakfar. Dari kegelisahan itu, akhirnya Gus Djakfar mencoba menelisik sisi
lain kehidupan sang Kiai Tawakkal.
Ia pun akhirnya mendapati jawabannya saat
memergoki Kiai Tawakkal sedang berada di sebuah warung yang sarat akan nuansa
kemesuman. Di warung itu, Kiai Tawakkal terlihat sedang asyik mengobrol
dengan para perempuan menor. Ternyata, inilah alasan Gus Djakfar melihat
tanda ahli neraka itu.
Tapi, sebenarnya, itu adalah ujian bagi Gus
Djakfar. Ketika pulang berbarengan dengan sang kiai, Gus Djakfar mengalami
kejadian aneh. Sang kiai ternyata bisa berjalan di air. Pada sampai titik
inilah, Gus Djakfar sadar bahwa sebenarnya ia memang sedang diuji oleh sang
kiai sufi itu. Kiai Tawakkal mengeluarkan kata-kata yang benar-benar
menggendor relung hatinya:
"Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di
kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang
menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang
kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening.
Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah.
Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka.
Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak
memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti
mengantarkanmu ke sorga kelak?"
Dan, agaknya pesan sang kiai itu tak
berlaku hanya bagi Gus Djakfar saja, melainkan juga bagi kita. Menurut
penuturan Gus Mus, cerpen itu memang ia tulis untuk mengingatkan kembali kita
pada pesan masyur Sayidina Umar Bin Khattab RA: "Hendaklah kalian
menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab."
Selama orang-orang yang gemar menghisab
amal orang lain masih banyak, maka selama itulah pesan Sayidina Umar akan
tetap relevan. Barangkali akan jadi klise, tapi tak akan pernah usang. Sampai
tak ada lagi orang yang kerepotan menghisab amal ibadah orang lain.
Setelah membaca cerpen itu, saya pun
akhirnya selalu berusaha untuk menahan diri untuk tidak melabeli siapapun.
Karena saya tahu, manusia adalah makhluk yang selalu punya bopeng. Sekecil apapun
bopeng itu. Kiranya, mencela bopeng orang lain justru membuat kita lupa
merawat bopeng sendiri.
Inilah zaman ketika meneliti cacat pada
muka orang lain menjadi teramat mudah. Sedangkan, meneliti cacat wajah
sendiri sungguh sukar dilakukan. Saya dan Anda tentu tak mau seperti itu.
Sebab, kita juga tak akan sudi bila amal kita dihisab oleh siapapun—kecuali
oleh Tuhan. Maka, menghisab diri adalah sebuah upaya penyelamatan diri dari
kubangan-kubangan kelalaian. Jadi, sudahkah menghisab diri hari ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar