Gaji
Ke-13 dan THR Berkah atau Bumerang?
Bagong Suyanto ; Guru Besar
Sosiologi-Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2017
MENJELANG Lebaran dan musim masuk tahun ajaran
baru sekolah, salah satu angin segar yang ditunggu-tunggu para pegawai negeri
sipil (PNS), TNI, polisi, dan pejabat negera ialah rencana pencairan gaji
ke-13 dan tunjangan hari raya (THR). Uang kagetan bagi PNS ini dilaporkan
akan cair Juni dan Juli sehingga selain dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hari raya, pencairan gaji ke-13 dan THR yang waktunya hampir
bersamaan akan dapat dimanfaatkan untuk membayar berbagai keperluan sekolah
anak.
Di tengah situasi krisis anggaran
pembangunan, pemerintah dilaporkan telah menyiapkan dana sekitar Rp23 triliun
untuk memenuhi kebutuhan pembayaran gaji ke-13 dan THR. Untuk diketahui,
sesuai dengan PP yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2016
lalu, yang dimaksud dengan THR adalah sebesar gaji pokok PNS, TNI, polisi,
ataupun pejabat negera.
Yang dimaksud dengan gaji ke-13 meliputi
gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, dan
tunjangan kinerja. Sementara itu, bagi pejabat negara, yang dimaksud dengan
gaji ke-13 meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan.
Sementara itu, gaji ke-13 untuk pensiunan berupa pensiun pokok, tunjangan
keluarga, dan tunjangan tambahan penghasilan. Dengan kata lain, jumlah gaji
ke-13 bisa dipastikan akan lebih besar daripada besarnya THR.
Penyangga
ekonomi
Terlepas dari soal jumlah gaji ke-13 dan
THR yang nanti bakal cair dan diterimakan, keputusan pemerintah mengatur masa
pencairan sekitar Juni-Juli yang disesuaikan dengan meningkatnya kebutuhan
masyarakat jelas bukan tanpa alasan. Meski sejak tahun lalu pemerintah tidak
menaikkan gaji PNS, TNI, polisi, dan pejabat negara, itu semua sepertinya
akan bisa dikompensasi dengan dicairkannya gaji ke-13 dan THR ini.
Menjelang Lebaran, ketika harga kebutuhan
pokok maupun kebutuhan sekunder di pasar cenderung naik, tambahan dana dari
gaji ke-13 dan THR benar-benar memiliki nilai strategis. Selama ini,
masa-masa menjelang Lebaran dan masa kenaikan kelas sering menjadi masalah
tersendiri terutama bagi PNS, TNI, dan polisi karena kebutuhan sehari-hari
melonjak tajam, sedangkan gaji yang rutin diterima setiap bulan biasanya
selalu pas-pasan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam
menjalani kehidupan rutin sehari-hari, ruang gerak seperti keluarga-keluarga
PNS, TNI, dan polisi biasanya tidak terlalu leluasa. Sebuah keluarga yang
sebulan hanya mengandalkan gaji sekitar Rp5 juta-Rp10 juta, tentu tidak
banyak hal yang bisa mereka perbuat. Bagi keluarga yang hidup di kota besar,
terutama, gaji seorang PNS, TNI, dan polisi sangat mungkin pas-pasan dan
bahkan bukan tidak mungkin kekurangan.
Berbeda dengan pegawai BUMN atau pegawai
perusahaan swasta mapan yang gaji bulanannya senantiasa lebih. Sebuah
keluarga PNS, TNI, dan polisi, jika tidak memiliki usaha sampingan atau kerja
tambahan yang lain, niscaya mereka harus pandai-pandai mengatur pos-pos
pengeluaran secara efektif. Jangankan berbicara kesempatan menabung dan
memiliki penyangga ekonomi yang memadai, dalam kenyataan sering terjadi
keluarga PNS, TNI, dan polisi justru hidup ibaratnya seperti orang yang 'gali
lubang tutup lubang'.
Alih-alih memiliki tabungan yang produktif
dan bunganya bisa dijadikan tambahan penghasilan bulanan, justru yang sering
terjadi mereka hidup kekurangan dan tidak sedikit yang terjerat perangkap
utang yang mematikan. Hidup di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau
Bandung, jelas tidak mungkin sebuah keluarga PNS golongan II atau III mampu
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak.
Di Jakarta atau Surabaya, misalnya,
kebutuhan untuk transportasi dari rumah ke tempat kerja atau dari rumah ke
sekolah bisa saja menggerus gaji bulanan hingga 20%. Ini belum termasuk
kebutuhan uang jajan anak dana untuk rekreasi, makan sehari-hari, biaya
pulsa, uang sekolah/kuliah anak, uang les, dan lain sebagainya.
Sebuah metafora dari Tawney--seorang ahli
pembangunan dan kemiskinan--menggambarkan dengan tepat kondisi
keluarga-keluarga sederhana seperti keluarga PNS, TNI, dan polisi, yang
hidupnya relatif pas-pasan. Mereka diibaratkan seperti seseorang yang berdiri
di atas air sebatas dagu. Riak sekecil apa pun niscaya akan membuat orang itu
mati tenggelam karena dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah direpotkan
dengan berbagai masalah yang tak kunjung terselesaikan.
Dengan segala kerentanan dan tekanan
kebutuhan hidup yang berat, kabar pencairan gaji ke-13 dan THR pada Juni-Juli
ini benar-benar seperti angin surga. Cuma, masalahnya sekarang: bagaimana
seharusnya keluarga-keluarga PNS, TNI, dan polisi mampu mengatur
pengeluarannya tanpa harus terjebak pada cairnya uang dadakan yang menggoda
orang untuk berperilaku (lebih) konsumtif itu?
Godaan
dan hasrat
Tantangan terbesar yang mesti dihadapi
keluarga PNS, TNI, dan polisi pascacairnya gaji ke-13 dan THR ialah bagaimana
mengatur agar kucuran dana itu tidak seluruhnya dihabiskan untuk memenuhi
kebutuhan liburan Lebaran, tetapi kemudian lupa bahwa setelah itu pada Juli
kebutuhan untuk biaya pendidikan anak sedang menanti.
Bagi keluarga PNS, TNI, dan polisi yang
lupa diri dan kalap membeli berbagai kebutuhan menjelang Lebaran, pencairan
gaji ke-13 dan THR bisa saja justru menjadi perangkap yang berpotensi
meningkatkan kadar kerentanan dan tekanan kebutuhan hidup di bulan
berikutnya. Sebuah keluarga yang selama berbulan-bulan terbiasa menghadapi
tekanan kebutuhan hidup dan harus melakukan penghematan di semua aspek
kehidupan, tiba-tiba mereka memperoleh kucuran dana yang tidak sedikit: dua
kali lipat dari penghasilan bulanannya.
Tidaklah mengejutkan jika keluarga yang
sehari-hari hidup pas-pasan kemudian mencoba menikmati hidup pascamereka
menerima gaji ke-13 dan THR. Efek psikologis yang timbul pascapencairan gaji
ke-13 dan THR tidak mustahil bersifat kontraproduktif bagi keluarga PNS, TNI,
dan polisi. Mentalitas aji mumpung dan ulah kekuatan industri budaya yang
senantiasa ingin menguras penghasilan masyarakat sebagai konsumen.
Menjelang Lebaran, kita tahu mal-mal
biasanya selalu berbenah atraktif dan toko-toko juga menawarkan berbagai
komoditas yang menggoda hasrat. Bagi masyarakat yang tidak tahan godaan,
kemungkinan untuk mengembangkan perilaku konsumsi yang sinergis niscaya akan
makin besar. Mereka tidak hanya puas membeli barang sesuai dengan kebutuhan,
tetapi juga membeli barang-barang lain sesuai dengan keinginan dan seleranya.
Pada titik ini, jangan-jangan gaji ke-13 dan THR justru berpotensi menjadi
bumerang yang menjerumuskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar