Persekusi
sebagai Pelanggaran HAM Berat
Mimin Dwi Hartono ; Staf Senior Komnas HAM
|
DETIKNEWS, 14 Juni 2017
Akhir-akhir ini, muncul istilah persekusi
untuk menyebut perburuan dan tindakan kekerasan/teror dari orang/sekelompok
orang terhadap orang yang dinilai telah menghina/melecehkan ulama. Kejadian
itu di antaranya menimpa seorang anak berusia 15 tahun di Cipinang Muara,
Jakarta Timur dan seorang dokter di Solok, Sumatera Barat karena mem-posting
status di media sosial yang dianggap menghina ulama.
Menurut Southeast Asia Freedom of
Expression Network (SAFE-net), dari Januari-Mei 2017, sebanyak 87 orang telah
menjadi korban tindakan yang mereka sebut sebagai persekusi. Tindakan tersebut
menyebar di beberapa daerah dengan motif yang sama, yaitu memburu dan
menghakimi orang yang dianggap menghina ulama. Sebelumnya, di Facebook
ditemukan database buronan umat Islam, yang berisi daftar nama orang yang
hendak ditarget untuk diburu karena anggapan tersebut.
Menurut SAFE-Net, ada tren peningkatan
kasus yang terjadi sejak Januari hingga Mei. Pada Januari, jumlah korban
diketahui berjumlah 7 orang, Februari (3), Maret (2), April (13), dan Mei
(52). Wilayah korban juga menjadi meluas di sekitar Jawa, Sumatera dan
Kalimantan. Namun, apakah tindakan-tindakan tersebut bisa disebut sebagai
persekusi?
M. Cherif Bassiouni (2011), mantan Ketua
Komite Penyelidikan Kasus Libya pada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa,
persekusi adalah kebijakan negara yang menimbulkan penderitaan terhadap orang
yang meliputi pelecehan, penyiksaan, kekerasan, penindasan atau tindak
diskriminatif lainnya, yang didesain untuk memproduksi siksaan yang mendalam
secara fisik dan mental serta ekonomi kepada orang/ sekelompok orang oleh
karena keyakinan, pandangan, dan keanggotaan korban pada organisasi tertentu.
Istilah persekusi disebutkan di dalam hukum
HAM internasional, yaitu Konvensi tentang Genosida, Statuta Roma tentang
Pengadilan Kejahatan Internasional, dan beberapa pengadilan kriminal
internasional.
Di Indonesia sendiri, tindakan persekusi
sudah diatur dalam Undang-undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM di Pasal 9
huruf (h), berbunyi "persekusi merupakan penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional."
Dalam Konvensi tentang Genosida, persekusi
adalah serangkaian tindakan yang diniatkan untuk menghancurkan kelompok orang
berbasis agama, etnis, ras, dan kebangsaan dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan kesakitan secara mental dan fisik; secara langsung
mempengaruhi kondisi kelompok secara keseluruhan; mencegah adanya kelahiran;
dan memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok
yang lain.
Pasal 7 Statuta Roma menyebutkan, kejahatan
atas kemanusiaan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang sistematis atau terencana yang langsung ditujukan terhadap
masyarakat sipil, di antaranya tindakan tersebut adalah persekusi atas
kelompok orang berbasis pada agama, ras, etnis, keyakinan politik, budaya,
dan kebangsaan.
Di dalam Pasal 5 Statuta Pengadilan
Kriminal Internasional untuk Yugoslavia (ICTY), tindakan persekusi
dikategorikan sebagai kejahatan atas kemanusiaan yang terdiri atas tindakan (commission) atau pembiaran (omission), dengan melakukan
diskriminasi dan mengabaikan hak-hak fundamental yang diatur di dalam hukum
internasional dan dilakukan secara sengaja untuk melakukan diskriminasi pada
kelompok masyarakat berbasis politik, ras, dan agama/keyakinan.
Ketika persekusi dilakukan secara
sistematis atau meluas dalam bentuk yang sangat ekstrem dan didesain untuk
menghancurkan kelompok atau bagian dari kelompok masyarakat, maka disebut
sebagai genosida, sebagaimana terjadi di Rwanda pada 1994.
Menurut Cherif Bassiouni, elemen-elemen
tindakan yang dapat disebut sebagai persekusi adalah pelaku merampas
sewenang-wenang hak-hak fundamental korban yang dilindungi di dalam hukum
internasional; pelaku menarget orang/sekelompok orang berdasarkan
identitasnya; dan penargetan tersebut berbasis politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, dan agama, atau basis lain sebagaimana diatur di dalam Pasal 7
ayat (3) Statuta Roma.
Lebih lanjut, tindakan tersebut terkait
dengan tindakan-tindakan lain yang disebut di dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta
Roma; dilakukan sebagai bagian dari serangkaian yang sistematis atau meluas
yang ditargetkan pada masyarakat sipil; dan pelaku mengetahui bahwa tindakan
tersebut adalah bagian atau diniatkan sebagai bagian dari serangan yang
sistematis atau meluas yang ditujukan untuk masyarakat sipil.
Merujuk pada definisi persekusi yang diatur
di dalam Statuta Roma, putusan pengadilan kejahatan internasional di
Yugoslavia, dan UU tentang Pengadilan HAM, apakah tindakan kekerasan/teror
sekelompok orang/organisasi masyarakat terhadap orang lain dengan alasan di
antaranya mem-posting status yang menyinggung ulama, bisa disebut sebagai
persekusi?
Apakah tindakan tersebut lebih tepat
disebut sebagai bentuk dari tindak pidana penganiayaan dan/atau perampasan
kemerdekaan dan/atau pengrusakan atas orang dan/atau barang sebagaimana
diatur dalam KUHP?
Terlepas dari itu, agar kasus-kasus
tersebut tidak berkembang dan semakin meresahkan masyarakat, Polri harus
menerapkan penindakan hukum secara tegas dan berefek jera.
Sedangkan, untuk menguji apakah
tindakan-tindakan tersebut –sebagaimana dilansir oleh SAFE-Net dan Koalisi
Anti Persekusi– sebagai persekusi, harus dilakukan kajian secara mendalam. Di
antaranya meliputi, apakah tindakan-tindakan itu dan para pelaku satu sama
lain saling terkait/terhubung? Apakah dilakukan dengan menarget kelompok tertentu
berbasis agama/politik/ras/etnis? Apakah ada niat dari pelaku bahwa tindakan
tersebut dilakukan secara sistematis atau meluas?
Kajian bersama itu bisa dilakukan oleh
Polri dan Komnas HAM bekerja sama dengan pihak/lembaga terkait yang hasilnya
disampaikan ke Presiden untuk ditindaklanjuti sesuai kewenangannya dan/atau
ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku oleh lembaga
penegak hukum. Hal ini agar negara bisa segera mengambil langkah preventif
dan penindakan untuk memelihara dan menjamin rasa aman dan ketentraman
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar