Spirit
Membaca untuk Pencerahan
Muhammadun ; Pengajar STAI Sunan
Pandanaran Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 14 Juni 2017
Momentum peringatan turunnya al-Quran pada
17 Ramadan yang jatuh pada 12 Juni 2017 adalah refleksi tentang sebuah
peradaban yang dibangun dari kata Iqro’
(bacalah!). Itulah kata pertama
kali ayat al-Quran yang diturunkan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.
Sebuah kata yang filosofis dan sangat mendalam, yang merupakan simbol bahwa
Islam merupakan agama yang sangat peduli akan pentingnya menumbuhkan
masyarakat yang maju dalam pengetahuan.
Islam merupakan agama pendidikan. Agama
yang sangat menganjurkan umatnya agar selalu memahai segala fenomena yang
terjadi dalam masyarakat. Menurut M. Quraisy Syihab (1992), bahwa ayat yang
menggunakan kata qoro’a memiliki
beberapa arti yang luar biasa. Pertama, jika diamati objek membaca pada kata qoro’a terkadang menyangkut suatu
bacaan yang bersumber dari tuhan. Dan kadang objeknya juga suatu kitab karya
manusia.
Kedua, kata qoro’a tidaklah sama dengan kata tilawah. Kalau tilawah
hanya membaca hal yang sakral saja, namun qoro’a
meliputi bacaan yang multidimensional. Ketiga, bahwa sutu kata dalam susunan
redaksi yang tidak diosebutkan objeknya, maka objeknya bersifat umum,
mencakup segala sesuatu yang dijangkau kata tersebut. Dan kata Iqro’ dalam
ayat pertama yang turun kepada Nabi ini tidak dibarengi dengan objek. Maka kata
Iqro’ disini berarti membaca, menelaah, menganalisa, dan karena objeknya
umum, maka objeknya mencakup segala yang terjangkau baik dalam kitab
bersumber dari Tuhan mapun tidak, baik ayat yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, sehingga mencakup telaah alam raya, masyarakat dan diri sendiri, Al
Quran, majalah, koran, dan sebagainya.
Tendensi diatas membuktikan Islam sebagai
agama Ilmu pengetahuan yang sangat peka akan pentingnya sumber daya manusia.
Maka untuk mengantarkan masyarakat yang educated, al-Quran mengindikasikan
dengan Iqro’ tadi. Yang bila kita cermati dalam bahasa sekarang berarti
manusia itu makhluk membaca. Kalau tokoh dan para pemikir dunia hanya
mengatakan manusia sebagai makhluk sosial, makhluk politik, dan sebagaianya,
namun bahasa Al-Quran lebih halus dan mengena dengan bahasa ‘makhluk
membaca’. Dimana peradaban akan maju bila sumber daya manusianya menguasai
berbagai kajian baik teknologi maupun politik. Dan kuncinya cuma satu: Membaca.
Membaca,
Jendela Dunia
Dunia membaca merupakan dunia yang asyik
sekali. Membaca akan mengantarkan kita menghadapi sebuah adegan yang
terbentang dan menantang. Mengapa? Karena membaca akan mengantarkan kita
menyelami kehidupan yang luar biasa. Yakni berdialog dengan berbagai isu-isu
kontemporer dunia. Bahkan Anwar Ibrahim pernah mengatakan bahwa membaca
merupakan sarana yang paling praktis dalam mendiologkan arti kehidupan
sebenarnya. Maka sangat menarik sekali mengamati dunia membaca, apalagi
dikaitkan dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Dunia membaca malah merupakan langkah
paling praktis menuju tangga masyarakat yang mampu bersaing secara global.
Apalagi sekarang ini dunia dalam wacana informasi. Dunia informasi sekarang
ini sangat membutuhkan kekuatan nilai dan nuansa membaca dati berbagai eleman
masyarakat, khususnya para generasi muda (pelajar). Bangsa yang kuat membaca
dan menganalisa akan mampu menguasai dan memimpin dunia. Sebaliknya, bangsa
yang malas dan enggan membaca akan tersingkirkan dalam arena persaingan yang
makin global.
Secara realistis dunia membuktikan, bahwa
bangsa Jepang yang hancur berkeping-keping ketika dibom Amerika Serikat dan
Sekutunya tetapi mereka dengan semangat membaca dan mempelajari teknologi
dunia, sekarang mampu bangkit dan bahkan mampu menyejajarkan dirinya dengan
negara-negara maju lainnya. Bahkan teknologi yang mereka hasilkan mampu
mendobrak pasaran dunia. Para pemikir kritis seperti Gus Dur, Cak Nur, dan
Cak Nun, tidak diragukan lagi kekuatan membacanya. Bahkan Gus Dur sendiri
merupakan pribadi yang kutu buku yang terbukti dapat menyelesaikan buku-buku
sosial dan bahasa secara cepat ketika masih sekolah dan kuliah. Orang-orang
yang mampu kutu buku merasa bahwa membaca merupakan kelezatan yang tiada
duanya. Semakin membaca semakin lezat pula rasanya. Tidaklah heran kalau
tokoh-totkoh tersebut sekarang menjadi pemimipin yang diidolakan masyarakat.
Inilah bukti bahwa daya saing membaca yang
dimiliki bangsa akan sangat mencerminkan kekuatan sumber daya manusia yang
diharapkan. Dan kita sebagai bangsa Indonesia harus mengakui dan menyadari
akan kurangnya minat membaca dikalangan generasi sekarang.
Berbagai lulusan sarjana Universitas
bergengsi dalam negripun masih sangat minim kualitasnya bila dihadapkana pada
realitas sosial masyarakat. Mereka gagap dan takut menghadapi problema yang
sebenarnya terjadi diluar kampus. Mengapa demikian, karena kemampuan membaca
situasi dan kondisi mereka sangat lemah sekali. Mereka hanya mengandalkan
bacaan – bacaan formal kurikulum kampus saja tanpa mau menganalisa diskursus-diskursus
kontemporer dewasa ini.
Agenda
Pencerahan
Demikian juga yang ada di dunia pendidikan
kita. Ini juga karena Guru masih terpaku dengan kurikulum saja, curriculum
oriented, atau bahakan guru juga sangat minim menganalisa masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Demikian juga sistem birokrasi pemerintahan, yang
hanya mengandalkan nilai-nilai formal. Kayak-kayak ijazah formal adalah
segala-galanya dalam menggapai kesuksesan.
Sehingga iklim ini juga mendoktrin orang
tua. Banyak sekali orang tua yang takut anaknya tidak mempunyai ijazah
formal, yang pada akhirnya masa depan mereka suram. Untuk itulah kita harus
mengerti makna membaca dan menghayati pendidikan dewasa ini, agar tujuan yang
diimpikan dapat terealisasikan.
Sebagai refleksi, bangunnya bangsa Eropa
dalam menggapai jaman keemasaanya sekarang ini tidak lain karena kemampuan
membaca mereka yang tinggi dan luar biasa. Kebangkitan ilmu pengetahuan
mereka pada abad ke-17 yang dikenal dengan renaissance, merupakan babak baru
bangsa Eropa yang educated dan maju SDM-nya dalam segala bidang kehidupan.
Demikian juga bangsa kita bila ingin maju
dan bangkit seperti Eropa (renaissance)
harus mampu membangkitkan motivasi bangsa ini dalam membaca, membaca, dan
membaca. Membaca inilah yang akan mengantarkan SDM bangsa secara gemilang.
Dan SDM yang gemilang inilah yang kita tunggu-tunggu untuk memimpin bangsa
ini kedepan, sehingga bangsa yang ‘gemah
ripah loh jinawe’ ini mampu bangkit dari keterpurukan krisis yang melanda
kita smpai tujuh tahun terakhir ini. Pembacaan kritis yang dilakukan para
pemimpin bangsa ini diharapkan akan menjadi starting point bangsa ini dalam
mengembalikan kedamaian, keteraturan, dan kesejahteraan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar