Selasa, 20 Juni 2017

Debat Panjang

Debat Panjang
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                       TEMPO.CO, 17 Juni 2017


                                                            
Beda pendapat itu biasa. Beda pendapatan juga biasa. Tergantung di posisi mana seseorang berada. Kalau dia menjadi wakil rakyat, nasibnya lebih untung. Pendapatan banyak dan berbeda pendapat pun dilakukan di antara mereka berhari-hari sampai pekerjaannya molor. Tak ada yang mencela. Mereka baru dicela kalau di ruang rapat ketahuan tidur. Berbeda dengan menteri yang kalau tidur di ruang tunggu bandara bisa dipuji.
Tapi sesekali mari kita gugat cara berbeda pendapat di DPR yang panjang itu. Ambil contoh teranyar, kasus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang sampai kini belum rampung.

Sampai hari terakhir, muncul lima poin krusial, salah satunya tentang ambang batas persyaratan calon presiden (presidential threshold). Ada usul tanpa ambang batas, ada usul 15 persen bahkan lebih. Padahal UUD 1945 hasil amendemen tak secuil pun menyebutkan ada persyaratan ambang batas itu. Pasal 6A ayat 2 menyebutkan: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politikatau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaanpemilihan umum."

Kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2019 digelar serentak. Karena ini pemilihan serentak pertama kali, kalau ada usul memakai presidential threshold, lalu perolehan suara mana yang dipakai? Ada pendapat (ingat bukan pendapatan) yang dipakai pada hasil Pemilu 2014. Ada dua masalah yang membuat kecebong pun tertawa. Pada 2019, ada partai baru yang ikut pemilu. Haknya mencalonkan presiden menjadi hilang. Lalu apakah partai besar yang ikut Pemilu 2019 nanti yakin masih besar, sementara kiprahnya banyak menyakiti hati rakyat? Misalnya, mencoba terus melemahkan KPK lewat hak angket.

Mumpung menyebut hak angket KPK, mari berhenti membicarakan RUU Pemilu. Hak angket KPK disebut cacat hukum. Ini kajian 132 pakar hukum yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara. Menurut Ketua Umum Asosiasi, Prof Mahfud Md., tiga cacat itu adalah subyek dan obyeknya yang keliru, ditambah prosedurnya yang salah. Bagi yang bukan pakar hukum apa pun, cacat hak angket itu lebih jelas lagi. Ada ketakutan jika KPK semakin kuat, sementara "survei membuktikan" DPR lembaga paling korup.

Mari lihat debat panjang di luar DPR, kasihan wakil rakyat dicandain terus. Soal sekolah seharian, yang merupakan ide cemerlang Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy, yang berbau kota besar dan seolah-olah semua rakyat negeri ini makmur sentosa. Bagaimana kebijakan menteri bisa dilaksanakan di seluruh negeri yang bineka ini kalau menteri tak punya hak mengelola sekolah?

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang "Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan" dalam pasal 17 berbunyi: "Gubernur bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di daerahnya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai kewenangannya." Dalam pasal 28, tanggung jawab diberikan kepada bupati dan wali kota dengan bunyi yang sama dengan pasal 17. 

Jadi menteri bisa saja merumuskan sistem dan menetapkan kebijakan pendidikan nasional. Namun, apakah itu bisa dijalankan atau tidak di daerah, gubernur dan bupati yang paling tahu. Bahkan, sejak tahun lalu, wewenang mengelola SMA dan SMK dialihkan dari kabupaten/kota ke provinsi.

Yang punya gedung sekolah, murid, dan guru adalah pemerintah daerah. Pandai-pandai merekalah mengelolanya sesuai dengan kondisi. Kini banyak daerah yang menolak "sistem dan kebijakan" menteri itu. Apa perlu debat berhari-hari? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar