Debat
Panjang
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 17 Juni 2017
Beda pendapat itu biasa. Beda pendapatan
juga biasa. Tergantung di posisi mana seseorang berada. Kalau dia menjadi
wakil rakyat, nasibnya lebih untung. Pendapatan banyak dan berbeda pendapat
pun dilakukan di antara mereka berhari-hari sampai pekerjaannya molor. Tak
ada yang mencela. Mereka baru dicela kalau di ruang rapat ketahuan tidur. Berbeda
dengan menteri yang kalau tidur di ruang tunggu bandara bisa dipuji.
Tapi sesekali mari kita gugat cara berbeda
pendapat di DPR yang panjang itu. Ambil contoh teranyar, kasus Rancangan
Undang-Undang Pemilihan Umum yang sampai kini belum rampung.
Sampai hari terakhir, muncul lima poin
krusial, salah satunya tentang ambang batas persyaratan calon presiden
(presidential threshold). Ada usul tanpa ambang batas, ada usul 15 persen
bahkan lebih. Padahal UUD 1945 hasil amendemen tak secuil pun menyebutkan ada
persyaratan ambang batas itu. Pasal 6A ayat 2 menyebutkan: "Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politikatau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaanpemilihan
umum."
Kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2019 digelar serentak.
Karena ini pemilihan serentak pertama kali, kalau ada usul memakai
presidential threshold, lalu perolehan suara mana yang dipakai? Ada pendapat
(ingat bukan pendapatan) yang dipakai pada hasil Pemilu 2014. Ada dua masalah
yang membuat kecebong pun tertawa. Pada 2019, ada partai baru yang ikut
pemilu. Haknya mencalonkan presiden menjadi hilang. Lalu apakah partai besar
yang ikut Pemilu 2019 nanti yakin masih besar, sementara kiprahnya banyak
menyakiti hati rakyat? Misalnya, mencoba terus melemahkan KPK lewat hak
angket.
Mumpung menyebut hak angket KPK, mari
berhenti membicarakan RUU Pemilu. Hak angket KPK disebut cacat hukum. Ini
kajian 132 pakar hukum yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara-Hukum Administrasi Negara. Menurut Ketua Umum Asosiasi, Prof Mahfud
Md., tiga cacat itu adalah subyek dan obyeknya yang keliru, ditambah
prosedurnya yang salah. Bagi yang bukan pakar hukum apa pun, cacat hak angket
itu lebih jelas lagi. Ada ketakutan jika KPK semakin kuat, sementara
"survei membuktikan" DPR lembaga paling korup.
Mari lihat debat panjang di luar DPR,
kasihan wakil rakyat dicandain terus. Soal sekolah seharian, yang merupakan
ide cemerlang Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy, yang berbau kota besar dan
seolah-olah semua rakyat negeri ini makmur sentosa. Bagaimana kebijakan
menteri bisa dilaksanakan di seluruh negeri yang bineka ini kalau menteri tak
punya hak mengelola sekolah?
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang "Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan" dalam pasal 17
berbunyi: "Gubernur bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan
nasional di daerahnya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan daerah bidang
pendidikan sesuai kewenangannya." Dalam pasal 28, tanggung jawab
diberikan kepada bupati dan wali kota dengan bunyi yang sama dengan pasal 17.
Jadi menteri bisa saja merumuskan sistem dan menetapkan kebijakan pendidikan
nasional. Namun, apakah itu bisa dijalankan atau tidak di daerah, gubernur dan
bupati yang paling tahu. Bahkan, sejak tahun lalu, wewenang mengelola SMA dan
SMK dialihkan dari kabupaten/kota ke provinsi.
Yang punya gedung sekolah, murid, dan guru
adalah pemerintah daerah. Pandai-pandai merekalah mengelolanya sesuai dengan
kondisi. Kini banyak daerah yang menolak "sistem dan kebijakan"
menteri itu. Apa perlu debat berhari-hari? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar